"Ratu ...."
Gumaman Raja pelan dan bergetar, ia mendekat dengan begitu semringah.
"Kamu ngapain di sini?" Tanya nya lagi, membuat Ratu bingung, kedua matanya berlarian ke sana ke mari.
Kesialan Ratu adalah bertemu dengannya, seorang laki-laki yang membuatnya berharap dan terluka dalam waktu yang bersamaan.
"Saya sedang-"
"Nala, kamu bisa masuk dulu? Kak Raja ada yang mau diobrolin dengan Kakak cantik ini. Boleh ya?"
Gadis kecil yang bernama Nala itu pun mengangguk dan pergi. Membuat Ratu menghela napas. Raja selalu saja begitu, membuatnya mau tak mau harus menerima keberadaan di sampingnya dengan hati yang was-was.
Berada hanya berdua dengan gadis itu, membuat Raja benar-benar sangat bahagia.
"Aku gak tahu meski ngomong apa, karena bisa melihat kamu ada di sini," Raja berkata, dengan antusias.
"Saya hanya mampir saja." Jawab Ratu cuek.
"Apa kamu pernah ke sini sebelumnya? Maksud aku apakah kamu-"
"Jangan menebak-nebak, Pak. Saya hanya mampir saja," Ratu terlihat risih membuat senyuman semringah Raja perlahan pudar. Kemudian ia memutar diri dan hampir pergi, kala tangannya berhasil Raja raih.
"Apa kesalahan saya Ratu!"
Suara Raja terdengar meninggi, menghadirkan helaan napas lelah dari arah sicantik.
"Saya tidak suka Bapak! Saya tidak suka dengan sikap Bapak yang seolah, bahwa kita kenal akrab!"
Deg!
Tangan Raja perlahan terlepas, "Kenapa? ... " suaranya pelan sekali, "Kenapa kamu tidak menyukai saya?"
Ratu menarik tangannya, "Karena tidak suka saja." Menjawab dengan menundukan kedua matanya seolah ia takut semua ekspresi wajahnya terlihat.
"Padahal saya sangat senang bisa bertemu dengan kamu," suara Raja yang terdegar nelangsa menghadirkan perasaan bersalah di dalam hatinya Ratu. Ia perlahan mengangkat tatapannya, "Maafkan saya Pak, tapi sepertinya saya harus pergi."
"Apakah saya telah mengganggu kenyamanan kamu di sini?"
Ratu yang hampir pergi, terhenti. Dan Raja menghampirinya dan berhenti tepat di depannya. "Katakan sama saya, dibagian mana saya telah mengganggu kamu?"
Ratu terdiam, kedua tangannya terasa terkepal, "Sebenarnya Bapak tidak mengganggu saya. Hanya saja, saya-"
"Kakak dipanggil Bu Dharma!" Nala memanggil Raja, membuat apa yang akan diucapkan Ratu terhenti begitu saja.
Raja menghela napas sesal, sungguh sedikit pun ia tidak ingin meninggalkan gadis itu di sana saat ini.
"Saya benar-benar ingin bicara serius sama kamu! Tolong jangan pergi dulu, tetap di sini."
Raja segera pergi, meninggalkan Ratu yang hanya menatap punggungnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
***
Ruangan toilet yang kotor itu hampir membuat Ratu mual. Ia segera keluar dengan langkah terburu.
"Ada apa?" Raja bertanya, ia heran melihat Ratu berlari dari dalam toilet anak panti itu.
Ratu menggeleng dengan menahan napasnya, dan wajah cantiknya yang terlihat memerah. Menghadirkan tatapan cemas dari arah Raja.
"Apa yang kamu lihat di sana?" Raja masuk ke dalam toilet itu. "Wah! Maaf, kamu tunggu di luar. Biar saya bersihkan dulu toiletnya."
Ratu hanya terdiam, pikirannya berkelana. Bagaimana bisa seorang ahli waris dari Navendra mau membersihkan sebuah toilet panti asuhan yang kotornya bisa membuat ia pingsan hanya dalam sekali lihat saja.
Tapi Ratu mengikuti permintaan laki-laki itu. Ia berdiri di depan pintu. Mendengar bagaimana Raja menyikat dan menyiram toilet itu benar - benar tanpa bantuan petugas kebersihan.
Seulas senyuman perlahan terlihat dikedua bibirnya. Ratu memegang dadanya yang terasa berdegup lain dari biasanya.
Memejamkan kedua matanya kuat, sebagai tanda bahwa degupan itu amatlah sulit untuk ia kendalikan.
"Sudah!"
Suara Raja membuat Ratu kembali membuka kedua mata cantiknya. "Terima kasih, Pak."
"Saya senang kamu belum pulang, saya pikir, kamu akan pergi tanpa pamit sama saya seperti di rumah sakit itu."
Ratu berdeham, ia segera masuk ke dalam toilet itu. Dengan keadaan yang jauh berbeda. Aromanya harum oleh pembersih toilet khusus. Dengan lantai dan toilet bowl nya yang bersih dan nyaman.
***
"Ayo Nak Ratu," Bu Dharma mengajak Ratu untuk makan bersama.
Dewa memang suka membawa banyak makanan, lalu dinikmati bersama.
Ratu mengangguk dan mulai ikut makan.
"Kak Raja sering-sering ya ... bawain pizza kaya gini?" Celoteh Angga, membuat Raja mengelus rambutnya dengan pelan.
"Siap. Tapi kamu harus rajin belajar ya ... terus dapet juara pertama."
Angga berjingkrak bahagia, "Ah, siap Kakak. Angga bakal rajin belajar dan jadi juara pertama."
Melihat bagaimana akrabnya Raja dan Angga. Ratu tersenyum dengan menatap lekat laki-laki yang berwajah menawan itu.
Lalu bersamaan dengan itu, Raja juga menatap padanya. Hingga keduanya saat ini terdiam dalam satu tatapan.
"Makanannya enak?"
Tanya Raja, membuat Ratu mengerjap dan segera mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"I-iya enak, Pak." Gadis itu buru-buru menundukan wajahnya yang terasa memanas dengan degupan jantungnya yang kembali tidak tentu arah.
Merasa kalau gadis itu terlihat salah tingkah karenanya. Raja pun ikut tersenyum, dan sesekali melirik gadis itu dengan gelengan kepala tidak jelas.
***
"Bagaimana perasaannya?"
Saat ini Raja dan Ratu sedang berada di dalam mobil miliknya Raja.
"Seneng," jawab Ratu pelan.
Raja tersenyum, "Aku juga seneng banget, kamu tahu, tempat tadi itu adalah tempat saya tumbuh."
Ratu menoleh, "Maksud Bapak?"
Raja menghela napas pelan, "Hanya sama kamu, saya berani mengatakan ini."
Raja sejenak terdiam, "Saya harap, kamu mau mendengarkan semuanya sampai selesai."
Ratu terdiam, dengan tatapan yang mengisyaratkan bahwa ia akan mengikuti apa yang Raja pinta.
"Saya bukan anak kandung Pak Axel!"
Ratu menatapnya cepat, terlihat bahwa ia sangat kaget dengan informasi itu.
"Hanya sama kamu saya katakan ini," Raja terdengar menghela napas gelisah. "Saya sangat berharap kamu bisa menyimpan semua rahasia ini."
Ratu masih saja terdiam, tangannya terkepal erat.
"Apa kamu tidak ingin bertanya saya berasal dari mana?"
Sesunggguhnya Ratu ingin sekali menanyakan semuanya, tapi itu tidak boleh ia perlihatkan. Raja bukan siapa-siapa dirinya, dan diantara mereka banyak sekali perbedaan yang mungkin tidak akan bisa mereka hapus.
"Untuk apa saya harus tahu Pak? Kan itu bukan urusan saya juga, " Ratu menatap ke arah luar jendela, hujan perlahan mulai turun, dengan kilatan petir yang saling menyambar.
Raja tersenyum hambar, sepertinya ia salah menduga kalau gadis itu peduli padanya, "Iya, itu bukan urusan kamu. Saya mengatakan ini juga memang tidak ada tujuan apa-apa, hanya curhat saja."
"Terima kasih untuk hari ini, Pak. Saya berhenti di sana saja," Ratu menunjuk halte bis.
"Kenapa enggak sampe rumah aja?"
"Saya ada urusan Pak, saya akan pulang kalau urusan saya sudah selesai," Ratu perlahan membuka pintu mobil. Namun Raja menahan pergerakannya. "Saya ada payung, tolong tunggu sebentar."
Sikap dan tatapan Raja yang terlihat cemas, membuat Ratu sekali lagi merasa besrsalah. Namun hal itu tetap tidak boleh membuatnya kalah oleh perasaan yang mulai tumbuh di sana, Raja adalah Raja, ia tidak akan mudah menerima dirinya.
Ratu segera ke luar, meski hujan akan membuatnya basah kuyup. Ia pun mulai mengayunkan kakinya, ketika hujan telah membuat jalan itu menjadi licin.
"Argh!"
Ratu berteriak, hampir saja ia terjatuh ke atas trotoar. Ketika sebuah lengan menariknya, dilanjutkan pada sebuah pelukan hangat.
Membuat Ratu mendongak dan menatap pemilik lengan itu.
Laki-laki yang selalu ingin ia hindari, mendekap erat dengan tatapan teduhnya.
"Hati-hati!"