Mereka berdua pun segera turun dari mobilnya. Lalu memilih duduk di salah satu kursi di sana. Mereka memilih duduk di kursi yang berada di luar, memang sengaja sebab terasa nyaman kala digunakannya.
"Di sini saja, ya. Di dalam terlalu ramai, di sini suasananya lebih enak," ujar Arkan.
Vanesa hanya menganggukkan kepalanya. Mereka pun segera memesan makanan, sembari menunggu tak ada sepatah kata apapun yang keluar dari mulut mereka. Sesekali, Vanesa menatap ke arah Arkan yang menatap ke arah jalanan.
"Arkan," panggil Vanesa.
Arkan pun menoleh, terlihat matanya berkaca-kaca. "Iya."
"Kamu baik-baik, saja?" tanya Vanesa.
Arkan pun memaksakan untuk tersenyum. "Ya, aku baik-baik saja."
"Oh, oke." Vanesa bingung harus berkata apa lagi. Sedangakan Arkan, rasanya tak mampu membendung air matanya. Tapi, dia tetap dengan kuat mencova menahan air mata itu agar tak tumpah. 'Aku mencoba baik-baik saja, kala hatiku kenapa-kenapa. Marah dengan keadaan rasanya kala hati memilih untuk menetap ke orang yang sulit untuk kugapai.'
"Silakan." Pelayan restoran memberikan makanan yang telah mereka pesan.
"Terima kasih," ujar Vanesa sembari tersenyum.
"Ayo, di makan," ujar Vanesa ke Arkan.
Arkan lagi-lagi hanya tersenyum. Namun, saat baru memasukan makanan itu ke mulut, tiba-tiba datang seorang pria yang langsung menarik tangan Vanesa.
"Apa-apaan, kamu? Ayo!" Pria itu dengan kasar menarik tangan Vanesa.
Arkan dengan cepat menarik tangan Vanesa.
"Heh, Bro. Bisa nggak kalau dengan wanita yang halus dan sopan dikit. Apa seperti itu caramu?" Arkan menarik tangan Vanesa untuk menjauh dan Arkan mengambil posisi Vanesa tadi.
"Hahaha, kamu siapa? Ini wanitaku, nggak ada hak kamu untuk mengaturnya," ujar pria itu.
Arkan menatap ke arah Vanesa. "Dia?"
"Iya, dia cowokku." Vaneza memberitahukan itu.
Tiba-tiba, jantung Arkan terasa jatuh saat itu juga. Dia menatap mereka berdua secara bergantian.
"Kamu dengarkan? Vanesa itu milikku, kamu siapa beraninya ngatur-ngatur." Pria itu menyeringainke arah Arkan. "Ayo, kita pergi dari sini." Pria itu segera menarik tangan Vanesa.
Arkan tak bisa berbuat apa-apa, dia hanya mampu menatap mereka berdua pergi dengan bergandeng tangan.
"Masuk!" pinta pria itu.
"Bisa nggak, kamu nggak kasar gitu? Sakit tahu, Zen." Vanesa menghempaskan tangan pria itu.
Pria itu bernama Zenio. Dia lelaki yang mampu mencuri hati Vanesa sejak dua tahun lalu. Pertemuan yang tak sengaja membuat mereka dekat.
____
Berawal dari Vanesa, yang selesai membeli kue tart untuk surprise mamanya yang sedang ulang tahun. Mereka berdua sama-sama berjalan, tapi kebetulan tak fokus dengan jalan mereka kala di pintu masuk toko kue.
Bruk! Mereka bertabrakan dan membuat kotak kue yang sedang Vanesa bawa terjatuh. Vanesa hanya terbelalak kala melihat kue itu mendarat ke lantai dengan berserakan.
"Astaga!" Vanesa duduk jongkok melihat kuenya hancur.
"Maaf, nggak sengaja. Aku buru-buru, aku ganti, ya. Tapi kamu tunggu sendiri, aku kasih uang," Zenio memberikan beberapa lembar uang yang diberikan ke Vanesa.
Vanesa berdiri dan menghempaskan tangan Zenio yang menggenggam uang itu.
"Heh, kamu kira aku nggak mampu beli kue itu? Aku tuh, lelah menunggunnya hingga satu jam. Bisa-bisanya kamu bilang seperti itu. Aku nggak mau tahu, ganti kuenya tapi kamu yang wajib menunggunya." Vanesa marah kepada Zenio.
"Haduh, aku buru-buru. Aku masuk kuliah setelah ini," ujar Zenio.
"Nggak mau tahu!" Vanesa membelakangi Zenio dan melipat tangannya di atas perut.
"Mana nomor ponselmu. Aku pesankan, nanti kuantarkan ke rumahmu. Kau nggak bisa menunggunya, ini sudah telat," ujar Zenio tampak terburu-buru.
Zenio dengan cepat menarik tangan Vanesa kembali masuk ke dalam toko kue lagi.
"Heh, Kenapa tarik-tarik?" Vanesa kesal dengan perlakuan Zenio.
"Ayolah, nggak usah bawel. Telat aku, tuh. Buruan, mau pesan yang mana." Zenio meminta Vanesa untuk memilih kuenya.
"Heh, aku butuhnya sekarang. Aku nggak mau nanti." Vanesa tetap tak terima dengan Zenio.
"Ya Tuhan, kenapa ketemu cewek bawel seperti ini, sih. Aku ganti, kamu cepat pulang. Nanti biarkan kuantar kalau sudah selesai kelasnya. Syolah, kamu memperlambat aku tahu." Zenio berkali-kali menatap jam tangannya.
"Nggak mau tahu." Vanesa cemberut.
"Mbak, minta tolong buatkan kue yang sama dengan yang di pesan cewek ini tadi, ya. Nanti, biar aku ambil sepulang kuliah. Berapa semua?" Zenio bergegas memesannya tanpa persetujuan Vanesa terlebih dahulu.
"Heh, apa-apaan, sih? Jangan mau, Mbak. Aku maunya dia menunggunya. Enak saja, aku lelah menunggunya dia dengan mudah memesan begitu saja," ujar Vanesa.
"Ya Tuhan, kutuk aku jadi boneka yang imut. Dahlah ini, Mbak. Kembaliannya ambil saja, aku mau kuliah dulu." Zenio memberikan uangnya kepada pegawai toko. "Ini nomorku, hubungi saja. Aku sudah terlambat kuliah ini."
Zenio memberikan kartu nama ke Vanesa, kemudian segera meninggalkan tempat itu. Baru beberapa langkah, Zenio membalikan badannya. "Jangan lupa hubungi, kalau mau aku mengantarkannya ke rumahmu."
Lalu Zenio kembali melangkahkan kaki meninggalkan toko kue itu. Sedangkan Vanesa hanya mampu melongo menatap Zenio perlahan menghilang.
"Kak, mau seperti tadi?" tanya pegawai di toko itu.
"Eh, iya. Aku tinggalkan alamatku di sini, ya. Biar orang itu nganter ke alamatku. Sekalian ini nomor teleponku." Vanesa memberikan alamat beserta nomor ponselnya.
Vanesa melenggang pergi kekuar toko dengan hati yang kesal. Di tambah lagi, melihat kue tart yang berserakan di lantai yang bekum di bersihkan pihak toko ini. Vanesa masuk ke dalam mobilnya.
"Hih, kenapa ketemu cowok resek seperti itu, sih? Sok sibuk pula, nyebelin!" Vanesa justru terngiang wajahnya yang tampan itu.
Zenio pria yang tampan, tinggi dan berkulit kuning langsat. Wajahnya yang di hiasi dengan lesung pipi dan alis yang tebal membuatnya bertambah sempurna menjadi pria idaman semua orang. Berpakaian kaos hitam dan celana jeans berwarna hitam sudah membuat dia tampak mempesona. Apalagi, kalau memakai pakaian yang lebih rapi.
Vanesa menatap ke arah jam tangannya. "Hancur semua kejutannya. Paling nggak suka ya gini, harus kembali menunggu nanti. Mana dia belum tahu harus pulang kampus jam berapa."
Vanesa meraih kartu nama Zenio tadi.
"Zenio Dirgantara. Ih, menyebalkan!" Vanesa melihat kartu nama itu, lalu kembali ia letakkan di dashboard mobilnya.
Vanesa melajukan mobilnya kencang menuju rumahnya. Dia terpaksa tak membawa apa-apa dengan kejadian itu. Sesampainya di rumah, Vanesa bergegas turun dengan wajah yang lesu.
"Vanesa, kenapa kok mukanya di tekuk gitu?" tanya Mama Vanesa saat berpapasan dengan anaknya saat membuka pintu.
"Nggak apa-apa, Ma. Lagi kesel aja sama teman, aku naik dulu, ya," ujar Vanesa meninggalkan mamanya menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas rumah itu.
Vanesa berlari menuju kamarnya.