Tak tahan lagi, tangannya berusaha mematikan siaran tv, namun karena sibuk menghindari kendaraan, tangannya malah memencet volume suara dan semakin keras terdengar pidato sang mempelai pria yang tampan dan elegan.
"Sebagai seorang dokter, aku akan menjagamu, Chieko, belahan jiwaku yang paling berharga supaya bisa hidup lebih lama. Dengan begitu, aku bisa mencintaimu lebih lama juga." Sang mempelai pria tersenyum tulus, tatapannya benar-benar terlihat seperti dimabuk cinta ke arah sang mempelai wanita.
"Suamiku! Kau romantis sekali! Aku jadi malu.... Ini disiarkan di seluruh Jepang, loh!" Chieko memukul manja bahu kiri sang suami, lalu menempelkan dahinya di sana, tampak merona merah karena malu.
Jilatan api seolah terbetik di d**a Sayako.
"KURANG AJAR, KALIAN BERDUA!" teriak Sayako dengan kebencian memuncak dalam dirinya, tangannya masih berusaha mematikan tv mobil, tapi fokus yang pecah mengendari mobil dengan kecepatan di atas 140 kilometer per jam sambil menghindari kendaraan lain, membuatnya harus menggonta-ganti penglihatannya dari dashboard ke jendela depan mobil. Beberapa kali ia nyaris menabrak mobil dan kehilangan kestabilan.
Suara sirine mobil polisi bergaung keras mendekatinya dari belakang, dia tak punya waktu untuk meladeni pertanyaan yang hanya akan membuang-buang waktu berharganya semata.
"SIAL!" umpatnya.
Sayako membanting stir ke kanan untuk kabur dari pengawasan, meski akhirnya ia berhasil mematikan tv mobil, kini ia harus menghindari kejaran mobil polisi.
Ia kembali menginjak gas hingga kecepatan mobil melebihi 150 kilometer per jam. Ia melakukan sebuah kesalahan fatal. Dengan kondisi tak stabilnya saja, ia hanya mampu menguasai mobil maksimal 90 kilometer per jam.
Perempuan kaku berkacamata itu sudah terlalu memaksa batas dirinya, hingga tak sempat menginjak rem ketika sebuah mini bus yang muncul dari balik mobil box di depannya, membuatnya kaget lalu membanting kemudi sekencang mungkin hingga menabrak pembatas jalan. Tindakan itu membuat mobil berpindah ke arah berlawanan.
Sayako tertawa sinting dalam kegetiran dan kepahitan.
Ia yang memiliki pekerjaan mempelajari TKP dan mayat sebagai riset tambahan mencari pelaku, kini sepertinya akan masuk ke daftar suram kepolisian tempatnya bekerja.
Walau tahu peluang untuk selamat dari kecelakaan itu benar-benar nol, Sayako masih berusaha mengendalikan mobil. Sayangnya, remnya tidak berfungsi akibat hantaman keras sebelumnya. Ia berusaha menekan pedal rem berkali-kali, berharap ada keajaiban yang datang layaknya sebuah adegan film aksi. Apa ia terlalu berkhayal? Adegan di tv itu sudah dirancang sedemikian rupa! Yang ia hadapi adalah realita yang sulit ditebak!
Mungkin ini memang sudah menjadi takdirnya. Perasaan jatuh menangkap hatinya gara-gara tak mendengar peringatan Emi, matanya melirik sejenak ke kursi samping, ponselnya sudah hilang entah terselip ke mana.
Kedua tangannya masih bisa menghindari kendaraan yang melaju ke arahnya, namun tak bisa menghindar ketika dua mobil truk saling berjejeran di depan matanya.
Sayako memutar cepat kemudi hingga mobilnya berputar-putar sebelum akhirnya terlempar kembali melewati pagar pembatas, kembali ke jalur awal. Mobilnya menabrak beberapa kendaraan dan membuat pintu di kursi duduknya terlepas, untungnya ia masih ingat memakai sabuk pengaman saat iblis dalam dirinya bangun.
Angin menerpa keras wajah dan tubuhnya. Jasnya bahkan berkibar-kibar liar tertiup kencang. Perasaan kebas perlahan menghinggapi sebelah pipinya, membuatnya merasakan sensasi merinding di tulang punggung dan tengkuknya.
Mobil itu masih melaju dengan kecepatan mengerikan, sekujur tubuhnya sekarang terasa sakit akibat hantaman bertubi-tubi, telinga berdenging, dan kacamata yang kabur oleh air mata membuat semuanya tambah kacau dan sulit dikendalikan.
Hanya ada satu cara agar ia bisa menghindari jatuh korban selain dirinya.
Pikirannya untuk balas dendam kini lenyap di udara kosong. Hatinya tiba-tiba terasa ringan, kedua pundaknya melemas.
Di detik-detik krisis hidup dan matinya, ia baru sadar betapa bodohnya meladeni orang-orang yang telah menyakitinya. Ia adalah perempuan brilian di divisinya. Selalu dipuji dan disukai oleh para mahasiswa dan mahasiswinya. Hidupnya juga penuh tawa dan canda dari banyak orang, bukan hanya dari satu atau dua orang semata.
Benar kata Emi, harusnya ia lebih bisa mengendalikan logikanya ketimbang terbakar nafsu balas dendam. Selama ia bekerja, ia telah melihat karma dan alam semesta bekerja begitu unik dan menakjubkan bagi siapa saja di dunia ini walau sejenius apapun orang itu berusaha mengelak.
Di sudut pikiran terdalamnya, ia percaya karma akan menampar pasangan sialan itu setelah menghancurkan hidup seseorang dengan kejamnya. Namun, ia tetaplah seorang wanita yang memiliki sisi rapuh, hati yang mudah terluka jika disakiti.
Seorang wanita lebih condong ke perasaannya ketimbang logika, bukankah itu yang membuatnya istimewa dan menarik? Apakah salah jika ia juga sesekali menuruti perasaannya ketimbang logikanya? Segala sesuatu dalam pikirannya jadi campur aduk.
Pertentangan dan rasa bersalah menghujamnya, membuat air matanya kini meleleh bukan karena pengkhianatan cinta, tapi karena mengasihani dirinya sendiri yang begitu malang dan bodoh demi seorang laki-laki dan perempuan licik yang tak menganggap dirinya .
Sayako membanting mobilnya ke kanan, kembali merusak pagar pembatas dan mengendarai mobil berlawanan arah.
Jalan tol Yokohama Bay Bridge banyak dilalui oleh truk yang lalu lalang dari dan ke arah dermaga, ia semakin kesulitan menghindari truk-truk itu detik demi detik, dalam hati hanya bisa berdoa dan berharap. Dengan keringat dingin dan pikiran kosong, matanya difokuskan mencari pagar sisi jembatan yang lebih rendah dan terlihat mudah dijebol.
Deru angin memekakkan telinganya yang dihiasi klakson peringatan dari berbagai penjuru arah.
Ia tak bisa membahayakan nyawa siapa pun gara-gara sikap bodohnya hari ini. Setelah melaju cukup jauh, ia tersenyum sumringah pada sisi jembatan berpagar rendah, tanpa ragu ia menginjak pedal gas hingga mencapi angka paling tinggi, lalu dengan cepat dan lincah bermodal permainan kemudi, ia membanting kemudi hingga bagian belakang mobil menabrak patah pagar jembatan, hantaman itu membuat tubuh Sayako mendapat hentakan keras yang ia yakini mematahkan beberapa tulangnya.
Mobilnya tersangkut di tepian dengan moncong mobil mengarah ke bawah laut. Angin semilir dan bau asin laut mengelilingi tubuhnya, kepala bersandar pada kemudi. Tubuhnya tertahan oleh sabuk pengaman, tapi kursinya yang terkena hantaman keras membuatnya lepas dari tempatnya, dan kantung udara penyelamatnya yang gagal mengembang, membuat darah keluar dari kedua lubang hidungnya dan mulut bersimbah darah. Dari yang ia ketahui kondisinya, ia mengalami pendarahan dalam yang parah.
Telinganya berdenging hebat, kacamatanya entah terlempar ke mana.
Dari jauh, samar-samar, ia mendengar suara sirine mobil yang semakin mendekat.
Kedua kaki dan tangannya kini terasa lemas dan nyaris mati rasa.
Inikah akhir seorang psikolog kriminal?
Kalah oleh nafsu amarah sesaat?
Jika ia masih hidup—yang tentunya pasti sebuah keajaiban, maka ia pasti akan mengajukan judul penelitian mengenai kondisi yang dialaminya itu.
Sayako yang perlahan kesadarannya mulai mengabur, berusaha membuka sabuk pengamannya dengan tangan gemetar.
Ia paham bahwa peluangnya untuk selamat nyaris tak ada. Jadi, apa salahnya merasakan sedikit kesejukan di kulitnya di hari yang panas ini?
Laut berkilau di bawahnya dengan daya tarik yang begitu menggoda. Setelah perjuangan keras, tubuh Sayako akhirnya terjatuh ke dalam air dengan bunyi debam keras disertai semburan air ke udara.
Suara air di atas mengabur di telinganya.
Tak selang berapa detik, suara gemuruh menggema di antara getaran air. Mobilnya meledak sebelum akhirnya menyusul pemiliknya ke dalam laut yang gelap.
Sayako yang sudah perlahan tenggelam, membuka mata sedikit. Termenung dengan gelembung air keluar dari hidung dan mulutnya:
Oh.... mobilku.... cicilannya belum lunas....
Ibu... ayah.... maaf memberikan kalian beban tambahan.
Andai saja aku mendapat kesempatan kedua....
Ia pun menutup mata perlahan.
Ingin rasanya berteriak oleh rasa sakit fisik dan emosional, tapi tubuhnya telah kehilangan kendali sepenuhnya, lumpuh.
Dadanya mulai sesak, dan air mulai memenuhi paru-parunya.
Kepalanya juga mulai terasa berat dan seolah ingin meledak.
Mati.
Ia akhirnya mati.
Meninggalkan dunia yang fana....
Andai saja ia mendapat kesempatan kedua....