6. Lebih baik terluka

1338 Words
Setelah selesai makan soto, Nathan bingung mau membawa Azkia ke mana. Ke rumahnya tidak mungkin, ke rumah Azkia juga lebih tidak mungkin. Sedangkan Azkia masih merenung, remaja itu bingung juga ke mana dia akan tinggal. Azkia merogoh hpnya, dia mengecek apakah ada panggilan dari orangtuanya, tapi nyatanya tetap saja tidak ada. Azkia menghela napas berat. Kenapa kehidupannya sangat rumit sepert ini. Dering hp membuyarkan lamunan Azkia, dia menatap hpnya, bukan hp nya lah yang berbunyi. Nathan buru-buru merogoh saku celananya, mengeluarkan hp yang berbunyi nyaring. “Halo, Pa!” sapa Nathan saat sambungan terhubung. “Pulang!” titah Yogi di sebrang sana. Nathan menatap Azkia yang juga menatapnya. “Ini Nathan masih ada urusan,” jawab Nathan. “Papa bilang pulang ya pulang!” tegas Yogi. Azkia menundukkan kepalanya saat melihat raut Nathan yang berubah. Azkia menebak Nathan sedang dimarahi orangtuanya karena tidak kunjung pulang. Mengetahui hal itu membuat Azkia menggigit jemarinya gelisah. Dia takut kalau Nathan akan dimarahi orangtuanya seperti dia yang dimarahi orangtuanya. “Pa, Nathan ini lagi sama temen. Nanti kalau urusannya sudah kelar, Nathan akan pulang,” jawab Nathan mencoba membujuk papanya. Nathan ingin membantu Azkia dulu cari kontrakan yang bisa untuk menginap semalam. “Urusan sama cewek?” tanya Yogi. Nathan dengan spontan berdiri. Dia celingak-celinguk ke penjuru warung soto mencari keberadaan papanya. Namun, tidak juga kelihatan batang hidungnya. “Papa kenal betul siapa cewek yang kamu bawa, Jangan main-main dengan orangtua mereka, Nathan!” ucap Yogi. Tersirat nada kekhawatiran di suara Yogi. Mendengar ucapan papanya membuat Nathan mematung. Apakah orangtua Azkia memang orang yang sangat kejam hingga papanya menyuruhnya hati-hati. “Pa, papa tenang saja. Nathan akan baik-baik saja,” jawab Nathan mematikan sambungan telfonnya sepihak. Nathan tidak akan takut dengan orangtua Azkia. Menurutnya orangtua Azkia sangat jahat sampai menelantarakan anaknya tanpa uang dan tidak memperbolehkan pulang, Ingin rasanya Nathan menghajar papa Azkia. Waktu membuat Azkia saja keenakan, giliran mengurus tidak mau. “Nathan, kamu mau pulang ya? Pulang saja aku tidak apa-apa,” ucap Azkia lirih. “Tidak apa-apa bagaimana? Lo perempuan, kalau bukan gue yang jagaian lo, terus siapa lagi?” teriak Nathan kesal. “Aku takut kamu dimarahin orangtua kamu, Nathan,” jawab Azkia. “Palingan papa gue kalau marah Cuma modal omong. Sini kita cari kontrakan untuk sementara. Kamu kelihatan sudah pucet,” ajak Nathan menarik tangan Azkia. Azkia mengikuti Nathan sembari mendekap hoddie Nathan. Setelah membayar sotonya, Nathan mengajak Azkia keluar. Alangkah terkejutnya Azkia saat keluar mendapati anak buah papanya berjejer di depan mobil hitam milik papanya yang tak jauh dari warung soto. Azkia merapatkan tubuhnya pada Nathan, dia sangat ketakutan. “Nathan, aku takut!” bisik Azkia memegang erat kaos belakang Nathan. Seorang bodyguard Bram mendekati Azkia dan Nathan, tatapan matanya sangat tajam, pas untuk raut mukanya yang sangat sangar. “Nona, Tuan menyuruh saya untuk menjemput Anda,” ucap Bodyguard itu. Bodyguard itu ditugaskan Bram untuk mencari Azkia. Untunglah dia mempunyai cara untuk melacak gadis itu, kalau sampai tidak ketemu sudah pasti saat sampai rumah, dia akan dihajar Bram sampai habis. “Azkia sama gue!” ucap Nathan menatap tajam pria bertubuh besar itu. “Saya tidak mau ribut. Saya hanya ingin menjemput Nona. Tuan dan Nyonya sudah menunggu di rumah.” “Aku tidak mau!” ujar Azkia menggelengkan kepalanya. “Mereka khawati dengan Nona. Ayo silahkan!” “Apanya yang khawatir? Tadi papaku mengatakan aku tidak boleh pulang malam ini!” seru Azkia. Bodyguard itu menarik tangan Azkia dengan paksa. Nathan mencegahnya. Mendorong d**a Bodyguard itu dengan kencang. “Jangan kasar!” ujar Nathan dengan tajam. “Minggir kamu!” titah Bodyguard itu menarik lengan Nathan. “Nathan sudah! Kamu bakal kalah sama mereka. Aku ikut mereka saja,” ucap Azkia saat bodyguard itu ingin melayangkan pukulannya pada Nathan. “Tidak bisa, Azkia. Lo sendiri yang bilang menderita sama orangtua lo. Dan orangtua lo yang sudah ngusir lo tanpa perasaan, lo punya otak gak sih mau balik lagi sama mereka?” bentak Nathan membuat Azkia ketakutan. “Tapi aku gak mau kamu kenapa-napa!” jawab Azkia terisak. “Lebih baik gue terluka karena berusaha melindungi lo daripada gue baik-baik saja tapi lihat lo menderita,” jawab Nathan. Buaghh!   Nathan melayangkan satu pukulannya tepat di rahang pria dewasa itu. Pria dewasa itu mengusap sudut bibirnya. Dia sudah terlatih bela diri, pukulan seperti ini sudah tidak terasa lagi untuknya. “Mau main-main anak muda?” tanya Bodyguard itu sembari menarik Azkia untuk berdiri di sampingnya. Buagh! Buagh! Buagh! Tiga pukulaan bertubi-tubi bodyguard itu layangkan kepada Nathan. Nathan tidak diam saja. Remaja itu terus melawan, beberapa kali dia juga meninjukan pukulannya ke wajah lawannya. Namun, pada akhirnya dia kalah. Rahangnya sudah mati rasa karena kena banyak pukulan. Azkia menangis sejadi-jadinya meihat Nathan yang babak belur. Setelah memastikan Nathan lemas, bodyguard itu membawa Azkia menuju mobil. Dan beberapa saat kemudian mobil melaju dengan kencang. Para pelanggaan warung soto berbondong menolong Nathan. Tadi mereka tidak berani melerai karena mereka sendiri takut membuat masalah dengan para bodyguard berseragam hitam. Beberapa kali Nathan meludahkan darah di bibirnya. Sudut bibir robek dan rahangnya juga sakit. Tanpa suara Nathan melepas cekalan tangan orang-orang yang membantunya. Nathan menuju motornya dan melajukan dengan kencang. “Sialan, mati aja lo orang-orang sialan!” umpat Nathan memukul setirnya beberapa kali. Emosi Nathan meluap tatkala mengingat Azkia yang tadi menangisinya. Ia sungguh kesal dengan papa Nathan, dengan anak sendiri teganya minta ampun, apalagi dengan orang lain. Membayangkan raut terluka Azkia membuat Nathan sakit hati. Dalam hati Nathan mengutuk orang-orang yang sudah membuat Azkia menderita. Sedangkan di rumah Bram, dia tengah mengusap wajahnya gelisah. Laki-laki paruh baya itu sangat khawatir dengan anaknya yang belum kunjung ditemukan. Sedangkan istrinya, malah asik memoles wajahnya dengan make up. “Kamu kenapa sih, Pa. Mondar-mandir terus?” tanya Ida pada suaminya. “Anakmu belum pulang juga. Siapa orangtua yang gak khawatir coba?” teriak Bram marah. Brakk! Ida menggebrak meja di depannya dengan kencang, “Siapa yang tadi melarangnya pulang ke rumah? Terus kenapa sekarang kamu cari Azkia?” tanya Ida dengan tajam. “Aku hanya ingin memberinya pelajaran. Kamu juga jadi ibu bukannya membela dia, malah membiarkan aku mengusirnya,” bentak Bram. “Kamu aneh, Mas. Didikan macam apa yang kamu berikan pada anakmu. Kamu mendidik dia dengan keras, kalau dia pergi kamu khawatir.” “Sejak Azkia kecil kamu tidak pernah mengurusnya dengan benar. Kamu yang sebagai ibunya tidak pernah menyusui dia. Aku yang sibuk kerja harus bawa Azkia yang masih bayi ke kantor, ikut rapat, nenangin dia saat nangis. Kamu ke mana saja? Aku sudah memberimu uang banyak, tetap saja kamu kurang dan memilih bekerja. Anak kamu terlantar kamu tidak peduli” teriak Bram mencengkram bahu istrinya dengan kencang. Apa yang dikatakan Bram memang benar adanya. Sejak Azkia kecil, dialah yang mengasuh Azkia sampai dia ajak lembur-lembur di kantor. Azkia kecil sangat malang. Bram yang masih meniti karir harus mengajak Azkia sengsara. Ada alasan kenapa Bram mendidik Azkia dengan keras. Dia ingin anaknya kuat dan bertanggungjawab. Anaknya Cuma satu dan Bram ingin Azkia lah yang nantinya meneruskan usahanya. Terkesan egois, tapi dalam lubuk hati Bram, ia selalu berdoa semoga Azkia bisa bahagia suatu hari nanti. Bram mendidik Azkia terkesan kasar, kalau Azkia tidak menurut dia langsung memukulnya dengan besi panjang. Ia kira istrinya akan simpati dan melindungi Azkia, tapi itu tidak pernah terjadi. Ida tetaplah Ida, tidak pernah mempedulikan anaknya.  "Dia anakmu, urus saja dia sendiri," ucap Ida beranjak berdiri.  "Kamu yang sudah melahirkannya!" teriak Bram. Ia selalu merasa marah tatkala Ida tidak pernah mengakui Azkia anaknya hanya karena wajah Azkia yang lebih mirip dengan Bram.  Pernikahan Bram dan Ida didasari perjodohan, Keduanya saling membenci, walau saat malam mereka saling membutuhkan untuk menuntaskan hasrat biologis. Hubungan kedua orang itu tidak pernah baik, tinggal di atap yang sama tapi tidak pernah bertegur sapa. Ida, wanita dengan keegoisan yang tinggi, dia menginginkan anak laki-laki tapi yang lahir malah perempuan. Apalagi dulu Azkia tidak secantik sekarang, itu membuat Ida malu dan memaksa Azkia untuk menjaga bentuk tubuhnya agar tetap bagus dan enak dipandang. Biar kalau dia ajak ke mana-mana tidak bikin malu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD