4. Ikhlas

1173 Words
“Sebelum kalian benar-benar pergi, kalian wajib jadi saksi pernikahanku dan Rindu!” tegas Fathan masih saja berusaha merusuhi Violita. Violita yang baru saja berdiri dan sampai memapah Daniel justru lebih tertarik ke ekspresi bahagia Rindu. Ia menatap adik sambungnya itu sambil menahan rasa sakit tak berdarah jauh di dalam dadanya. “Kamu bahagia, Dek? Bahagia banget?” lembut Violita masih sangat santun, meski sekadar bicara saja, ia memang sudah sangat malas. Detik itu juga semua mata langsung tertuju kepada Violita maupun Rindu yang tengah dimaksud. “Tentu saja Rindu sangat bahagia karena dia jelas mendapatkan laki-laki yang tepat. Sementara kamu, identitas saja suamimu tidak jelas. Kamu melukai putra saya hanya untuk pria pincang yang bahkan miskin itu, Ta!” teriak ibu Rumi dan tak lain merupakan wanita yang melahirkan Fathan. Violita menatap datar wanita berkebaya gamis warna biru di hadapannya. Ia dan ibu Rumi hanya dipisahkan oleh hamparan meja. “Tanya ke Rindu, … apa yang dia taruh di tehnya. Teh yang dini hari tadi, dia paksakan agar saya dan mas Daniel yang posisinya pasien saya, cepat-cepat meminumnya!” tegasnya lirih. Violita sengaja menoleh, menatap Rindu yang ada di sisi kiri ibu Rumi. Seperti kecurigaannya, Rindu langsung terlihat panik ketakutan. Sungguh perubahan ekspresi yang sangat drastis. Daniel yang diam-diam masih mengawasi, juga makin yakin dengan kecurigaannya. “Jelas-jelas kamu yang salah, tapi sekarang kamu memfitnah adikmu sendiri yang tidak tahu apa-apa?!” tegas ibu Rianty berusaha melindungi sang putri. Ia yang sigap mendekap Rindu, kemudian menyikut sang suami. Detik itu juga pak Nendar yang memang makin emosi ke Rindu, sengaja meraih segelas te.h di hadapannya ke wajah sang putri. “Pak Nendar, … kamu ini seorang ayah. Bukannya mengayomi, tapi hanya bikin malu diri sendiri! Andai bisa memilih, putrimu ini pasti juga tidak sudi jadi bagian dari hidupmu!” tegas Daniel. “Terima kasih untuk semuanya.” Violita kembali menatap tegas sang ayah. “Dini hari tadi, kamu juga berdalih sudah menghubungi pak Teguh karena mas Daniel harus segera dirujuk ke rumah sakit. Coba sekarang buktikan karena pada kenyataannya, Mas Daniel ini pasien saya. Logikanya, sekadar jalan saja lemas pincang harus dipapah. Bekas infus bahkan masih ada!” “Ya ampun … ini gimana kalau sampai ketahuan …,” batin Rindu ketakutan. Ia memilih membenamkan wajahnya di d**a sang ibu. “Sudah salah masih memfitnah orang!” tegas Fathan yang sebenarnya juga sudah langsung penasaran dengan kronologi adanya Daniel di sana. Kali ini, tatapan sekaligus fokus Violita langsung tertuju ke Fathan. “Di sini memang tidak ada CCTV, tapi saya percaya, CCTV Allah nyata! Tak lupa, saya juga mengucapkan banyak terima kasih karena Mas sudah membuka topeng keaslian sifat Mas yang amat sangat kasar! Namun demi apa pun, saya sama sekali tidak merasa rugi hanya karena tak jadi menikah dengan Mas. Alhamdullilah!” Meski masih dirusuhi oleh Fathan dan orang tuanya, juga ibu Rianty yang terus melindungi sang putri. Violita sengaja masuk ke dalam rumahnya. Namun tentu saja, sebelumnya ia sudah mengantongi izin dari sang ayah. Pak Nendar mengizinkan Violita masuk ke dalam rumah asal itu untuk mengemasi barang-barang. Asal alasan Violita kembali masuk ke dalam rumah bukan lagi untuk menetap, pak Nendar mengizinkannya. Dari sekian banyak pakaian dan juga dokumen penting, bingkai foto 10R berisi foto sang ibu, juga menjadi yang paling wajib Violita bawa. Violita melakukannya sambil berlinang air mata. Terakhir, Violita berusaha menyalami tangan kanan sang ayah, tapi pria itu menolak dan malah membelakanginya. Sambil membungkuk santun kepada siapa pun yang ada di sana, Violita melayangkan salam perpisahan. Sebagiannya menjawab, tapi itu tak berlaku untuk Fathan dan orang tuanya. Begitu juga dengan pak Nendar, ibu Rianty, apalagi Rindu. “Syukur lah mereka langsung pergi. Diusir gini beneran bonus spesial sih. Enggak nyangka banget ayah sampai usir si Lita!” batin Rindu benar-benar lega. Dalam dekapan sang ibu, Rindu melepas kepergian Violita. Setiap gerak gerik saudari tirinya itu masih menjadi tontonan warga. Violita begitu sibuk dan memang sibuk sendiri karena sang suami yang orang-orang yakini sangat miskin, kaki kanannya pincang. Sudah pincang, miskin, hingga semuanya bahkan Rindu yakin, pernikahan Violita dan Daniel tak mungkin memiliki masa depan. Setelah menyusun dua tas jinjing besar miliknya di motor matic bagian depan, Violita segera menyusul Daniel. Daniel masih menunggu di depan kursi mereka sempat menjalani sidang kemudian berakhir dinikahkan. Rindu yang sadar Violita akan membawa pergi motor, sengaja menyikut sang ibu. Setelah langsung bertatapan dengan ibu Rianty, Rindu berbisik, mengabarkan nasib motor yang Violita bawa. “Ayah, … itu motornya dibawa loh,” bisik ibu Rianty berat. “Seenggaknya aku lebih berhak ke motor itu!” batinnya menatap kesal Violita. “Itu memang punya Lita. Dia beli motor pakai uang tabungannya dan memang langsung lunas!” ucap pak Nendar cuek. Ibu Rianty dan sang putri langsung ketar-ketir mendengarnya. Keduanya kembali bertatapan tajam karena memang tidak setuju motor itu tetap dibawa Violita. “Kalau motor itu malah disalah gunakan sama suaminya yang pincang miskin itu gimana, Ayah?” rengek Rindu sok peduli, padahal sebenarnya dirinya ingin memiliki motor Violita. Keadaan Daniel yang memang tidak memungkinkan jika dibonceng menggunakan motor membuat Violita bingung. Namun masalahnya, Violita juga tak mungkin memohon bantuan ke yang lain. Belum tentu mereka mau meski Violita sampai menangis darah. Terlebih sampai sekarang saja, ia hanya dijadikan bahan tontonan. “Ikat punggungku ke tubuhmu. Syukur-syukur pakai bahan agak lebat seperti jarit atau selimut,” ucap Daniel memberikan arahan. Ia yang sudah makin berkeringat parah akibat luka-lukanya, sudah Violita bantu duduk di motor. Tak lama kemudian, meski agak kesulitan, Violita benar-benar membawa Daniel pergi dari sana menggunakan motornya. Setelah mengarungi perjalanan panjang dan awalnya harus melewati jalanan rusak, akhirnya Violita berhasil membawa sang suami ke RS besar. Dibantu satpam yang bertugas, Daniel langsung dibawa masuk ke IGD. Sementara Violita segera mengurus pendaftaran dan keperluan lainnya. “Ya Allah … hamba benar-benar ikhlas. Hamba percaya, sebaik-baiknya rencana, rencana—Mu selalu yang paling mulia. Bayangkan jika aku jadi menikah dengan mas Fathan yang enggak segan main tangan sekaligus tendang. Tentu bukan hanya bibir hamba yang pecah berdarah-darah. Tentu bukan hanya wajah dan juga tubuh bagian lainnya yang lebam. Karena dia pasti akan melakukan lebih,” batin Violita terduduk lemas di kursi IGD Daniel ditangani. Daniel langsung tidur dan Violita yakin, tak semata karena efek luka-lukanya. Namun juga karena serangkaian pengobatan yang dijalani. Selanjutnya, Violita berpikir rumah sakit mereka berada akan menjadi tempat tinggal sementara mereka. “Namun jika mas Daniel juga memilih meninggalkan hamba, … hamba juga ikhlas ya Allah. Hamba sungguh berserah diri kepada—Mu. Karena apa pun itu, hamba percaya dari—Mu jauh lebih mulia,” batin Violita. Ia segera menyeka air matanya yang sibuk berjatuhan menggunakan ujung cadarnya. Keikhlasan Violita benar-benar nyata. Hampir satu minggu di rumah sakit, Violita merawat Daniel tanpa sedikit pun keluhan. Violita bahkan membiayai biaya pengobatan Daniel menggunakan uang tabungannya. Termasuk mengenai tempat tinggal, Violita masih memakai tabungannya yang tinggal tak seberapa. Violita menyewa sebuah kontrakan kecil di dekat puskesmas dirinya biasa bekerja. Lantas, rumah tangga seperti apa yang akan Violita milik? Karena sekadar mengobrol dengan laki-laki yang ia nikahi saja, Violita sangat jarang melakukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD