9. Ikan Asin

1388 Words
“Sebenarnya aku penasaran. Kenapa sampai sekarang, ... bahkan meski kita hanya sedang berdua. Kamu, ... kamu tetap pakai cadar?” tanya Daniel. “M–malu,” balas Violita dan membuat Daniel melongo. “Malu gimana?” tanya Daniel. “Aku enggak percaya diri, Mas. Apalagi semenjak kejadian itu, dan berakhir dengan pernikahan kita. Jujur, keluar kontrakan saja aku ketakutan. Jadi, agenda dagang besok ya semata biar aku tetap bisa makan.” “Termasuk ke Mas, ... ya aku malu. Aku ... aku enggak akan lupa bagaimana mas Fathan menghakimiku.” “Malu lah ... sudah dibegitukan. Ya Alhamdullilah, sebelumnya aku sudah bercadar dan sekarang lanjut.” “Jadi memang, ... aku merasa kenyamanan dan ketenangan tersendiri di setiap aku memakai cadar. Bahkan meski itu aku sedang hanya berdua dengan Mas!” Mengucapkan semua itu, d**a Violita bergemuruh parah. Sesak, sakit, Violita rasa secara bersamaan. Apalagi jika ia harus ingat perlakuan Fathan yang tak segan menginjak kepalanya. Itu benar-benar tak hanya membuat Violita sakit. Karena Viola juga merasa takut luar biasa, malu, selain Violita yang juga telanjur trauma. Daniel yang jadi menatap pedih wajah sang istri berangsur menggeleng. Kedua telapak tangannya yang penuh luka, berangsur membingkai wajah Violita. “Kamu enggak sepantasnya takut. Percaya, mereka semua akan mendapatkan karma!” yakin Daniel. Seiring dirinya yang menepis tatapan Daniel, air mata Violita jatuh membasahi cadar dan juga sebagian wajah Daniel. Namun tiba-tiba saja Violita sadar, bahwa baru saja, dirinya telah berkeluh kesah kepada sang suami mengenai penghakiman dari Fathan yang tak hanya melukainya. Karena ulah mantan calon suaminya itu juga membuatnya benar-benar trauma. “Masya Allah ... tadi aku beneran keceplosan,” batin Violita makin sibuk menghindari tatapan Daniel. Kedua mata cokelat milik suaminya, terus menatapnya lekat. Tatapan khas penuh kepedulian, seolah Daniel sangat tulus kepadanya. “Permisi ... boleh, kan? Biar aku mengenali wajahmu,” lembut Daniel masih menatap Violita penuh kepedulian. Violita yang mendengar itu berangsur mengangguk. Ia belum berani menatap Daniel secara terang-terangan. Namun, kedua tangannya sengaja melepas cadarnya hingga tangan Daniel tak perlu melakukannya. “Cantik banget! Beneran cantik banget!” ucap Daniel sengaja memuji Violita. Hati Violita langsung bergetar mendengar pujian barusan. Namun, Violita tetap belum berani menatap kedua mata Daniel secara terang-terangan. “Sekarang aku tahu, kenapa Fathan begitu marah dan terus saja semena-mena kepada kita khususnya kamu,” lembut Daniel masih hanyut memandangi wajah sang istri. Detik itu juga, Violita refleks menatap kedua mata sang suami. “Karena kamu terlalu cantik. Bukan hanya dari fisik, tapi juga hati dan sikap kamu. Dia pasti enggak bisa move on, jadi sebisa mungkin, dia bakalan terus rusuh ke kamu!” lanjut Daniel. “Kan dia sudah menikah. Dia juga yang memutuskan, tanpa ada paksaan, Mas,” balas Violita lirih. Namun, Daniel yang perlahan menggunakan kedua tangannya untuk membingkai wajah Violita, malah menahan senyum. Daniel menggeleng pelan. “Dia sengaja gitu biar kamu cemburu. Buat balas kamu yang justru sama aku. Karena dia memang terlalu hancur tanpa kamu. Fatalnya, kamu sama sekali enggak respons dia. Ibarat kuda lumping, dia sudah kesurup.an parah, tapi malah ditinggal dalangnya, sementara dalangnya itu kamu.” Meski menyimak penjelasan sang suami yang dipenuhi kelembutan, Violita tetap terusik dengan kasarnya telapak tangan Daniel. Benar saja ketika ia perhatikan. Kedua telapak tangan Daniel penuh luka layaknya melepuh. “Enggak apa-apa. Aku bahkan belum bayar emas kawin buat kamu. Cari uang memang sesusah ini. Bismillah saja, berkah!” ucap Daniel tak ambil pusing dengan setiap luka di telapak tangannya. Apalagi sejauh ini, kehidupannya menjadi bos mafia, sudah membuatnya menelan banyak asam garam kehidupan. “Aamiin, Mas. Namun bentar, ... aku olesi salep biar besok enggak terasa kaki telapak tangan Mas.” Violita tetap sigap merawat Daniel. Ia bahkan membuat Daniel tidur dengan lelap berkat pijatan demi pijatan yang ia lakukan. Barulah setelah Daniel lelap, Violita sengaja merebahkan kepala di sebelah Daniel. Kali ini, mereka yang sudah memiliki dua buah bantal, tidur di bantal masing-masing. Senyum cerah Violita meluap bersamaan dengan kedua matanya yang mengawasi wajah Daniel. “Sebenarnya Mas Daniel juga sangat tampan. Apalagi kalau luka-luka di wajah Mas sudah mendingan, ... pasti Masya Allah banget!” batinnya yang pada akhirnya ketiduran sampai berpindah ke bahu Daniel. Daniel yang terusik segera mendekap tubuh Violita erat. Ia sengaja miring agak menindih tubuh Violita lantaran hujan deras disertai angin yang berlangsung, membuat beberapa genteng bocor. Kebetulan, jika ia tidak melindungi Violita, justru Violita yang terkena tetes hujan. Tetes demi tetes air hujan menimpa punggung Daniel. Termasuk juga punggung kepala. Sementara Daniel yang tidak tidur, masih sibuk mengawasi setiap lekuk wajah sang istri. “Sekarang aku hafal rupamu. Selamat tidur istriku yang paling cantik,” batin Daniel benar-benar manis. Tak kalah manis dari senyum di wajahnya hanya karena kesibukannya memandangi sang istri penuh cinta. Sekitar pukul setengah enam pagi, Daniel sudah memasuki area klinik. Gorengan, nasi kuning, bubur sumsum, yang biasanya digemari masyarakat sana, Daniel pasarkan. Yang Daniel tahu dari sang istri, masyarakat sana biasa sarapan itu di pagi hari. “Kopi ...? s**u? Teh manis? Teh tawar?” ucap Daniel mendapatkan tawaran itu dari penghuni klinik. Kebetulan, baik pasien maupun yang jaga di klinik tersebut terbilang penuh. Keberadaan klinik sendiri terbilang dekat nyaris hanya berseberangan dengan puskesmas. “Ah iya ... sepertinya si Vio lupa kalau yang beli juga pengin minumannya,” pikir Daniel tetap menyanggupi permintaan minuman yang disebutkan, meski ia tahu, di rumah, sang istri belum sampai menyetok. “Minumannya sebentar lagi, ya!” ramah Daniel. Daniel yang memang pincang, tetap cekatan bahkan dalam melangkahnya. Terpincang-pincang Daniel menuju warung terdekat. Ia membeli kopi, kental manis, maupun teh, dan juga gula. Bergegas ia pulang meminta sang istri membuatkan pesanan minuman yang ia dapatkan. “Cuma diseduh, ya? Airnya seberapa banyak? Terus kalau bikin teh manis gula sama tehnya takarannya bagaimana?” Daniel langsung banyak belajar. Hingga meski pesanan dan jualan mereka banyak, Violita tidak sibuk sendiri. Bahkan meski Daniel pincang, pria itu tetap sangat lincah. “Cuma itu, kan?” sergah Violita ketika Daniel akan pergi membawa minuman yang sudah ia buatkan. Berbekal kotak besar, gelas sekali pakai berisi aneka minuman, Daniel boyong. “Iya ... itu yang mau dikirim ke puskesmas, gimana?” sergah Daniel sambil menoleh dan menatap sang istri. Namun, Violita berdalih bahwa yang ke puskesmas akan Violita yang mengirimnya. “Mas beneran mau bawa ke kerjaan? Apa sekalian saja aku dagang di sana?” ucap Violita. “Apaan? Kamu dagang di sana yang ada aku sibuk tantrum gara-gara kamu pasti digodain mereka!” ucap Daniel kali ini jadi sewot, tapi Violita malah menertawakannya. “Kamu mau sarapan apa? Soalnya kalau sudah sibuk masak banyak, jadi enggak lapar. Karena menghirup aromanya saja beneran kenyang. Sumpah enggak ngada-ngada, aku, sekadar bau gorengan langsung kenyang. Padahal baru sekali. Tapi alhamdullilah, sampai nambah beli tepung sama minyak!” ucap Daniel ketika akhirnya ia beres jualan. Semua uang hasil jualan, Daniel setorkan ke sang istri yang lagi-lagi tertawa karena ocehannya. “Aku rebus labu siam, goreng ikan asin, sama bikin sambel. Ada timun, kerupuk juga.” Violita tak lebih dulu mengecek uang hasil jualan sang suami. Ia segera mengeluarkan semua yang ia maksud dan langsung disambut semangat oleh sang suami yang mengaku langsung lapar hanya karena apa yang Violita sebutkan. Padahal pada kenyataannya, ternyata Daniel tidak tahu caranya makan ikan asin. “Keras semua. Kamu gorengnya terlalu kering,” ucap Daniel. “Yang namanya ikan asin ya gini, Mas. Keras. Kayak dendeng saja, sudah beda kan teksturnya. Mas ih, jangan-jangan, Mas ini orang kaya, makanya enggak paham ikan asin. Sini aku suapin saja,” ucap Violita. Disinggung sebagai orang kaya oleh sang istri, wajah Daniel langsung pucat. Terlepas dari semuanya, makan ikan asin benar-benar menjadi kali pertama untuk seorang Daniel. “Gimana?” ragu Violita memastikan karena tampang suaminya jadi agak lain. Daniel tampak jelas menerka-nerka. “Beda sama nasi Padang, ya?” tanya Daniel yang makin cepat mengunyah. “Tapi ini enak. Enak banget! Sambal, nasi hangat, rebusan apa tadi itu? Ah iya, labu ... sama ikan asin!” heboh Daniel sambil menyodorkan kedua jempol tangannya ke Violita. Violita refleks melan makanan di dalam mulutnya. “Serius, suamiku beneran baru makan ikan asin?” pikirnya masih aktif menatap sang suami. Selain itu, kali ini ia tak memakai cadar karena sedari sebelum subuh, ia terus di dalam rumah. Malahan, Daniel yang sibuk ke sana ke mari untuk mengantar jualan maupun membeli bahan dagangan yang kurang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD