Yuda sudah selesai mandi dan sholat Ashar. Ia duduk di atas tikar yang di gelar di ruang tamu rumah petak yang mereka tampati. Di hadapannya ada bungkusan berisi makanan yang dibelikan Yuki tadi.
Yuda menghirup teh hangatnya.
"Ini makanan dibelikan Non Yuki. Tadi aku diminta mengantar dia nonton di mall dengan teman-temannya. Setelah nonton mereka makan di restoran, non Yuki memaksaku ikut makan di sana. Aku bilang dibungkus saja, biar bisa makan sama kamu, Dek. Tapi non Yuki marah, dia menyuruhku ikut makan di sana. Eeh pas kami mau ke luar dari restoran, non Yuki memberikan ini. Katanya 'ini buat aunty di rumah'. Ini buat kamu dek, ayo dimakan, Mas sudah makan ini juga tadi" ujar Yuda memberikan penjelasan panjang tentang sejarah makanan yang dibawanya.
"Kita makan berdua ya Mas"
"Tidak Dek, Mas sudah kenyang, makanlah. Mau Mas suapi?"
"Tidak usah, Mas pasti sangat lelah, Mas istirahat saja"
"Sebentar lagi maghrib, Dek. Tanggung kalau mau istirahat, oh ya ini, ini uang hasil dari pasar." Yuda meletakan beberapa lembar uang pecahan 10.000, 5.000, dan 2.000 yang ia dapat dari pasar.
"Tadi yang dari pasar aku kasih anak-anak pengamen 6.000, Dek. Yang ini dari non Yuki" Yuda meletakan uang 100.000 cetakan terbaru yang tadi diberikan Yuki.
"Kok dikasih uang sebanyak ini Mas?"
"Non Yuki nonton sama teman-temannya, aku nunggu di luar. Dikasih ini, katanya buat aku jajan sementara dia nonton. Karena aku nggak ingin jajan, uangmya aku kembalikan. Tapi dia bilang uang ini buat aku"
"Duuh baik sekali ya non Yuki itu Mas, berapa usianya?"
"Baru 16 tahun"
"Pasti imut sekali ya"
"Imut, tapi angin-anginan Dek"
"Angin-anginan bagaimana?"
"Kadang baik, kadang judes, kadang diam, hhhh masih labil"
"Wajarlah Mas, masih remaja"
"Nah ini ada satu lembar lagi, ini uang lemburku yang diberi Bu Fina. Kepala rumah tangga di rumah Mr. Yamata"
Yuda meletakan uang 50.000 yang tadi diberikan Bu Fina.
"Kok banyak uang lemburnya Mas?"
"Tadi juga aku tanya begitu ke Bu Fina. Kata Bu Fina ini rezeki istrimu dan a..." kalimat Yuda terhenti. Ia baru tersadar kalau ia tidak boleh menyinggung soal anak di depan istrinya. Karena itu pasti akan melukai hati Ajeng.
Apa yang terjadi pada hidup Ajeng bukan kemauannya, tapi takdir yang mau tidak mau harus Ajeng terima. Dan Yuda sudah bertekad untuk menerima semua kekurangan Ajeng dengan lapang d**a.
"Rezekiku dan rezeki siapa Mas?"
"Rezekimu dan rezeki aku tentu saja Dek. Simpan uangnya, aku percaya kamu bisa menggunakan uang ini dengan sebaik-baiknya. Doakan agar aku, bisa terus mendapat rezeki untuk mencukupi kebutuhan hidup kita, juga hidup keluarga kita di kampung, aamiin"
"Aamiin"
"Makanlah, habiskan ya"
"Ya Mas, nanti sampaikan terimakasihku pada non Yuki ya Mas"
"Insya Allah, oh ya Dek. Mulai besok tidak usah membuat bekal untukku lagi"
"Kenapa Mas"
"Kata Bu Fina, semua pegawai di rumah Mr. Yamata boleh makan di sana. Jadi aku sarapan dan makan siang di sana saja. Lumayankan bisa mengurangi pengeluaran kita"
"Alhamdulillah, pantas saja non Yuki baik ya Mas, kakeknya juga orang yang sangat baik"
"Iya Dek"
Yuda menganggukan kepala, sejujurnya masih ada yang mengganjal di dalam hatinya. Ia merasa bersalah karena masih menyimpan satu cerita. Cerita tentang kecupan Yuki di pipinya.
'Maafkan aku Dek, karena tidak menceritakan semuanya padamu. Aku hanya ingin menjaga perasaanmu. Kau sudah terlalu banyak menderita Dek, aku tidak ingin menambah penderitaanmu. Aku ingin membuatmu merasa bahagia, itu saja'
Pukul setengah tujuh pagi, Yuda sudah ada di runah Mr. Yamata. Ia sarapan di sana, lalu membersihkan mobil yang akan dibawanya mengantar Yuki ke sekolah.
Sejak kemarin ia tidak melihat Mr. Yamata sedikitpun. Ia pun enggan untuk bertanya, kemana Boss besarnya itu sehingga ia tidak melihatnya.
"Mas Yuda" panggil Bik Rah, salah satu asisten rumah tangga Mr. Yamata.
"Ya MBak"
"Di panggil non Yuki"
"Ooh, di mana dia Mbak?"
"Ada di ruang makan"
"Baik Mbak"
Yuda mengikuti langkah Bik Rah menuju ruang makan.
"Assalamuallaikum, selamat pagi Non"
"Pagi, duduk!" Yuki menunjuk kursi makan di seberangnya.
"Maaf Non, saya berdiri saja" tolak Yuda yang merasa enggan duduk di kursi makan yang terlihat sangat mahal baginya.
"Aku bilang duduk Uncle, jangan membantah deh!" Seru Yuki dengan tatapan marah.
"Ba..baik Non" akhirnya Yuda duduk juga.
Yuki memakan nasi gorengnya dengan santai. Seakan ia melupakan Yuda yang duduk di seberangnya.
'Hhhh dasar gadis labil. Aku dipanggil cuma untuk nonton dia makan ternyata. Tingkah anak jaman sekarang apa memang begini ya. Kehilangan sopan santun dan rasa hormat pada orang yang lebih tua'
"Uncle bicara apa?" Tanya Yuki tiba-tiba, Yuda sampai terkejut karenanya.
"Engh tidak ada, saya tidak bicara apa-apa Non"
"Di mulut tidak bicara, tapi di dalam hati pasti Uncle sedang menggerutu. Makanya, besok jangan sarapan sendirian!"
"Maksud Non Yuki?"
"Temani aku sarapan di sini!" Jawab Yuki dengan nada ketus dan bossynya.
Yuda membulatkan matanya.
'Apa aku tidak salah dengar, masa iya supir ikut makan di meja makan bersama majikannya?'
"Uncle dengar tidak apa yang aku katakan!?"
"Saya mendengarnya Nona, tapi tidak sopan rasanya ka..."
"Itu perintah! Tidak boleh dibantah, mengerti!? Sekarang kita berangkat. Nih bawakan tasku!" Yuki menyerahkan tas punggungnya pada Yuda. Yuda menerimanya tanpa bicara lagi.
Yuda membukakan pintu bagian belakang untuk Yuki.
Mata Yuki melotot.
"Aku duduk di depan, aku sudah katakan kalau aku tidak suka sendirian. Duduk di mobil ataupun duduk di meja makan, paham!"
"Paham Non, maaf" cepat Yuda membuka pintu depan. Ia mengelus dadanya sendiri, karena sepagi ini sudah kena semprot nona mudanya berkali-kali. Tapi inilah jalannya untuk mengais rezeki. Untuk menghidupi istrinya, juga keluarganya di kampung. Ia sudah bertekad untuk bisa tahan menghadapi kelabilan yang diperlihatkan Yuki. Yuda tidak tahu, apakah remaja jaman sekarang memang modelnya seperti Yuki, ataukah hanya Yuki yang memiliki tingkat kelabilan sangat tinggi.
BERSAMBUNG