Vanesa hanya menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Dia tak tahu harus melakukan apalagi. Dia berpikir, jika memikih keluar dan kue itu diantarkan ke rumah, maka Surprise itu tambah berantakan. Sedangkan hingga beberapa jam, cowok itu tak kunjung menghubunginya lagi.
"Lama banget, sih? Apa jangan-jangan ini cowok lupa kalau ada janji. Mau kuchat duluan, itu anak ngelunjak. Nggak chat, nggak ada kepastian pula. Ya Tuhan, kenapa ketemu cowok itu, sih. Untung ganteng," gumamnya.
Vanesa beranjak dari tempat tidurnya dia memutuskan untuk turun, hendak pergi ke mobilnyam dia teringat kartu nama yang ditinggalkan Zenio untuknya. Dia mau tidak mau, harus menghubunginya.
Vanesa meraih kartu nama yang diletakkan di dashboarb mobilnya. Tanpa menunggu lama, dia bergegas menghubungi nomor itu.
"Halo," ujar Zenio dari seberang telepon.
"Halo, abang Zenio Dirgantara yang terhormat. Kue milik saya mana? Sudah jam segini belum kau antarkan. Kau ini kuliah nuntut ilmu atau menginap, sih? Lama sekali," tanya Vanesa dengan ketus.
"Hahaha. Nyerocos aja ya, Bun. Heh, ilmu nggak salah kok dituntut, dituntut balik tahu rasa, loh. Ini lagi di jalan, sabar!" jawab Zenio.
"Buruan, lima menit harus nyampek. Kalau enggak, jiwa psychoku meronta-ronta," ancam Vanesa.
"Huh, takut. Tunggu ajalah." Zenio memilih memutuskan teleponnya dari pada diganggu oleh Vanesa saat berkendara.
"Halo!" Vanesa menatap layar ponselnya. "Siallan, bisa-bisanya memutuskan panggilannya."
Vanesa kembali menghubungi Zenio.
"Ya ampun, ada apa lagi?" tanya Zenio.
"Buruan, kenapa matiin panggilannya?" tanya Vanesa.
"Heh, aku berkendara. Kalau nggak kumatikan, bukan hanya kuenya yang hancur, tapi aku juga ikut meninggoi, cin." Zenio terdengar kesal dengan Vanesq, meski menggunakan kata-kata mengejek.
"Ih, jijik. Buruan!" saat ini gantian Vanesa yang memutuskan panggilannya.
Dia memilih duduk di teras rumahnya agar saat Zenio datang Vanesa mengetahuinya.
"Van, mama keluar dulu, ya. Mau arisan ke rumah temen Mama, pulang malam nanti," ujar mamanya memberitahu.
Vanesa menganggukkan kepala, sedangkan mamanya mengecup kening anaknya dengan lembut. Mamanya pun pergi, tak berselang lama dari itu terlihat mobil berhenti tepat di depan rumahnya.
Vanesa sontak berdiri. Terlihat seseorang pria turun dari sana sembari membawa kotak di tangannya.
"Oh, momen yang pas," gumam Vanesa. Dia lalu berjalan menghampiri.
"Ulu, makasih, Kakak. Kan gini enak," gumamnya sembari hendak merebut kotak itu.
"Eits, bentar dulu." Zenio mencoba menghindar.
"Eh, itu nanti rusak lagi. Bawa sini!" pinta Vanesa dengan suara ketus. "Apa lagi, sih?"
"Bilang yang bagus dulu, dong. Zen, makasih, ya. Sambil senyum," pinta Zenio.
Vanesa menghela napasnya. "Zen, makasih, ya." Dia sembari memaksakan senyumnya, agar kue itu cepat diberikan kepadanya.
"Heleh, senyumnya nggak ikhlas banget. Aku bawa pulang aja, deh." Zenio berbalik badan.
"Heh, Ya Allah. Zenio yang baik hati, ganteng dan tidak sombong. Makasih, ya." ujar Vanesa sembari tersenyum. Meski di dalam hatinya terasa terpaksa, namun hal ini memang perlu dilakukan agar dia cepat memberikan kue miliknya.
"Nah, gitu, dong." Zenio lantas memberikan kue itu untuk Vanesa. Saat ktu, Vanesa bergegas untuk kembali melangkah ke halaman rumahnya.
Zenio fsrlihat mengekor di belakangnya. Vanesa hanya melirik ke arah Zenio, lalu mengernyitkan dahinya.
"Eits, lu mau ke mana?" tanya Vanesa.
"Ya masuk rumah, lu. Memang mau ke mana lagi," jawab Zenio dengan santai. Dia seakan-akan tak memiliki dosa kala mengatakan ini.
"Eh ... eh. No! Siapa yang ngizinin kamu masuk. Sana pergi!" usir Vanesa.
Zenio hanya melirik dengan matanya yang tajam. Kemudian, Zenio memutuskan untuk balik ke mobil. Perlahan dia kembali menbuka kaca itu lalu berkata, "Heh, sekali aja ketemy dengan cewek songong macam kamu. Jangan diulangi lagi, capek. Bawel banget!"
"Halah, awas aja sampai jatuh cinta sama aku." Vanesa sengaja mengejek Zenio.
"Idih, ogah banget. Kayak nggak ada cewek lain aja, kenapa barus Elu yang bawelnya ngalahi nenek lampir. Bye!" Zenio menutup kaca mobilnya, kemudian melajukannya dengan kecepatan sedang.
Zenio menghela napasnya, lalu berinisiatif untuk langsung pulang. Hari ini, cukup menyebalkan bagi Zenio. Pertama, dia terlambat bangun gara-gara mamanya sengaja tak membangunkannya, kemudian, harus ketemy Vanesa di toko kue dan yang terakhir harus kena hukum sebah terlambat. Tak ada mood bagi dia untuk keluar sekedar menghabiskan waktu untuk bermain-main.
Sedangkan Vanesa, dia seolah-olah dengan cepat melupakan pertemuannya dengan Zenio. Dia merasa bahagia, kala kue yang diharapkan ada di tangannya. Dia harap, saar mamanya pulang, akan merasakan kebahagiaan. Ulang tahunta serasa special sebab surprise dari anak kesayangannya.
Tring!! Pesan di ponselnya masuk. Terlihat nama Arkan di sana. Cowok yang selalu care dan perhatian dengan dia, malah Vanesa sama sekali tak peka dan cenderung risih dengan kehadirannya.
Vanesa dengan sengaja mengabaikannya. Tak berselang lama, ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk di sana.
"Halo, iya kenapa?" tanya Vanesa. Dia cenderung ketus dan menjauh jika Arkan menghubunginya.
"Ehm, bisa ketemu nggak? Ada sesuatu yang ingin kuberikan ke kamu," pinta Arkan.
"Maaf, aku nggak bisa. Lagi sibuk, nih. Next time aja, ya." Vanesa selalu menolah ajakan dari Arkan.
"Kenapa sih, Van. Kamu selalu menolak ajakanku?" tanya Arkan.
Bukannya dia menjawab, tetapi dia justru memutuskan panggilannya. Bahkan, ponselnya dibiarkan nonaktif agar Arkan tak menghubunginya.
Arkan yang tak kenal menyerah, justru meraih kunci mobil, lalu melajukan mobiknya menembus kemacetan di kota itu. Dia tak peduli apa yang terjadi, yang terpenting dia bisa bertemu Vanesa saat ini.
Dengna sabar dia menunggu mobilnya merayap dengan kecepatan yang tidak pasti. Ponselnya Arkan yang sedari tadi berdering pun tak dihiraukannya. Dia tahu, siapa yang menghubunginya di saat waktu seperti ini.
Silvy, yang selalu mencuri bertingkah seakan-akan hanya dia yang boleh memilikinya justru menelponnya hingga berulang kali.
Arkan dengan sengaja mengabaikannya, dia risih dengan orang yang semena-mena terhadap dirinya. Tak berselang lama mobil Arkan pun sampai di depan rumah Vanesa.
"Mbak, Vanesanya ada?" tanya Arkan saat asisten runah tangga membuka pintu pagarnya.
"Masuk dulu, Non Vanesanya di dalam," ajak asisten rumah tangga Vanesa itu.
Arkan pun dengan nurut mengekor di belakang mengekor di belakangnya.
"Silakan duduk," pinta asisten itu. Dia bergegas menaiki anak tangga menuju kamar Vaneza yang terletak di lantai dua.
Tok! Tok! "Non, ada tamu." Asisten runah tangga Vanesa memberitahukannya.
"Siapa, Mbak?" tanya vanesa.
"Mas Arkan, Non. Dia menunggu di depan," jawab Asisteb rumah tangga itu. Vaneza menghela napasnya kemudian bergegas membukakan pintu.
"Males banget aku, Mbak. Suruh pulang aja gimana?" Vanesa bertanya-tanya.
"Kasihan, Non. Mending temui aja, deh. Nanti terserahlah mau minta dia pulang apa gimana," jawab Asisten rumah tangganya.
Vanesa turun dari langai dua, terlihat Arkan tersenyum saat menatapnya.
"Mau apa?" tanya Vanesa dengan ketus.