BAB 1

1149 Words
Milly menghela napas kasar, gadis itu berdecak sebal dan sesekali merutuki Pria yang telah menyeretnya kemari. "Dasar Pria gila!" cercanya. Sedari tadi hanya kata-kata itu yang terus keluar dari mulut Milly. Berdiri di depan restoran menunggu hujan reda membuat Milly merasa tidak aman. Sebenarnya gadis itu bisa menunggu di dalam seraya menyantap hidangan enak, tapi hanya jika gadis itu memiliki uang. Namun sial, Milly menjatuhkan dompetnya saat ia ditarik paksa oleh Pria aneh saat di kampus tadi. Benar-benar sial, bukan? Angin berembus kencang, awan hitam semakin merajalela menurunkan air hujan untuk menyerbu kota yang berpolusi ini. Milly menatap ke atas langit, merentangkan tangannya ke bawah derai hujan dan membiarkan tangannya basah oleh air yang turun secara massal itu. Sudut bibirnya sedikit tersungging. "Sudah lama sekali," lirihnya. Milly tiba-tiba merindukan masa kecilnya, masa dimana hanya dia yang menjadi pusat perhatian kedua orangtuanya. Sedari Milly beranjak remaja hingga dewasa, orangtuanya berubah menjadi super sibuk. Papanya yang selalu sibuk mengurusi perusahaan beserta anak perusahaannya dan Mamanya yang berprofesi sebagai Model Profesional begitu sibuk dengan pemotretan yang merampas waktu untuk keluarga, membuat Milly merasa sendirian. Gadis itu bukanlah prioritas lagi untuk kedua orangtuanya. Milly sering di tinggal bersama beberapa asisten rumah tangga yang menemaninya. "Milly!" Mendengar namanya disebutkan, Milly langsung mengedarkan pandangannya ke arah sumber suara dan mendapati Karin sedang berjalan tergesa-gesa dengan payung merah mudanya. "Karin!" sahut Milly girang, ia merasa terselamatkan saat melihat Karin. Setidaknya gadis itu bisa meminta bantuan Karin untuk memesan taksi online untuk pulang. "Lo ngapain berdiri di situ?" tanya Karin heran, segera ia mengatup payungnya lalu menghampiri Milly. "Gue lagi sial ...." Sahutan Milly sukses membuat Karin mengernyitkan keningnya. "Maksud lo?" Milly menghela napas pelan. "Rin, gue bisa minta tolong nggak? Pesenin gue taksi online, please. Handphone gue mati." "Lo mau pulang sekarang? Nanti aja lah, mending lo masuk dulu deh ikut gue, kebetulan keluarga gue ada di dalam," ajak Karin. "Enggak usah, Rin. Gue mau pulang aja," tolak Milly dengan halus. Karin menghela napas berat seolah tidak ingin Milly menolak tawarannya. "Ayolah, Mil," seru Karin setengah memaksa. Milly memejamkan kedua matanya, berpikir sejenak apakah ia harus menerima ajakan Karin atau tidak. "Oke, gue ikut. Tapi habis itu pesenin gue taksi online." Karin mengangkat jempolnya. "Beres! Nanti langsung gue yang nganterin lo." Karin dan Milly berjalan beriringan, sepanjang derap langkah mereka masih sempatnya menggosipkan Pak Darsa yang katanya dalam waktu dekat akan pensiun. "Nah itu keluarga gue!" Tunjuk Karin pada sekumpulan orang-orang yang duduk di meja nomor tujuh dan delapan. Sontak Milly langsung dibuat melongo, bagaimana bisa Pria gila itu adalah keluarga Karin. Selama ini meskipun Karin dan Milly berteman, namun Milly tidak pernah mengetahui seluk-beluk keluarga Karin. "I-itu keluarga lo?" tanya Milly setengah gagap. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Karin mengangguk mantap. "Dan yang di sana itu, Abang gue. Ganteng, kan?" Tunjuk Karin pada seorang Pria yang tengah duduk menghadap ke arah mereka. Pria itu adalah Keenan. Kedua mata Milly hampir keluar dari tempatnya. "Dia yang bikin gue sial hari ini." Milly mencicit kesal. "Hah? Maksud lo? Lo aneh banget dari tadi bilang sial mulu." Heran Karin. Dengan cepat Milly menggelengkan kepalanya. "Enggak, abaikan aja omongan gue tadi," ujarnya. Karin menarik lengan Milly untuk menghampiri keluarganya. "Sayang..Akhirnya kamu sampai juga, kita dari tadi loh nungguin kamu," seru Elina ramah. Elina adalah Mama Karin. "Maaf, Bunda. Karin harus mampir ke toko buku dulu tadi," sahut Karin menjelaskan, "Oh, iya. Ini Milly, dia teman Karin di kampus. Dia boleh ikut bergabung dengan