BAB 2

1302 Words
Keenan memutar balik mobilnya menuju restoran. Pria itu tiba-tiba merasa tidak seharusnya meninggalkan Milly begitu saja. Untuk itu dia memutuskan menghampiri Milly dan mengantarkannya pulang. Sesampainya di area parkir, Keenan tidak menemukan keberadaan Milly di sana. "Mungkin dia sudah pergi," pikir Keenan. "Maaf, apa anda melihat gadis yang bersama saya tadi?" Keenan bertanya pada satpam yang berjaga di sana. "Dia sudah pergi, berjalan kaki," sahut Satpam itu lugas. Keenan mengangguk paham. "Terimakasih." Segera Keenan melangkah masuk ke dalam mobilnya. Keenan menyusuri jalanan untuk menemukan Milly. Jika hanya berjalan kaki gadis itu pasti belum jauh dari area restoran. Dan benar saja, Keenan mendapati Milly tengah terduduk lemas di atas trotoar. Dengan cepat Keenan menepikan mobilnya ke sisi jalan. Pria itu langsung berlari untuk menghampiri Milly. "Hey," sapa Keenan. Dan gadis yang tengah tertunduk menangis itu langsung mendongakkan kepalanya. Kedua manik mata mereka bertemu dan beradu pandang untuk beberapa detik. Milly tidak menjawab sapaan Keenan padanya, gadis itu terus menangis tanpa henti. Keenan yang sama sekali tidak berniat ingin menanyakan penyebab gadis itu menangis sesenggukan di sini langsung membawa Milly ke dalam mobilnya. "Menurut saya kali ini kamu tidak bisa menolak untuk saya mengantar kamu pulang," cicit Keenan. Sepanjang perjalanan Milly masih saja menangis. Bayangkan saja betapa ketakutan gadis itu sekarang hingga tidak bisa menghentikan tangisannya. Setelah menempuh perjalanan yang dipenuhi suara tangisan, akhirnya mobil Keenan sampai di sebuah rumah mewah bak istana. "Terimakasih sudah mengantarku pulang," tutur Milly. *** Milly membuka pintu rumah dengan lemas, nampak semua orang menghela nafas lega begitu melihat orang yang sedari tadi mereka cari kembali dengan selamat. "Ya ampun Non Milly, ke mana saja? Kita semua khawatir sekali," tanya Bi Surti dengan sangat khawatirnya. Milly memandang lekat Bi Surti yang berada di hadapannya. "Kalian semua belum lapor sama Papa, kan?" tanya Milly memastikan. "Belum, Non. Dan hampir saja kita lapor kalau seandainya Non masih belum kembali," ujar Bi Lasmi ikut menyahut. Milly mengangguk paham. Gadis itu merasa lega karena para asisten rumah tangga tidak melapor pada orangtuanya. Bisa habis dia semakin dikurung oleh mereka kalau seandainya mereka tahu kejadian ini. Bisa-bisa Milly tidak diperbolehkan lagi untuk kuliah. "Saya mau istirahat dulu." Milly berjalan gontai ke lantai dua menuju kamarnya. Begitu sampai di dalam kamar, Milly menghempas kasar tubuhnya di atas kasur. Ternyata jalanan kota begitu menakutkan bagi dirinya. Sejauh ini, Milly tidak pernah bepergian seorang diri. Sepulang kuliah pun dia pasti langsung pulang, tentunya diantar oleh Pak Joko--supir pribadinya. Hidup dikurung seperti ini, memangnya siapa yang mau? Milly sendiripun sebenarnya tak mau. Tapi daya dan kuasa apa yang dimiliki gadis lemah sepertinya. Dengan berat hati Milly berusaha menerima dan menjalani apa yang orang tuanya inginkan. Tidak ingin berlama-lama larut dalam perasaan takut, akhirnya Milly memilih untuk membersihkan diri. Barangkali badan yang bersih dan segar dapat membuatnya tidur lebih awal malam ini. Setelah membersihkan diri, Milly beranjak naik ke atas kasurnya. Gadis itu memikirkan betapa bahagianya keluarga Karin saat makan malam tadi. Bagaimana Karin dan Ibunya begitu sangat dekat bagaikan dua orang sahabat. Milly menangisi nasibnya yang terlahir harus kesepian setiap hari. "Mama... Papa... kapan kalian ada waktu untuk Milly." Lirihnya disertai tangisan yang begitu menyesakkan. "Milly enggak mau hidup seperti ini, Ma, Pa." Tangis Milly pecah di ruangan yang sangat luas ini. Tok Tok Tok! Seseorang mengetuk pintu dengan lembut. "Permisi, Non. Boleh saya masuk?" Suara Bi Surti terdengar dari balik pintu. "Masuk aja, Bi." Segera Milly menyeka air matanya, ia tidak ingin Bi Surti melihat dirinya sedang menangis. Bi Surti masuk dengan membawa semangkuk bubur dan segelas air putih hangat di atas nampannya. Dari semua asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ini, hanya Bi Surti seorang yang sangat perhatian dengan Milly. Bi Surti merawat Milly dengan penuh kasih sayang. "Dimakan, Non." Bi Surti meletakkan nampan yang ia bawa di atas nakas. "Saya sudah makan, Bi." "Non Milly sudah makan? Kalau begitu saya bawa kembali ke dapur saja buburnya," ujar Bi Surti. "Tolong air putihnya tetap letakkan di sana ya, Bi." Bi Surti mengangguk paham. "Apa Papa dan Mama sudah pulang?" tanya Milly sendu. "Mereka baru saja pulang, Non." Beri tahu Bi Surti kemudian pamit. Mendengar kedua orangtuanya sudah pulang, Milly hanya bisa tersenyum miris. Bahkan saat mereka sudah pulang pun masih tidak mempedulikan anak gadisnya. Barang untuk bertanya bagaimana anaknya menjalani hari atau ada hal menarik apa yang dialaminya. Tidak. Mereka tidak pernah begitu perhatian. Dengan perasaan sedih yang berkecamuk di dadanya. Milly memaksa untuk tidur segera. Pada akhirnya gadis itupun terlelap. *** Sarapan bersama keluarga adalah suatu momen yang paling langka bagi Milly. Tapi hari ini mereka bertiga makan dan duduk di meja yang sama. "Sayang, bagaimana tidur kamu? Mama harap tidur kamu nyenyak tadi malam." Rosalie membuka suara. "Enggak begitu nyenyak, Ma," sahut Milly seadanya. Sesekali gadis itu melirik ke arah sang Papa yang masih sibuk dengan gadgetnya untuk urusan bisnis. "Hari ini, Papa akan ke Hongkong untuk urusan bisnisnya dan Mama ikut serta." Ucapan Rosalie hanya sekedar pemberitahuan. Tentunya Milly tidak bisa membantah, meskipun harus di tinggal sendiri beberapa hari. "Berapa lama?" tanya Milly. "Mungkin lima hari. Iya 'kan, Pa?" Mr. Andrew mengangguk membenarkan ucapan sang Istri. "Tapi kalau urusannya cepat selesai, kami akan langsung pulang, sayang," tambah Rosalie. Milly menarik napas dalam, gadis itu memaksakan dirinya untuk tersenyum. "It's okay. Milly sudah terbiasa." Gadis itu langsung beranjak dari duduknya meninggalkan Rosalie dan Mr. Andrew. Mereka bilang apa yang mereka lakukan sekarang semuanya demi gue. Bullshit! Yang gue butuhkan adalah kehadiran mereka di samping gue, bukan uang mereka yang segunung itu. Apa gunanya uang tapi lo enggak merasakan kebahagiaan itu! Milly berlari menghampiri Pak Joko yang sedang membersihkan mobil Sang Tuan. "Pak, ayo berangkat ke kampus sekarang," ucapnya. Pak Joko yang baru saja mendapat perintah langsung berhenti dengan aktifitasnya kemudian bergegas masuk ke dalam mobil lalu mengemudikannya. Sebisa mungkin Milly menahan agar air matanya tidak tumpah keluar. Dadanya terasa sesak sekali. Wajahnya terasa sangat panas karena berusaha menahan amarah. Untuk pertama kalinya, Milly membenci kedua orang tuanya. Dua puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya Milly tiba di kampus dengan selamat. Gadis itu langsung menuju kelas Bu Sasmita yang sebentar lagi akan di mulai. Di dalam kelas, sudah ada Karin yang menunggu dirinya sejak tadi. Begitu melihat Milly di daun pintu, Karin langsung melambaikan tangannya meminta Milly duduk di samping dirinya. "Jadi, ada hubungan apa lo sama Abang gue?" Karin langsung melontarkan pertanyaannya begitu Milly duduk. "Enggak ada," sahut Milly sedikit malas. "Jangan bohong. Kalau enggak ada kenapa Abang gue sampai membawa lo ikut bersamanya saat di restoran kemarin?" "Gue juga enggak tahu, Rin. Gue juga baru kemarin ketemu Abang lo." Karin menyipitkan kedua matanya, menegaskan bahwa dirinya tidak percaya dengan apa yang Milly tuturkan. "Gue serius." Milly meyakinkan. "Kalau kalian enggak ada hubungan apa-apa, kenapa Abang gue sampai nyuruh gue nanyain kenapa kemarin malam lo menangis sepanjang jalan pulang?" Milly tersentak kaget mendengar apa yang Karin ucapkan. Untuk apa Keenan menyuruh Karin menanyakan hal itu? Apa untungnya bagi dia? Tidak ingin dicurigai memiliki hubungan dengan Keenan, akhirnya Milly memilih untuk menceritakan dengan detail bagaimana pertemuan mereka terjadi. Yaitu saat Keenan salah mengira dirinya adalah Lily. Lantas, Karin tertawa terbahak-bahak dibuatnya. "Hahaha ... Emang malu-maluin banget si Keenan. Gue enggak bisa bayangin gimana ekspresi keluarga gue saat dia salah membawa orang kemarin," pungkas Karin puas. "Btw, gue juga enggak setuju Abang gue dijodohin sama Lily," cicit Karin, raut wajahnya berubah menjadi serius. Milly menaikkan salah satu alisnya, "Why?" ujarnya penasaran. "Karena perjodohan ini untuk memperkuat bisnis keluarga gue. Dan Ayah dengan egoisnya mengorbankan anaknya sendiri untuk itu. Gue mau Abang gue menikahi orang yang dicintainya. Setidaknya dia juga dapat merasakan kebahagiaan dalam hidupnya." Milly menggaruk tengkuk yang tidak gatal, gadis itu merasa prihatin dengan keadaan Keenan padahal keadaannya sendiri tidak jauh berbeda. "Oh iya gue lupa. Tadi Abang gue minta nomor kontak lo dan gue kasih. It's okay, right?" "Yeah. It's okay."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD