Janji Randy

2394 Words
Rayana baru saja selesai mandi, hari ini dirinya tak ada jadwal mengajar, karena memang sudah tak ada lagi yang menggunakan jasa mengajarnya. Hanya Randy harapan satu-satunya untuk bisa mengajar les privat lagi, tapi pemuda itu masih belum mau menerima les privat darinya. “Lebih baik aku masak makan malam.” Rayana lalu melangkah keluar dari kamarnya, tapi langkahnya terhenti saat baru menyadari kalau di pergelangan tangan kirinya seakan kosong. “Astaga! dimana gelangku? Apa tadi aku melepasnya?” Rayana mencoba mencari gelang yang biasa dipakainya di atas meja riasnya, ranjangnya, tapi tetap saja tak menemukannya. “Apa gelang itu terjatuh di rumah Randy?” Rayana ingat, terakhir kali dirinya memakai gelang itu adalah saat tadi dirinya pergi ke rumah Randy. “Gelang itu jangan sampai hilang. Itu adalah gelang pemberian Ayah. Besok aku harus mencarinya sampai ketemu.” Rayana lalu melangkah keluar dari kamarnya, langsung menuju dapur. Dan ternyata sang ibu sudah berada di dapur. “Bu, aku bantu ya?” “Memangnya kamu gak ngajar les lagi, Na?” bertanya sambil memotong sayuran yang akan dimasaknya untuk makan malam. “Gak, Bu. Dili sudah mau masuk SMP, jadi dia gak butuh les dari aku lagi.” Rayana sudah mulai mengupas bawang putih, lalu dimasukkan ke dalam mangkuk kecil. “Lah, kamu kan juga bisa ngajar anak SMP, Na.” Rayana tersenyum. “Iya, Bu. Tapi kalau Dili sudah gak ingin les privat sama aku lagi gimana? Masa iya aku harus maksa dia. Lagian Dili itu anak yang pintar, dia bahkan selalu jadi juara pertama di kelasnya.” “Itu kan juga karena bimbingan dari kamu, Na. Terus gimana dengan lamaran kamu di SDN Citra Bangsa? Apa sudah ada panggilan?” “Disana sudah gak membutuhkan guru pengajar lagi, Bu.” “Ya sudah, jangan putus asa. Kalau rejeki gak akan kemana, Na. Percaya sama Ibu. Ibu juga bisa bantu kamu cari uang. Gimana kalau Ibu jualan saja? hasilnya lumayan bisa buat tambah-tambah.” “Gak, Bu. Ibu kan gak boleh terlalu capek, nanti yang ada Ibu jatuh sakit lagi. Biar aku saja yang nyari duit. Ibu gak usah cemas,” ucap Rayana dengan senyuman di wajahnya. Lastri hanya menganggukkan kepalanya, karena dirinya percaya dengan putri semata wayangnya itu. Selain itu, dirinya yakin, kalau Tuhan tak akan memberikan ujian yang tak bisa dilalui oleh hamba-hambanya. “Bu, nanti setelah makan malam, aku izin keluar ya?” “Memang kamu mau kemana?” Lastri sudah mulai mencuci sayuran yang sudah selesai dipotongnya. “Aku mau ke rumah Senja. Aku mau tanya soal kerjaan, Bu. Dia kan kerja di toko, siapa tau masih ada lowongan pekerjaan buat aku.” Rayana sudah selesai mengupas bawang merah dan bawang putih, lalu dicucinya dan siap ditumbuk bersama dengan cabe dan yang lainnya. Setelah satu jam, makan malam pun sudah tersaji di atas meja makan. Malam ini menu makan Rayana dan ibunya adalah capcay dan tempe goreng. Mereka tak pernah mengeluh dengan apa yang Tuhan berikan untuk mereka. “Ibu harus makan yang banyak ya,” ucap Rayana sambil mengambilkan makanan untuk sang ibu dan meletakkannya di depan sang ibu. “Kamu juga.” “Maaf ya, Bu. Aku belum bisa membelikan Ibu makanan yang enak. Tapi aku janji, kalau aku sudah punya uang, aku akan ajak Ibu makan di restoran.” “Ibu gak masalah makan pakai apa saja, Na. Kalau kamu punya uang, lebih baik kamu tabung. Sekarang usia kamu sudah 24 tahun. Ibu ingin melihat kamu menikah dan punya anak, agar Ibu bisa lebih tenang nantinya.” Rayana selalu diam, saat ibunya sudah mulai membahas soal pernikahan, karena meski saat ini usianya sudah cukup pantas untuk menikah, tapi dirinya belum siap untuk menikah. Selain itu, siapa yang mau menikah dengan gadis miskin seperti dirinya. Setelah selesai makan, Rayana pamit kepada sang ibu untuk pergi ke rumah sahabatnya. Rumah sahabatnya itu tak jauh dari rumahnya, hanya melewati satu gang, dirinya akan sampai di rumah sahabatnya itu. Rayana berjalan dengan santai sambil menatap sekeliling. Biasanya sekitar rumahnya selalu sepi kalau malam, tapi tidak untuk malam ini, karena di depan gang tempat yang harus dirinya lewati, terdapat segerombolan pemuda yang tengah duduk di atas motor mereka. Ada juga yang berdiri di samping motor sambil mengobrol dengan yang lain. Rayana yang ingin melanjutkan langkahnya tiba-tiba mengurungkan niatnya, karena dari 6 pemuda itu tak ada yang dirinya kenal. Hingga dirinya dikejutkan dengan suara klakson motor dari arah belakang dan membuatnya spontan menoleh ke belakang. Kedua mata Rayana membulat dengan sempurna, saat melihat siapa si pemilik motor yang membunyikan klakson dan mengagetkannya tadi. “Randy! Sedang apa kamu disini?” tanya Rayana saat motor Randy berhenti tepat di depannya. “Gue mau ke rumah lo. Tapi gue lihat lo keluar rumah tadi. Lo mau kemana malam-malam begini?” Randy masih duduk di atas motor sportnya. “Bukan urusan kamu. Lagian ngapain kamu ke rumahku? Apa kamu sudah berubah pikiran dan mau les privat sama aku?” “Soal itu lagi, bukankah gue sudah bilang, kalau gue akan memikirkannya? Lagian ngapain sih lo ngebet banget pengen ngajar gue les privat? Emangnya lo gak ada mangsa lain?” Rayana yang tak ingin berdebat dengan Randy memilih untuk membalikkan tubuhnya dan melanjutkan langkahnya dengan jantung berdebar-debar, karena dirinya harus melewati segerombolan pemuda itu untuk bisa sampai di rumah sahabatnya. “Ck, lo yakin mau pergi kesana? Lo berani?” Ucapan Randy membuat langkah Rayana terhenti. Dirinya memang tak mempunyai nyali sebesar itu untuk melewati segerombolan pemuda itu, Randy menyunggingkan senyumannya, saat melihat Rayana yang kini berbalik arah ke arahnya. “Gue ada sesuatu buat lo.” “Apa itu?” kini Rayana sudah berdiri di depan motor Randy. “Akan gue kasih tau, tapi dengan satu syarat. Lo harus ikut gue sekarang.” “Gak, apa-apa pakai syarat. Lagian gak penting juga. Lebih baik aku pulang.” Randy menarik tangan Rayana, saat Rayana berniat untuk pergi. “Yakin nih lo gak mau? Kalau begitu gimana kalau barang itu gue buang? Lo gak akan nyesel kan?” Dahi Rayana mengernyit. “Barang? Barang apa maksud kamu?” tanyanya penasaran. “Lo ngerasa kehilangan sesuatu gak?” “Em ... apa barang yang kamu maksud itu ... sebuah gelang?” Randy tersenyum, lalu menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Rayana. “Cepet juga lo jawabnya. Tepat lagi. Gimana? Lo mau gelang lo balik, atau lo mau gue buang gelang itu? lo tinggal pilih.” “Berikan gelang itu padaku. Itu milikku,” pinta Rayana sambil menengadahkan telapak tangan kanannya. “Akan gue berikan, tapi lo harus ikut gue.” “Tapi ....” Randy menstarter motor sportnya. “Naik, atau gue buang itu gelang.” “Tapi aku ....” “Gak usah banyak mikir, cepetan naik!” Rayana tak punya pilihan lain selain naik ke atas motor Randy. “Pegangan, kecuali lo mau jatuh.” Randy menarik kedua tangan Rayana lalu dirinya lingkarkan ke perutnya. Kini Rayana seperti tengah memeluk Randy dari belakang. Randy melajukan motor sportnya melewati segerombolan pemuda itu dengan kecepatan tinggi, sehingga membuat Rayana dengan terpaksa semakin mengeratkan jalinan jari jemarinya yang tertaut di depan perut Randy. “Kamu mau bawa aku kemana, Ran? Ini sudah malam, aku gak mau membuat Ibu aku cemas!” Rayana terpaksa harus berbicara dengan suara keras agar Randy bisa mendengar apa yang dirinya ucapkan. Randy hanya diam dan semakin menambah kecepatan laju motornya, hingga sampailah mereka di sebuah rumah minimalis. “Kamu bawa aku kemana ini?” tanya Rayana setelah turun dari motor. Randy melepas helm yang dipakainya, lalu turun dari motor, melangkah menuju pintu rumah minimalis itu, lalu menggerakkan tangan kanannya untuk mengetuk pintu rumah itu. “Ran, kamu belum jawab pertanyaan aku sejak tadi. Kita ada dimana sekarang?” tanya Rayana sekali lagi. “Rumah temen gue. Bukannya lo mau gue ikut les privat lo?” “Tapi apa hubungannya kita kesini dengan les privat itu?” “Nanti lo juga bakalan tau.” Pintu rumah itu mulai terbuka dengan perlahan, karena dibuka dari dalam oleh seseorang yang tak lain adalah Satria, sahabat Randy. “Ran, ngapain lo ke rumah gue?” Satria bahkan terkejut dengan kedatangan Randy. Apalagi sahabatnya itu datang dengan seorang gadis cantik. “Dia gebetan baru lo?” tanyanya kemudian. “Bu-bukan. Aku bukan ....” “Gak penting!” potong Randy saat Rayana ingin menyangkal tebakan Satria. “Lo gak suruh gue masuk nih?” lanjutnya sambil menatap sahabatnya yang masih berdiri di depan pintu. “Sorry, masuklah.” Satria lalu melangkah masuk lebih dulu, lalu diikuti Randy di belakangnya, sedangkan Rayana masih berada di luar. “Lo gak mau masuk?” suara teriakan Randy terdengar sampai keluar, membuat Rayana mau tak mau melangkah masuk ke dalam rumah Satria. Rayana mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di dekat Randy, karena hanya ada empat kursi di dalam ruangan itu. Jadi dirinya tak mungkin duduk di dekat Satria, pemuda yang sama sekali tak dikenalnya. “Ran. Lo belum kasih tau gue siapa dia?” Satria bertanya sambil menatap ke arah Rayana. “Dia orang yang gue ceritain sama lo waktu itu.” Dahi Satria mengernyit. “Guru privat lo?” “Hem. Gimana nyokap lo? Sudah baikan?” “Hem. Nyokap gue baru saja tidur setelah minum obat.” “Sat, gue gak bermaksud buat nyinggung lo. Tapi, nyokap gue mau bantu biaya rumah sakit nyokap lo. Jadi, gimana kalau lo bawa nyokap lo ke rumah sakit? lo ingin nyokap lo sembuh kan?” “Tapi, Ran. Biayanya gak sedikit lo. Lo yakin mau bantu gue?” “Bukan gue, tapi nyokap gue. Soal duit, lo gak usah cemas. Lo tau kan kalau gue ini anak sultan,” gurau Randy dan membuat Satria tertawa. Tapi tidak dengan Rayana yang sejak tadi memilih untuk diam. “Besok sepulang sekolah, gue akan antar lo dan nyokap lo ke rumah sakit. Gimana? Lo setuju gak?” “Gue ingin nyokap gue kayak dulu lagi. Semua ini gara-gara bokap gue yang b******k itu! bokap gue sudah buat nyokap gue jadi kayak gini!” geram Satria dengan kedua tangan mengepal erat. Ibu Satria terkena gangguan kejiwaan, saat mengetahui suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Suaminya bahkan sering main tangan dan memakinya di depan putra satu-satunya, dan itu juga yang membuat Satria begitu membenci ayahnya. “Sat, lo harus bertahan, demi nyokap lo. Gue sama Rio siap bantu lo kapanpun lo butuh kita.” “Lo emang sahabat baik gue, Ran. Rio juga. Kalau gak ada kalian, mungkin gue gak akan sanggup melewati semua ini sendirian.” “Jadi lo setuju dengan usul gue kan?” “Hem, gue mau nyokap gue sembuh.” “Ok.” Randy lalu beranjak dari duduknya. “Kalau gitu gue balik dulu, besok gue kesini lagi sama Rio,” lanjutnya dan mendapat anggukkan kepala dari Satria. Randy dan Rayana melangkah keluar dari rumah Satria, naik ke atas motor, lalu melajukan motornya keluar dari pekarangan rumah Satria. Tapi, Randy tak langsung mengantar Rayana pulang ke rumahnya, melainkan mengajak gadis itu ke sebuah restoran, karena dirinya tadi belum sempat makan malam. Sehabis dari apartemen Rio, ia langsung ke rumah Rayana, setelah itu ke rumah Satria. “Ran, aku mau pulang.” “Temani gue makan, sekalian ada yang ingin gue bicarakan sama lo.” Randy melangkahkan kakinya menuju pintu restoran, membuat Rayana mau tak mau mengikuti langkahnya. “Lo mau pesan apa?” “Aku sudah makan.” “Gue juga gak mungkin tega biarin lo lihat gue makan.” “Orange jus aja.” “Lo yakin malam-malam mau minum orange jus?” “Gak usah banyak protes!” “Serah lo dah.” Randy lalu memesan makanan dan minuman kepada pelayan yang berdiri di sampingnya. Setelah mencatat pesanan Randy, pelayan itu pamit undur diri. “Ran, mana gelangku. Balikin sekarang,” pinta Rayana sambil menengadahkan telapak tangannya. Randy merogoh saku celananya, lalu mengambil gelang yang tadi dirinya temukan di taman rumahnya, mengangkatnya lalu menatapnya. “Lo yakin ini gelang milik lo?” “Hem. Balikin sekarang.” “Ok.” Bukannya meletakkan gelang itu di telapak tangan Rayana, tapi Randy malah memasang gelang itu di pergelangan tangan Rayana, hingga membuat Rayana terkejut. “Dah. Lain kali jangan sampai jatuh lagi. Untung gue yang nemuin, coba kalau orang lain, mungkin gelang itu gak akan balik ke lo lagi.” “Oya, soal les privat lo itu, lo bisa mulai minggu depan,” lanjutnya. “Hah! Kamu yakin? Kamu gak akan berubah pikiran lagi kan?” tanya Rayana dengan wajah terkejut. “Hem. Gue gak akan ingkar janji lagi.” Rayana tersenyum, dan senyumannya itu terlihat begitu manis di mata Randy. “Aku akan pegang janji kamu itu.” Seorang pelayan datang mengantar makanan dan minuman yang Randy pesan, meletakkannya di atas meja, setelah mempersilahkan Randy dan Rayana untuk menikmati makan malamnya, lalu itu pamit undur diri. “Lo yakin gak mau makan?” “Gak. Kamu makan saja sendiri. Habis itu antar aku pulang.” “Terserah lo.” Randy lalu memulai makannya dan tak peduli dengan Rayana yang malah sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya. Kini Randy sudah mengantar Rayana sampai di depan pintu pagar rumahnya. Gadis cantik itu bahkan sudah turun dari motor Randy. “Ran, kalau boleh aku tau, kenapa kamu berubah pikiran?” “Karena gue kasihan sama lo. Kayaknya lo benar-benar lagi butuh duit,” jawab Randy sekenanya. “Dah, gue mau cabut.” Randy lalu menstarter motor sportnya, lalu melajukan motornya pergi dari depan pagar rumah Rayana. Rayana menatap gelang yang ada di pergelangan tangan kanannya. Ia tak menyangka ternyata Randy yang sudah menemukan gelang berharganya itu. Belum lagi sikap Randy yang sangat berbeda dengan tadi siang, membuatnya sedikit bernafas lega, karena akhirnya Randy mau dirinya berikan bimbingan belajar. “Rejeki buat Ibu,” ucap Rayana dengan senyuman di wajahnya, lalu membalikkan tubuhnya, membuka pintu pagar rumahnya, melangkah masuk, lalu menutupnya kembali. Rayana melangkah menuju pintu rumahnya, membuka pintu itu, lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya. Tak lupa dirinya menutup pintu itu kembali. “Na, dari mana saja kamu jam segini baru pulang? katanya perginya cuma sebentar?” tanya Lastri sambil berjalan menghampiri Rayana yang baru saja menutup pintu utama. Rayana terpaksa harus berbohong, karena dirinya juga tak mungkin mengatakan kalau dirinya habis pergi dengan calon anak didiknya. “Bu, aku sudah dapat kerjaan,” ucap Rayana untuk mengalihkan pembicaraan. “Minggu depan aku sudah mulai mengajar les privat lagi, Bu,” lanjutnya dengan senyuman di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD