Nathan menggigit tali hoddienya dengan gelisah. Remaja itu tengah duduk di ruang tamu sembari sesekali melirik ke arah toples kentang. Suasana hati Nathan sangat tidak baik, dia sudah menghabiskan dua toples keripik kentang, tapi bukannya perasaannya membaik malah membuatnya memburuk. Apalagi bibirnya juga linu karena terus mengunyah. Kali ini ada yang berbeda dari Nathan, biasanya dia sangat petakilan bahkan sampai koprol depan belakang, kini hanya diam melamun. Ini sema gara-gara Azkia.
Nathan memikirkan Azkia yang tadi dia biarkan pergi begitu saja. Sebenarnya Nathan ingin memaksa Azkia untuk ikut dengannya, tapi dia terlalu gengsi untuk memaksa Azkia. Nathan melirik jam tangannya, sudah lebih dari satu jam ia pulang ke rumah. Suara petir bergemuruh membuat Nathan dengan spontan berlari ke luar rumah. Nathan melihat langit yang sudah menggelap karena mendung.
“Mama … Ma, Nathan pinjem motornya sebentar!” teriak Nathan kencang.
Yura yang berada di dapur sedang membuat donat pun berlari tergopoh-gopoh menghampiri anaknya, “Kamu mau ke mana?” teriak Yura.
Nathan menuju garasi, mengambil kunci motor matick milik mamanya yang ada di laci kecil menempel pada tembok. Saat sudah menstater dan akan melajukan motornya, Yura datang menghadang anaknya.
“Ma, Nathan mau keluar sebentar nih. Mama minggir!” ucap Nathan.
“Kamu mau ke mana? Gak lihat kalau awannya mendung banget. Kalau hujan gimana?” omel Yura.
“Ada sesuatu yang lebih penting, Ma.”
“Sesuatu apa? Nanti papa kamu marah kalau kamu keluar gini. Ujungnya mama juga yang kena marah karena biarin kamu pergi,” ujar Yura.
Yogi selalu possessive terhadap anak-anaknya. Yogi akan melarang keras anak-anaknya keluar tanpa pengawasan apalagi kalau pergi naik motor sendiri. Tentu saja Yogi sangat khawatir kalau anak-anaknya kenapa-napa.
“Kamu kalau keluar mending sama sopir, naik mobil gak kehujanan!” ujar Yura lagi.
“Ma, masak mau sama cewek harus dinyamukin sopir, malu lah, Ma. Mama kayak gak pernah muda aja.” Nathan merengek seraya memanyunkan bibirnya.
“Turun!” titah Yura.
Nathan menatap langit dan mamanya bergantian, sumpah demi apapun dia sangat khawatir dengan Azkia yang saat ini entah di mana.
“Ma, Nathan janji kalau akan pulang sebelum papa pulang. Nathan jalan dulu, see you Ma!” ujar Nathan menjalankan motornya dengan kencang. Untungnya pintu pagar terbuka lebar, tidak membuatnya harus mohon-mohon pada satpam.
Yura meremas rambutnya kasar. Hal yang selalu ditakutkan Yura adalah ketika dia tidak bisa mengendalikan anaknya. Sebenarnya Yura membebaskan anaknya kalau mau main ke luar, tapi suaminya yang selalu marah. Yogi seakan mengekang anaknya agar pergaulan anaknya tidak terlalu bebas, Yogi takut kalau anaknya ugal-ugalan di luar sana, meski seusia Nathan nakal itu masih wajar.
Nathan melajukan motornya di jalanan terakhir kali dia melihat Azkia tadi. Sepanjang perjalanan Nathan menatap awas sudut-sudut jalan yang dia lewati. Nathan berharap sebelum hujan dia bisa menemukan Azkia.
“Bangcaaat, kenapa sih gue nyari gadis gak tau diri kayak Azkia,” maki Nathan dalam hati. Menurut Nathan, Azkia adalah gadis yang paling tidak tau diri. Tadi sudah dia tolong, tapi dengan angkuh malah menolak.
Namun, penolakan Azkia malah membuat Nathan tertarik. Jarang-jarang Nathan peduli pada cewek, harusnya Azkia senang apalagi Nathan adalah orang yang disukainya.
Seorang gadis duduk di halte bus sembari mengencangkan ikat pinggangnya untuk menahan lapar. Azkia menatap pepohonan yang melambai kencang, gadis itu sungguh ketakutan dihadapkan situasi seperti ini. Harusnya jam segini Azkia belajar di rumah dengan ruangan yang berAc, tapi kali ini ia berada di tengah-tengah badai.
Dering hp membuat Azkia merogoh tasnya, panggilan dari mamanya. Buru-buru Azkia mengangkatnya, Azkia sangat ingin menyampaikan keluh kesahnya kepada mamanya, dan Azkia berharap mamanya berada di pihaknya.
“Halo, Ma. Apa kabar?” sapa Azkia. Meski tinggal di atap yang sama, Azkia sangat jarang berjumpa dengan mamanya karena mamanya sibuk bekerja. Mamanya pergi saat dia belum bangun dan pulang saat dia sudah tertidur. Setiap kali mereka bertemu, pasti Azkia akan menanyakan kabar.
“Kamu buat ulah apa lagi sama papa?” tanya mama Azkia dengan tajam. Azkia mematung seketika, tangan gadis itu berkeringat dingin, mamanya malah menyalahkannya.
“Jawab, Azkia!” tekan mama Azkia.
“Ma ….” Suara Azkia tercekat. Lidahnya kelu hanya sekadar berbicara.
“Kapan sih kamu gak nyusahin papa dan berhenti buat ulah? Apa perlu kamu homeschooling lagi? Sudah disekolahin di umum bukannya berterimakasih malah bergaul dengan anak-anak gak jelas. Sadar diri, Azkia. Kamu anak orang terpandang. Untuk saat ini gak usah pulang, renungkan semua kesalahanmu.”
Pip!
Sambungan telfon terputus, Azkia menatap hpnya. Air mata sudah tidak terbendung lagi, tumpah ruah membasahi pipi gadis itu. Semesta seakan tidak pernah ada di pihaknya, semua menyudutkannya. Mama papa nya yang merupakan orangtua kandung, sama sekali tidak mempedulikannya.
Ciiit!
Suara ban berdecit nyaring membuat Azkia menatap lurus ke depan. Seorang pengendara motor berhenti tak jauh dari dirinya, Azkia celingukan. Karena fokus pada mamanya, ia sampai tidak sadar kalau hujan sudah turun dengan rintik-rintik.
“Nathan, kenapa kamu ke sini?” tanya Azkia dengan bingung. Nathan yang tidak memakai helm, memudahkan Azkia mengenalinya.
“Kamu bodoh atau gimana, sih? Kenapa berhenti di tempat sepi kayak gini?” teriak Nathan turun dari motornya. Azkia menatap Nathan penuh curiga, satu … dua … tiga, Azkia mengambil ancang-ancang akan berlari, tapi tangannya dicekal oleh Nathan.
“Lepasin Nathan!” ucap Azkia berusaha menarik tangannya.
“Lo songong amat sih jadi cewek. Gue sudah bela-belain dimarahin emak gue demi nyusul lo, malah lo mau pergi,” omel Nathan.
“Aku juga gak minta kamu jemput, ngapain kamu repot?” tanya Azkia bingung. Nathan menggaruk tengkuknya, iya juga kenapa dia harus menyusul.
“Ya lo yang salah. Lo itu sudah meracuni otak gue, jadinya otak gue mikirin lo terus!” ucap Nathan menusuk-nusuk kepala Azkia dengan telunjuknya. Azkia hampir terjungkal karena tusukan jari Nathan sangat penuh tenaga.
“Tunggu. Kamu mikirin aku?” tanya Azkia kaget. Seketika rasa senang itu ada di hati Azkia.
“Canda elah, gak usah kepedean jadi cewek. Ayo gue antar lo pulang. Lo gak takut apa kalau ketemu pria jahat terus diperkosa di sini.” Nathan menarik tangan Azkia untuk menuju motornya. Namun, hujan yang awalnya hanya gerimis, kini menjadi deras disertai angin kencang juga petir yang bergemuruh.
“Kyaaaa!” teriak Azkia kencang saat kilatan petir terlihat dengan jelas. Dengan spontan Nathan memeluk tubuh mungil Azkia dan mendekapnya erat. Suara Guntur menyusul dengan kecang, Nathan makin mendekap tubuh Azkia.
Harum parfum Nathan membuat hidung Azkia sungguh termanja. Meski bercampur bau ketek, setidaknya masih ada aroma wangi. Sadar akan perlakuannya, Nathan langsung melepas pelukan Azkia sambil sedikit mendorongnya. Azkia yang tidak siap pun langsung jatuh terjerembab dengan mengenaskan.
“Awwww ….” Ringis Azkia. Nathan melepas hoddie yang dia kenakan, melemparnya tepat ke wajah Azkia.
“Pakai itu, biar gak kedinginan!” titah Nathan.
Azkia mengambil Hoddie warna hitam milik Nathan. Azkia melirik Nathan, remaja itu berekspresi dengan wajah datar. Azkia menahan kedutan bibirnya yang akan tersenyum. Di derasnya hujan ini, Azkia baru bisa menilai kalau Nathan sangat perhatian. Buktinya remaja itu rela kembali hanya untuk menjemputnya juga memberikan hoddie dengan sukarela.
“Kenapa lo senyum-senyum gitu?” tanya Nathan membuat Azkia menetralkan ekpsresinya.
“Jangan kepedean, gue Cuma kasihan sama lo,” ucap Nathan memaksa Azkia untuk berdiri. Nathan merebut hoddie miliknya dan memakaikan paksa di tubuh Azkia. Untungnya tubuh Azkia sangat kecil, membuatnya tidak kesulitan memaksa gadis itu.
Nathan tertawa ngakak saat melihat tubuh Azkia yang tenggelam dalam hoddienya. Melihat Nathan yang tertawa, membuat Azkia pun ikut tertawa, sebelum kata-kata dari lambe pedas Nathan menghentikannya.
“Gak usah ikut ketawa, lo jeleek!”