kita, kan?" tambah Karin. Sejenak semua orang yang berkumpul di sini hanya terdiam, mulut mereka tertutup rapat. "Rin, gue pulang aja deh. Enggak enak nih gue." Bisik Milly. "Boleh. Persilahkan teman kamu untuk duduk." Keenan membuka suaranya setelah tidak ada satu pun yang menyahut. Setelah dipersilakan duduk dan mendapat kursi di sebelah Keenan, Milly merasa sangat canggung berada di sini. "Kenapa gue sial banget sih hari ini!" teriak Milly dalam hati. Sepanjang acara makan malam, Milly hanya fokus menyantap makanannya, gadis itu tidak peduli dengan yang mereka bicarakan dan apa yang sedang mereka bahas. Yang ada di pikiran gadis itu adalah dia ingin cepat pulang. "Jadi, pertunangan Keenan dengan Lily akan dilangsungkan seminggu lagi." Hanya kata-kata itu yang meresap masuk di telinga Milly. "Oh, jadi si Pria gila mau dijodohin," batin Milly. "ENGGAK! KEENAN MENOLAK DIJODOHKAN!!" Keenan menghempas kasar tangannya di atas meja. "KEENAN!!!!" teriak Pak Tjahari, ayahnya. Nampak jelas Pria paruh baya itu sangat marah. "Berkali-kali Keenan bilang, KEENAN ENGGAK AKAN PERNAH MAU." Keenan menyahut dengan penuh penekanan. Semua orang lantas terdiam, tidak satu pun dari mereka yang berani membuka suara jika kedua orang ini sudah beradu mulut. Selama ini hubungan Keenan dengan sang Ayah tidak pernah akur, entah kenapa pikiran mereka selalu tak sejalan. Padahal dulu kala, mereka bagaikan dua jiwa yang tidak akan terpisahkan. Keenan beranjak dari duduknya, Pria itu berniat meninggalkan sekumpulan manusia yang tengah berkumpul di sini. Tangannya dengan cepat menarik lengan Milly lalu memaksa gadis itu mengikutinya. "Lepasin!" pekik Milly. Gadis itu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman kuat Keenan. "Kenapa harus kayak gini lagi sih!" ucapnya masih dengan nada berteriak. Namun teriakan Milly tidak cukup untuk membuat Keenan melepaskan genggamannya. Setelah drama seret menyeret dari dalam restoran hingga area parkir, akhirnya Keenan melepaskan tangan Milly secara suka rela. "Ngapain sih bawa-bawa saya di situasi aneh kamu? Mana diseret lagi!" Kali ini Milly benar-benar di buat sangat kesal. Gadis itu mengusap pergelangan tangannya yang memerah karena genggaman kuat dari Keenan. Keenan tersandar lemas di samping mobilnya, matanya terpejam karena pening. "Saya antar kamu pulang," cicit Keenan dengan mata yang masih terpejam. "Enggak perlu. Saya bisa pulang sendiri!" tolak Milly tegas. Mendengar jawaban tegas dari Milly, Keenan langsung melangkah masuk ke dalam mobilnya. "Baguslah, saya bisa langsung pulang," sahutnya. Dengan cepat mobil Keenan melaju meninggalkan halaman restoran. Dalam sekejap, mobil sport berwarna hitam itu hilang dari pandangan Milly. "Dasar GILA! Bisa-bisanya dia ninggalin gue gitu aja," seru Milly kesal. Sekarang Milly tidak punya pilihan, dia harus pulang dengan berjalan kaki. Tidak mungkin dia kembali ke dalam restoran setelah kejadian tadi, mau taruh dimana mukanya? Keluarga Karin pasti berpikir bahwa dia dan Keenan mempunyai hubungan spesial. Benar-benar sesuatu yang sial untuk Milly. *** Baru seratus meter jarak Milly berjalan dari restoran, gadis itu langsung ketakutan setengah mati. Bagaimana bisa gadis rumahan seperti dia terbiasa dengan ramainya lalu lintas. Berbaur dengan keramaian lalu lintas adalah hal terlarang untuk Milly sejak dulu, karena orangtua nya pikir itu akan membahayakan anak gadisnya. Dengan kaki yang gemetar, Milly terus memaksakan diri untuk berjalan. Kepalanya tertunduk karena takut. Suara-suara klakson dan bising kendaraan seakan backsound film horor bagi Milly. Pada akhirnya gadis itu terduduk lemas di atas trotoar. Air mata mengalir deras di kedua sudut mata indahnya. Milly tidak tahu harus berbuat apa, dan kemana ia harus berjalan. Dia sama sekali tidak mengenal tempat ini. Dalam keputusasaannya, seseorang menghampiri Milly tepat di depan gadis itu. Seorang Pria yang tidak asing bagi Milly.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD