Sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu Bima bahkan komunikasi saja tidak kami lakukan, aku tidak mau mengganggu Bima bersama istri dan anaknya. Di sinilah aku berada dalam rumah seorang diri, papa bersama Tania ke Bali setelah mengetahui kehamilan Tania. Aku tahu mereka belum menikah dan Tania baru saja bercerai yang ternyata ditipu oleh mantan suami dan keluarganya, beberapa kali aku melihat mertua Tania ke kantor dan bertemu dengan Devan untuk mengadakan kerja sama namun dari Lila aku tahu jika Bima tidak mau kerja sama karena tidak menguntungkan.
Jangan tanyakan apakah aku bertemu Bima ketika dikantor jawabannya adalah tidak sama sekali karena Bima mengerjakan tugas yang lain menggantikan papa dan aku tidak bertanya lebih jauh pada Devan karena jika aku bertanya Devan akan memberikan ceramah panjang, hal-hal mengenai kantor aku lebih banyak tahu dari Lila walaupun Devan sudah memberikan peringatan agar aku tidak usah di beritahu tapi Lila seakan tidak peduli dengan peringatan dari Devan.
"Pagi, Bu" sapa Rifat dari bagian marketing ketika kami berpapasan.
Rifat pegawai baru di departemen marketing dan senior Tari adikku satu-satunya untuk sementara ini, Rifat bisa masuk kesini murni karena kemampuannya bukan bantuan Tari. Aku menatap Rifat dan tersenyum sebagai bentuk kesopanan karena selama ini beredar gosip jika aku ini sombong, aku bukan sombong hanya malas berbicara hal tidak penting kecuali jika bersama sahabat atau pun keluarga.
"Pak Bima lama di Kalimantan, Bu?" tanya Rifat sopan.
"Ada perlu?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Rifat sekilas aku melihat Rifat mengangguk "berikan pada Pak Devan saja" jawabku langsung “takutnya kelamaan kalau menunggu Pak Bima.”
"Baiklah, permisi" aku mengangguk namun tatapanku tidak lepas dari Rifat.
Rifat pemuda tampan dan aku heran kenapa Tari tidak menyukainya malah berada pada lingkup duda dan bad boy tidak jelas. Aku melangkah ke ruangan dimana aku biasa bekerja, papa memang memberikan kami anak-anaknya ruangan kerja sendiri karena memang kami sudah mulai bekerja dengan bimbingan dari Bima meskipun begitu papa tidak pernah memaksa kami berada pada lingkungannya.
"Baru datang?" tanya Lila ketika melihatku mendekat kearahnya.
Aku mengangguk "Om Bima masih lama?" Lila tidak peduli dengan pertanyaanku membuatku menatap kesal.
"Lumayan" jawab Lila "kenapa? kangen" aku cemberut mendengar godaan Lila "pikirkan perasaan istrinya" aku mencibir perkataan Lila dikira semudah itu.
"Permisi" ucap Rifat menghentikan aktivitas dan pembicaraan kami "Pak Devan?."
"Lagi keluar, bisa dibantu?" tanya Lila menatap Rifat dari atas ke bawah
Rifat menyerahkan map "ini dari departemen marketing sebenarnya untuk Pak Bima tapi sepertinya Pak Bima sedang tidak di tempat dan atas saran Bu Via diberikan Pak Devan" Lila memberikan tatapan menggoda sekilas membuatku mencibir sekali lagi.
Lila mengangguk paham "baik saya terima ya dengan siapa?" pertanyaan basa-basi karena Lila dan Bima mengenal hampir seluruh pegawai disini.
"Rifat, Bu" jawab Rifat sopan membuatku langsung menatapnya.
"Oh yang seniornya Tari itu?" menatapku yang hanya bisa mengangguk sebagai pertanyaan Lila "ya sudah kamu boleh keluar ini saya terima" Rifat lalu beranjak dari ruangan dan tidak sadar jika kedua wanita tersebut memandanginya "gila gue mau kalau cowoknya itu" teriak Lila sambil meremas lenganku membuat aku secara otomatis memukul tangannya tapi bukannya sakit malah tersenyum melihatku.
"Inget suami, mbak" ucapku sambil tersenyum menggoda.
"Gue setia ya gak kaya Bima" jawab Lila sebal "mertua Tania kemarin kesini lagi kasihan deh jadinya antara tega dan gak secara perusahaan itu sudah gak bisa di apa-apakan lagi."
"Gue mau godain mertua Tania bisa gak?" tanyaku tiba-tiba membuat Lila langsung menatapku.
Lila melotot "lo mau dibunuh sama kakak dan bokap lo belum lagi Bima" ucap Lila dengan nada tinggi “jangan macem-macem lah.”
"Gue penasaran aja seberapa hot sih main sama yang tua" jawabku santai "lagian Tania tu bisa awet sama papa bahkan main mulu jadi pengen" aku sambil membayangkan bermain dengan yang lebih tua.
"Cukup Bima ya yang jadi bahan lo mainan gak yang lain" ucap Lila dengan emosi membuatku tersenyum "udah otak lo jangan kesana" tegur Lila membuatku tersenyum.
"Lagian aku j****y, mbak" ucapku sedih "aku gak pernah jadiin Bima mainan karena memang kami saling membutuhkan, salah?"
"Cari aktivitas lain" saran Lila menyerah “coba posisikan lo sebagai wanita yang menjadi istrinya memang lo gak sakit suami lo begitu?” aku mengangkat bahu tanda tidak tahu dan tidak peduli.
"Udah tapi gak bisa masa harus pakai dildo" ucapku sedih “kalau istrinya bisa memuaskan suami gak akan mencari wanita lain’ aku menatap Lila “jangan salahkan aku saja lah.”
"Ya Tuhan gak bapak gak abangnya gak asistennya eh sekarang putrinya kenapa m***m semua" ucap Lila sambil mengelus d**a menatapku horor "mending lo ngejar Rifat sana umur gak beda jauh."
"Rifat cocok sama Tari daripada gue, mbak" tolakku langsung "tapi Tari udah punya pacar jadi gak mungkinlah" aku hanya diam “tapi boleh dicoba siapa tahu cocok diatas ranjang.
Lila tersenyum sambil mengelus dadanya "udah gue mau balik baca hasilnya marketing, bye"
Setelah kepergian Lila aku merenung sendiri semenjak di apartemen itu dan sampai sekarang aku belum disentuh Bima rasanya aku ingin disentuh pria, pria yang dekat denganku hanya Bima. Sepintas aku ingin mencoba pria selain Bima dan ideku adalah mantan mertua Tania, aku ingin mencoba bagaimana di posisi Tania tapi mengingat Bima sepertinya hal mustahil bagiku.
"Mau kemana?" tanya Lila ketika melihatku keluar dari ruangan tanpa berpamitan.
"Gue butuh p***s" sambil mengedipkan mata
Lila melotot mendengar jawabanku "jangan bilang lo" aku mengangguk karena aku tahu maksud dari perkataan Lila "jangan aneh-aneh" aku mencium pipi Lila dan meninggalkannya begitu saja
Lila teman yang enak diajak cerita hal-hal berbau dewasa, dia yang mengetahui perbuatanku dan Bima tapi rahasia tetap aman. Bahkan aku tidak malu bertanya mengenai bagaimana memuaskan pasangan dan Lila sangat membantu walaupun selalu diisi dengan nasehat karena bagi Lila yang menjalani diriku bukan dia dan aku yang akan menanggung semuanya. Kata-kata nasehat yang Lila berikan selalu penuh makna dan benar adanya hanya saja aku belum terlalu terbuka pintu hatinya jadi kata-kata yang keluar selalu sebagai angin lalu.
Aku tidak tahu harus kemana agar dapat bertemu dengan pria tua ini alias mantan mertua Tania karena sumber yang aku dapatkan tidak terlalu benar setelah menghubungi Lila aku juga menghubungi perusahaan tempat pria tua berada hanya sekedar menanyakan posisinya saat ini berada dimana agar aku dapat memutuskan pergi kemana agar bisa bertemu.
Jantungku berdebar takut hal tidak diinginkan terjadi karena bagaimanapun keluarga mereka sangat berbahaya jika memang aku nanti ketahuan aku harus mencari alternatif lain agar rencana ini dapat terlaksana dengan baik tanpa persiapan apapun itu.