~>Limo<~

1017 Words
**Yogi POV** . . . Aku pulang sedikit terburu karena dihubungi oleh temanku mengatakan mami sedang tak enak badan. Begitu sampai di rumah, aku berjalan cepat masuk, lalu menuju kamar Mami. "Mam?" panggilku pelan. Aku takut mami sedang tidur dan aku mengganggu. Masuk Gi. Aku membuka pintu, berjalan masuk, lalu duduk di samping mami yang terlihat pucat. Ku hela napas, mami pasti kelelahan entah apa lagi yang dilakukannya hari ini. "Mami habis ngapain hari ini?" Aku bertanya dengan nada suara selembut mungkin. Tanganku menggenggam tangannya, kukecup lalu kuusap dan kugenggam erat. "Mami tadi jalan ke depan aja. Mami bosan di rumah. Tadi Rajin udah dateng periksa Mami. " Rajin adalah teman SMU ku yang kini menjadi dokter. Sengaja kutunjuk ia jadi dokter untuk mami setelah kepergian papi. Aku tak ingin mami menyembunyikan keadaannya. Untung, temanku itu selalu menghubungi setiap kali mami sakit. "Iya karena itu Yogi buru-buru pulang. Mami ngomong dong kalau sakit, enggak enak badan. Ya?" "Ya, ngapain mami ngomong Jin juga udah pasti bilang ke kamu." Yogi menghela napas. Sebal juga kalau mami keras kepala begini. "Mami istirahat full ya besok? Enggak usah masak, enggak usah ngapa-ngapain. Oke?" Mami mengangguk meski aku sendiri ragu. "Kamu kapan nikah sih Gi." Lagi ... pertanyaan kapan nikah. Awalnya jadi pertanyaan tahunan, lalu menjadi bulanan, mingguan lalu sekarang menjadi rutinitas harian mami. "Mi ...." "Gi, lihat mami. Mami bukan mau menakuti kamu. Ingat gimana sehatnya papi, begitu dia pulang main golf .., Apa yang terjadi?" "Mami please ...." Aku tak ingin mami mengingat itu. Waktu papi pergi mami bahkan tak bisa menemani hingga peristirahatan terakhir. Mami sakit, tubuhnya tumbang karena sakit dan luka karena ditinggalkan. Mami tak bisa makan dengan baik karena merasa menyesal. Mami menggenggam tanganku. "Pikir deh, jodohmu siapa tau yang dekat. Kadang kita mikir kejauhan dan terlalu berharap kesempurnaan. Lihat sekitar, teman-teman perempuanmu." "Yogi udah ada seseorang Mi. Cuma belum bisa Gi kasih tau sekarang." Ya aku belum bisa memberitahu mami perihal Disha. Aku takut Disha terganggu. Pun, itu yang diinginkan kekasihku itu. Ia takut mami mungkin meminta ia menikah atau semacamnya. "Bener?" tanya mami bersemangat. Kuanggukan kepala. "Siapa?" "Nanti Gi kasih tau. Enggak sekarang." Setelah pembicaraan dengan mami. Aku duduk di kamar saat ini. Perihal pernikahan ini sepertinya semakin mendesak. Aku tak ingin menyesal karena tak bisa mengabulkan permintaan mami. Aku menghubungkan Disha. Seharian ini kekasihku itu belum menghubungi. Biasanya sedang banyak tugas, terlalu fokus, hingga benar-benar tak ada waktu. Tak lama sampai panggilanku diangkat. "Assalamualaikum Mas," sapanya lembut. "Waalaikumsalam, kamu lagi sibuk banget ya Dish?" "Hmm, lumayan Mas. Aku harus nyelesain tugas dadakan buat besok. Kamu udah makan Mas? Beri pulang?" "Aku belum makan. Pulang buru-buru soalnya, mami sakit." "Udah diperiksa? Kalau kaya gitu mending kamu cari satu orang yang khusus buat jaga mami, Mas." Disha khawatir. Aku sudah pernah menyarankan itu. Tapi, mami menolak. Mami tak akan nyaman katanya. "Iya, mami pingin istriku yang nemenin." Aku tak akan bertanya lagi perihal pernikahan. Biar aku jadikan sebagai jawaban agar ia bisa berpikir kembali. "Aku takut menyesal. Karena enggak bisa wujudkan permintaan mami." "Mami masih nanya masalah nikah? Setiap hari?" "Hmm, iya sampai aku bingung mau jawab apa." Disha menghela napas, lalu kami saling diam. Aku harap ia bisa memikirkan ini. Setidaknya, sekali ini saja untuk mami. Dia juga kan yang akan menjadi mantu mami? Cepat atau lambat. Aku tak berharap ia akan berada di sini lama-lama. Setelah menikah Disha boleh kembali dengan pendidikannya. Aku hanya ingin kami menikah, paling tidak mami melihat aku dan wanita yang menjadi pilihanku mengucapkan ijab Qabul, lalu sah menjadi suami istri. "Mas kalau kamu nikah sama perempuan lain dulu gimana?" "Disha?!" "Jangan marah, dengerin aku dulu. Ini buat tiga tahun aja. Istri pura-pura, cari perempuan yang bukan tipemu. Jadi, aku enggak takut kamu selingkuh." "Disha, kalau kamu enggak mau nikah sama aku bilang aja. Jangan kaya gini." Sungguh apa yang ia katakan mengenai pernikahan dengan perempuan lain membuat aku marah. "Mas, dengerin dulu. Ini bukan karena aku nggak mau nikah. Aku mau, tiga tahun lagi. Selama tiga tahun itu aja. Aaah, nikah kontrak. Hmm? Coba pikir lagi, mami juga seneng kan? Reina, Mas coba aku ajak ngomong dia." "Aah, ada-ada aja kamu," kesalku. "Mas, nikah kontrak aja. Hmm? Ayo coba pikir. Setelah tiga tahun, aku kembali kalian bisa pura-pura cerai karena alasan apa gitu. Aku pilih Reina jadi sekertaris kamu juga karena, aku yakin kamu enggak akan tertarik sama dia." Sungguh ini ide tergila saat ini. Pembicaraan yang tak masuk akal. Nikah kontrak? Pembicaraan dengan Disha berakhir dengan aku yang jadi sakit kepala. Kurebahkan diri beristirahat sejenak, bahkan belum berganti pakaian. Aku lelah meminta Disha menjadi pendampingku dan ia malah membawa saran yang luar biasa di luar nalar. Aku harap esok benar-benar ada jawaban. Jika mami terus bertanya masalah ini aku benar-benar tak tau harus menjawab apa lagi. *** Pagi-pagi sekali aku sudah ada di kantor. Penat, lelah pikirkan aku alihkan pada pekerjaan. Setidaknya aku bisa lupa kesal semalam. Membaca laporan laporan yang telah masuk. Juga memikirkan rencana baru untuk perkembangan perusahaan ke depan. Aku juga masih memikirkan apa yang di katakan Disha semalam. Namun, semakin pagi saran dari Disha semakin masuk akal. Ya, maksudku pernikahan kontrak sebagai jalan agar mami tak lagi memikirkan siapa pendampingku. Pertanyaan mami akan berhenti. Sialan, kenapa aku jadi goyah? Pintu terbuka, aku melihat Reina yang baru saja tiba. Ia mungkin terkejut karena aku yang tiba lebih dulu. "Loh Bapak udah dateng?" Ia berjalan masuk seraya menatap jam di tangannya. "Saya telat ya Pak? Maaf Pak." "Kamu enggak telat. Saya memang datang lebih pagi." "Bapak mau kopi?" Kuangkat cangkir milikku. Setelah tiba segera dibuatkan kopi oleh salah satu staf. "Maaf." Ku alihkan tatapan menatap Reina. Dengan rambut dark brown yang ia biarkan tergerai panjang. Aku akui juga ia pandai merias diri, lalu ia juga cukup pandai memadupadankan pakaian. Hanya, aku tak tau berubah jadi apa dirinya ketika ia hapus semua make up yang tengah ia gunakan. Ya, Reina mungkin benar jawaban dari masalahku. Ia juga dekat dengan mami. Aku tak akan jatuh hati padanya. Ia tak bisa dibandingkan dengan Disha. "Ada lagi yang bisa saya bantu Pak?" "Saya mau bicara sama kamu bisa?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD