Kau Benar-benar menarik

1522 Words
Penelope keluar dari istana. Ia pergi bersama dengan Asley ke rumah pemotongan sapi milik Black Eagle. Sudah 14 hari ia di istana dan ia merasa bosan. Di ruangan dalam rumah pemotongan itu. Penelope membuka selembar kertas besar. Ia mulai menggambar. Asley memperhatikan apa yang Penelope gambar. Peta terperinci seluruh penjuru istana. Asley memuji ingatan Penelope yang sangat akurat. Gambaran itu begitu detail. Padahal Penelope baru 14 hari di istana. "Pelajari peta ini. 4 benteng ini adalah benteng yang harus kalian hancurkan." Penelope menunjuk ke 4 benteng yang mengelilingi istana. "Baik Pemimpin." Anggota Black Eagle menjawab serempak. "Derreck, rekrut 70 orang untuk bergabung dengan kita. Latih mereka dengan baik. Setelah semuanya siap kita akan menyerang istana pada malam hari." "Baik, Pemimpin." Waktu yang dibutuhkan untuk melatih pasukan sekitar 4 bulanan. Waktu yang cukup lama bagi Penelope untuk berada di istana. Namun untuk keberhasilan rencananya Penelope bersedia menunggu. Jika hanya untuk membunuh selir Elyse dan Ibu Suri, Penelope tak akan membutuhkan pasukannya. Ia membutuhkan pasukannya untuk menghancurkan istana sementara untuk membunuh Elcander, ia akan menggunakan tangannya sendiri. Ia tak akan meremehkan Elcander. Ia sudah cukup mencari tahu seberapa kuatnya seorang Elcander dan seberapa ketatnya penjagaan di sekitar Elcander. Pria itu berbahaya namun Penelope tak gentar. Ia akan membuktikan siapa yang lebih berbahaya antara dirinya dan Elcander. Setelah dari markas baru Black Eagle, Penelope berjalan-jalan di pasar. "Nona, aku mau melihat hiasan rambut itu." Asley menunjuk ke toko jualan hiasan rambut. "Ya. Aku akan berjalan-jalan. Tunggu saja di rumah potong jika kau sudah selesai." "Baik, Nona." Penelope meneruskan langkahnya. Ia melihat ke kerumunan orang yang tengah menonton festival. Bermacam hiburan ada di sana. Pemusik, penari dan pemain sirkus tengah menunjukan keahlian mereka. Mata Penelope melihat ke dua gadis kecil yang kesulitan melihat pertunjukan. Kenangan masalalu Penelope berputar di otaknya. Dulu ketika ia masih 8 tahun, ia dan saudari kembarnya juga berada dalam posisi itu. Mereka sangat ingin menonton pertunjukan sirkus tapi orang-orang dewasa menghalangi penglihatan mereka. Akhirnya mereka tak bisa melihat apapun kecuali punggung berkeringat orang dewasa. Namun mereka tak pergi dari tempat itu. Mereka akan ikut bersorak ketika orang lain bersorak. Meski tak melihat mereka ikut merasakan kebahagiaan di sana. Sreet... Penelope mendengus pelan. Ia dengan cepat meraih tangan seseorang yang telah mencuri kantung uang miliknya. Dengan cepat ia memindahkan kembali kantung itu ke tangannya. Mendadak pertunjukan itu jadi kacau karena perkelahian antara Penelope dan si Pencuri. Jika saja Penelope bisa membunuh di tempat ini maka pasti ia akan menggunakan belati yang ia simpan di balik gaunnya untuk menghabisi si Pencuri. Brak! Tubuh si pencuri menghantam salah satu tempat berdagang. Bisa dipastikan jika tendangan Penelope mematahkan beberapa tulang pria itu. 5 pria menyerang Penelope bersamaan. Mereka adalah kawanan si pencuri yang tak bisa bangkit lagi dari posisinya. Kawanan Black Eagle yang menyamar sebagai pengunjung pasar tak satupun membantu Penelope. Bagi pimpinan mereka 5 orang itu bukan apa-apa. Penelope tak puas hanya membuat para pencuri patah tulang. Otaknya terus mengatakan untuk membunuh mereka. Mata Penelope mulai terasa gelap, tanda bahwa sisi kejinya akan muncul. Tak ingin lepas kendali, Penelope membalik tubuhnya. "Asley! Urus ganti rugi ke pedagang yang dagangannya aku hancurkan." Penelope bicara pada Asley yang mendekat karena keributan yang Penelope timbulkan. "Baik, Nona." Asley menjawab patuh. Penelope pergi menjauh. Ia tak bisa menjamin bahwa ia tak akan membunuh para pencuri jika ia berada lebih lama di sana. "Yang Mulia Ratu. Kau benar-benar menarik." Seseorang tersenyum kecil. Ia telah melihat bagaimana Penelope melumpuhkan pencuri tanpa membuat gerakan sia-sia. "Paman, apa yang terjadi di sini?" Seorang pria berambut coklat terang bertanya pada pria yang memperhatikan Penelope. "Seorang wanita baru saja mengamuk, Pangeran Pertama." Pangeran Pertama mengerutkan alisnya. Matanya memperhatikan sekitarnya. Wanita? Wanita mana yang mengamuk hingga membuat kekacauan seperti ini. "Sudahlah, ayo kita lanjutkan perjalanan kita." Pria yang tak lain Pangeran Arega mengajak keponakannya untuk pergi. Dua Pangeran itu menyamar untuk memperhatikan langsung kejadian di wilayah Apollyon. Setelah selesai dari rumah potong. Penelope kembali ke istana. Sore ini ia menerima kabar bahwa Ibu Suri tengah sakit. Sebagai menantu dan untuk menghormati Ibu Suri, Penelope datang ke paviliun Cherry untuk mengunjungi Ibu Suri. Di ruangan Ibu Suri, tabib tengah memeriksa kondisi Ibu Suri. Di dalam ruangan itu juga ada Selir Elyse. "Bagaimana kondisi Ibu Suri?" Selir Elyse nampaknya sudah lepas dari kesedihannya. "Kondisi Ibu Suri semakin memburuk. Otot-otot tangannya tidak berfungsi dengan baik." Tabib menyampaikan apa yang ia ketahui. "Lalu bagaimana cara menyembuhkannya, Tabib?" Penelope bertanya bukan karena ia perhatian. Ia hanya mengucapkan basa-basi. "Para ahli kimia sedang membuat obat untuk mengatasi sakit Ibu Suri." Penelope ingin tertawa kencang, tak akan ada yang bisa menciptakan obat untuk sakit Ibu Suri. Racun sudah menyatu dengan darahnya, mengalir melalui pembuluh darah dan menyebar ke berbagai titik. Hanya kematian yang bisa menghentikan penyakit itu. Mata Penelope menatap mata Ibu Suri, ia memperlihatkan senyuman kecil yang ditangkap oleh Ibu Suri. "A- A-" Ibu suri ingin mengatakan sesuatu tapi yang keluar hanya itu. "Ada apa, Ibu Suri? Apa kau menginginkan sesuatu?" Elyce menggenggan tangan Ibu Suri. Ibu Suri mencoba bicara lagi tapi hasilnya masih sama. Mungkin saat ini ia masih bisa membuka mulutnya tapi setelah beberapa hari ke depan maka bibir itu akan terkatup rapat. Jika dengan kelumpuhan ini saja Penelope sudah puas maka itu pemikiran yang salah. Ia bahkan telah memikirkan rencana lain untuk menyiksa Ibu Suri. Ia akan membuat semua orang tak akan mengunjungi Ibu Suri. Sebuah penyakit menjijikan, itu cukup untuk membuat Paviliun Cherry jadi tak ubahnya istana dingin. Hari-hari berlalu, Ibu Suri sudah lumpuh sepenuhnya sementara obat yang dijanjikan oleh tabib tak kunjung berhasil menyembuhkan penyakit Ibu Suri. Pagi ini Penelope berkunjung kembali ke kediaman Ibu Suri. "Ratu Penelope memberi salam pada Ibu Suri." Penelope menundukan kepalanya. "Bagaimana keadaan Ibu Suri?" Penelope bertanya pada pelayan utama Ibu Suri. "Keadaannya tak mengalami perubahan apapun. Ibu Suri sudah tidak bisa membuka mulutnya lagi." "Ibu Suri yang malang." Penelope menunjukan wajah mengasihani. "Aku membawakan teh herbal. Siapkan untuknya." Penelope tak akan berbaik hati jika ia tak memiliki niat tersembunyi. "Baik, Yang Mulia." Pelayan Ibu Suri keluar dari ruangan. Kini yang tersisa hanya Penelope, Ibu Suri dan Asley. "Kau terlihat menyedihkan, Wanita tua." Penelope menunjukan wajah aslinya. Ia datang ke tempat itu untuk mengganggu pikiran Ibu Suri. Mata Ibu Suri berkilat marah, lancang sekali Penelope berani bicara seperti itu padanya. "Penyakitmu tak akan pernah sembuh karena tak akan ada obatnya. Kau mau tahu siapa yang membuatmu seperti ini? Itu aku." Penelope tertawa kecil, "Bagaimana kau suka hadiah balasan dariku?" Pupil mata Ibu Suri membesar. Ia murka dan ingin melenyapkan Penelope. "Kau heran, kan, kenapa aku baik-baik saja padahal kau sudah meracuniku? Dengar, kau bodoh jika mau bermain denganku mengenai racun. Aku ahlinya dalam bidang itu." Bukan hanya Ibu Suri yang terkejut mendengar penuturan Penelope tapi juga Asley. Asley tak tahu jika Penelope pernah diracuni dan meracuni. "Kau mau tahu kenapa aku melakukan ini semua?" Penelope bertanya seperti orang sakit jiwa. Nada bicaranya sangat santai tapi berbahaya, "Karena kau sudah membunuh kembaranku. Yang duduk di depanmu ini bukan Ratu asli Apollyon. Aku hanya kembarannya. Kembaran dari wanita yang prajurit-prajuritmu bunuh. Sekarang aku menuntut balas. Aku akan membunuh, Elyse dan Raja b*****t itu." "Putri Alena, aku yang membunuhnya. Kau akan menyusul gadis kecil itu tapi kau tidak akan mati dengan mudah. Membunuh saudariku dengan keji maka kematianmu juga akan lebih keji dari itu." Penelope menggenggam tangan Ibu Suri dengan keras, "Tak akan ada yang menghormatimu lagi. Kau akan kehilangan segalanya. Kau akan mati sendirian dengan tubuh menjijikan." Ibu Suri berusaha keras untuk meronta tapi ia tidak bisa. Ia ingin menghentikan mulut Penelope tapi ia tak kuasa. Penelope tersenyum kecil, "Kerajaan ini juga akan aku hancurkan. Aku tak tahu kau bisa menunggu sampai saat itu atau tidak tapi aku berharap kau menyaksikannya." Suara langkah kaki terdengar oleh Penelope. Ia menghentikan kata-katanya dan berbalik melihat ke pelayan yang datang dengan cawan yang memguarkan bau menenangkan. "Ibu, ini adalah teh yang aku dapatkan dari pembuat teh terbaik. Ibu akan tenang setelah meminum ini." Penelope tersenyum manis. Ia menyendokan teh itu. Meniupnya dengan mimik wajah bahagia. Ibu Suri menatap pelayannya dengan soror mata enggan namun pelayannya tak begitu mengerti. Pelayan itu hanya membiarkan Penelope menyuapi Ibu Suri yang ketakutan. Bayangan akan teh itu sudah dicampuri racun oleh Penelope membuat Ibu Suri memejamkan matanya kuat. Ia tak ingin mati karena perempuan sialan seperti Penelope. Ia masih mau hidup. Penelope tersenyum, matanya menatap mata ketakutan milik Ibu Suri. Ia membuka mulut Ibu Suri dan memindahkan teh di sendok ke mulut Ibu Suri. Satu cawan itu habis. Penelope menyerahkan cawan ke pelayan kembali. Seperginya pelayan, Penelope tertawa keras, "Tenanglah, tak ada racun di minuman itu." Ia mengerti betul kecemasan Ibu Suri. Secepat hembusan angin. Tawa Penelope berganti wajah mengerikan, tangannya menekan rahang Ibu Suri, "Hari ini aku tak melakukan apapun padamu tapi besok atau lusa aku pastikan kau akan kembali bersenang-senang." Penelope tak akan membiarkan Ibu Suri satu hari saja tanpa siksaan. "Baiklah, Ibu. Istirahatlah. Aku akan mengunjungimu lagi nanti." Penelope melepaskan Ibu Suri. Ia bangkit dari ranjang dan merapikan pakaiannya lalu pergi setelah pelayan kembali ke ruangan. Asley mengikuti Penelope dari belakang. Ia benar-benar kagum pada otak dan cara bermain majikannya. Ibu Suri memang pantas untuk disiksa dengan cara keji.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD