<~Enem~>

1278 Words
**Author POV** . . . Semalam Reina tak bisa tidur. Ia kesulitan memilih mobil yang ia inginkan. Setelah menemukan yang cocok ia memberitahu Jun. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh saat ia telah selesai dengan semua kegiatannya. Menyiapkan sarapan, mandi dan bersiap. Pagi tadi telah membuat sarapan untuk Bumi dan Jun. Ia berjalan menuju ruang makan saat berpapasan dengan Bumi yang baru saja selesai lari pagi. Bumi tersenyum, membuat kedua matanya hanya nampak segaris. Sepupu Reina yang satu ini termasuk paling tampan. Dengan dua buah mole di kelopak mata kirinya. Pria itu terlihat dingin jika tak tersenyum, bertolak belakang dengan sikap aslinya. "Kamu udah siap Rei? Mau Mas antar?" "Enggak usah Mas," tolak Reina. "Nanti pulang Mas jemput sekalian sore nanti mau ada urusan dekat kantor kamu. Kita sekalian jajan," ajak Bumi seraya menaik-turunkan kedua alisnya. "Mas jemput aja, pulang jemput aku. Nanti motor biar aku suruh bawa Juki. Mas besok antar aku tapi, ya?" "Siap Bos!" Keduanya bertos ria, Bumi juga mengacak rambut Reina. Keduanya memang cukup dekat sejak kecil. "Mas jangan lupa sarapan ya. Aku udah masak. Nanti bangunin Mas Jun juga ya?" "Iya, siap. Hati-hati kamu ya?" Reina mengangguk lalu mencium tangan Bumi. "Aku jalan ya Mas, assalamualaikum." Bumi tetap terpaku sampai Reina hilang dari pandangan. Ia kembali ke kamar. Pria itu lalu duduk di tempat tidur. Di sana Jun masih tertidur. Bumi menggoyang tubuh sepupunya itu "Bangun, bangun, sarapan. Reina udah masak tuh." Jun menggeliat, tangannya lalu bergerak mencari ponsel. Setelah menemukan ponsel miliknya ia menatap jam di sana. "Masih jam tujuh. " "Nanti sore kita ketemuan sama Rangga di G kafe ya?" "Lah bukannya mau di kantor lo?" tanya Jun yang ingat dengan jelas jika Bumi berencana bertemu Rangga di kantornya. "Gampang sekalian makan kita." Jun menatap Bumi sesaat lalu, hanya mengangguk kemudian. Sementara Bumi bejalan menuju kamar mandi membersihkan diri setelah olahraga tadi *** Perjalanan pagi ini seperti biasa, motor Reina melaju di jalanan Jakarta yang padat merayap. Selalu sama setiap harinya. Kadang ini juga yang membuat ia malas jika harus mengganti mode transportasi. Memakai motor bisa lebih cepat karena, bisa melewati gang-gang kecil untuk memotong jarak tempuh. Dan Reina sudah hafal betul. Meski macet ia selalu bisa tepat waktu. Beberapa tahun ini membuat ia andal melajukan mobil menuju kantor. Setelah memarkirkan motor ia tak segera turun. Merapikan rambutnya lalu menyemprotkan rambut hingga pakaiannya dengan parfum yang ia bawa. Ia takut jika perjalanannya tadi membuat aroma tubuhnya menjadi tak sedap. Berjalan masuk seraya menyapa karyawan lain yang ia kenal. Ia berjalan dengan tenang, masih terlalu pagi. Ia yakin Yogi belum tiba. "Mbak," sapaan Alin dari meja kerjanya. Gadis itu lalu berjalan cepat menuju Reina. "Kenapa?" "Pak Yogi udah dateng dari pagi." "Hah?! Bercanda ah." "Serius buruan." Reina mengangguk seraya berjalan cepat menuju ruangan sang atasan. Benar Yogi telah tiba tanpa Reina tau alasannya. Biasanya ia akan diberitahu jika Yogi datang lebih cepat. Ia kini duduk berhadapan dengan sang atasan. Yogi tadi mengatakan akan membicarakan sesuatu. Reina telah siap, masalah pekerjaan menurutnya bukan hal sulit. Si pucat bergerak gelisah, ia bahkan belum bertanya apapun sejak tadi. Sudah hampir delapan menit sejak ia mengutarakan keinginannya berbicara. "Pak?" "Aah, Reina kamu anak keberapa?" "Anak ke dua Pak, saya dua bersaudara punya satu kakak laki-laki," jawab Reina meski ia sedikit aneh dengan pertanyaan Yogi. Yogi mengangguk. "Orang tua kamu masih lengkap?" "Alhamdulillah masih Pak." "Kamu asal mana?" "Ayah dan ibu saya asal Jogja." Yogi lagi-lagi mengangguk. "Maaf Pak, ini tes?" Pria itu menggelengkan kepala. "Saya bingung, mami saya minta saya nikah." "Bapak bisa minta Mbak Disha. Dan hubungannya sama pertanyaan tentang keluarga saya itu apa?" Helaan napas terdengar dari sang bos pemilik Karuna Textile. Ia lalu menatap Reina. "Saya mau minta tolong." "Minta tolong untuk?" "Kamu mau jadi istri kontrak saya?" "Saya?!" Reina terkejut tentu saja apa tang dikatakan sang bos benar-benar tak pernah terlintas dipikirannya. "Iya kamu, atas saran Disha juga." "Astagfirullah, Pak, nikah lho ini. Hal sakral Pak." "Tolong saya Rei, Mami saya udah tanya terus. Apalagi kamu tau mami saya sakit jantung." Yogi menjelaskan. Sejujurnya Reina bisa melihat wajah Yogi yang jelas tertekan dengan masalah ini. Hanya saja ini bukan hal yang mudah untuk diputuskan. "Kenapa saya?" "Ya, memilih kamu itu pilihan aman untuk saya dan Disha." Ya Reina mengerti maksudnya. Ia tak ideal, tak cantik, tak ada yang bisa menjadikan dirinya daya tarik. Gadis itu tersenyum disudut bibirnya. Sudah biasa baginya, hanya saja ini sedikit membuat hatinya tergelitik. "Saya enggak bisa Pak, maaf." "Tolong saya Rei. Hmm? Kamu juga bisa memberikan kenangan untuk ibu dan ayah kamu kalau kamu pernah menikah. Tiga tahun, cuma tiga tahun. Tolong saya, demi mami." "Ibu dan bapak saya akan lebih terluka kalau tau saya cuma dijadikan istri boneka." Yogi memegang tangan Reina. "Pikirin dulu, tolong saya. Ayo pikirkan, hmm? Bukannya kedua orang tua kamu juga sering tanya kapan kamu nikah? Coba pikir ini jalan keluar untuk saya dan kamu." Reina melepaskan genggaman tangan Yogi. "Maaf saya enggak bisa Pak. Saya ke ruangan dulu." "Pikirin dulu, saya anggap kamu belum menolak penawaran ini. " Setelahnya Reina berjalan ke luar menuju ruangannya. Setelah pembicaraan dengan Yogi, Reina masih memikirkan hal yang tadi diutarakan oleh Yogi. Nikah kontrak? Semakin lama ia pikirkan ia semakin tertarik. Kapan lagi bisa memberikan ibu dan bapak kenangan perihal pernikahan? Meski ia akhirnya akan berpisah setidaknya selama tiga tahun ia bisa membuat kedua orangtuanya tenang. Tak memikirkan anak mereka yang tak kunjung menemukan jodoh. "Heh!" teriakan Tedi mengagetkan. Keduanya tengah makan siang bersama. Sejak tadi Reina diam karena ia sendiri sibuk dengan pikirannya. "Ted, kalau gue nikah gimana?" Uuhhuukkk, uuhuukk. Tedi tersedak saat Reina bertanya tadi ia sibuk menikmati es teh manis miliknya. Membuat teh yang ia teguk berhamburan ke meja. Reina mengambil tisu dan segera memberikan pada sahabatnya itu. "Jorok banget sih ah." Sambil sibuk menghapus sisa cipratan teh di meja ia melirik Reina dengan heran. "Lo ngagetin gue. Gue nggak tau lo lagi deket sama siapa, terus .., tiba-tiba lo bilang mau nikah? Heh gimana gue enggak syok?" "Heh, gue bilang kan kalau, andai, misal. Ini masih dalam rencana dan angan-angan." Tedi memerhatikan sang sahabat menyelidik. Jelas ada yang aneh dengan sahabatnya itu. "Cowok yang deket sama lo cuma Juki sama Pak Yogi. Lo jadian sama Juki?" Reina memukul bahu Tedi hingga menimbulkan suara nyaring. Dan si pemilik senyum kotak itu mengaduh seraya mengelus bahunya yang terasa sakit akibat pukulan Reina. "Jangan menduga yang aneh-aneh." "Aplikasi dating? LO KENAL ONLINE?!!" Pertanyaan Tedi yang ngegas membuat beberapa pengunjung kantin memerhatikan keduanya. Reina menunduk, sialan batinnya memang salah saat seperti ini bicara pada Tedi. "Berisik!" "Siapa? Mana mukanya? Orang mana? Bule apa lokal? Pokoknya kalau lo ketemuan sama orang itu, lo harus ajak gue atau Mas Jun." Tedi tegas tak ingin temannya disakiti apalagi ditipu. "Astagfirullah, enggak ada gue kenal online gitu. Lo tau gue males banget kaya gitu." "Hmm, jadi lo baru mau rencana nikah?" Tedi bertanya lagi melihat wajah Reina yang jelas jujur. Ia bisa menilai itu. Gadis itu mengangguk. "Mungkin, entahlah." Tedi menatap serius, ia pandai menilai Reina. Jelas bukan pria online juga Juki seperti apa yang ia tuduhkan. "Pak Yogi?" tanya Tedi hati-hati, ia juga menatap Reina menanti reaksi yang ditunjukan sang sahabat. Reina melirik cepat, ada jeda sebelum ia menolak. "Apaan sih?" "Lo suka sama dia? Gila! mending keluar kerja lo. Cari perusahaan lain." Lagi Reina memukul bahu Tedi. Kesal ia berjalan meninggalkan Tedi tanpa menghabiskan makanannya. Pria itu makan dengan cepat mentahbiskan soto ayam pesanannya sebelum mengejar Reina. "Daripada lo sakit hati, kaya ke Jimmy dulu." Reina tak menjawab ia melirik saja dengan kesal. Sementara dari sudut lorong Tedi melihat Yogi yang menatap ke arah Reina sebelum masuk ke dalam lift. Hmm, ada apa nih mencurigakan. Pikir Tedi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD