Putus
Rayana baru saja selesai mengajar les privat disalah satu rumah di tempat tinggalnya.
Jalanan terlihat sangat sepi malam itu. Ia sebenarnya merasa sangat takut, sambil terus menengok ke belakang, ia mempercepat langkah kakinya.
Saat melewati gang yang semakin membuat malam itu semakin mencengkam, Rayana seperti mendengar suara yang sangat ia tau suara apa itu.
Rayana sontak langsung menutup mulutnya dengan telapak tangannya untuk menahan teriakannya.
Astaga! Suara ini ... apa suara ini seperti apa yang aku pikirkan? Apa yang mereka lakukan di tempat sepi ini? apa mereka melakukan ....
Rayana menggelengkan kepalanya.
“Gak. Mungkin aku salah dengar.”
Tapi, saat Rayana kembali melanjutkan langkahnya, suara itu semakin jelas terdengar. Sehingga membuat bulu kuduk di tubuhnya semakin bergidik ngeri.
“Lebih baik aku cek langsung. Gak mungkin kan ada orang yang nekat melakukan itu di tempat umum. Ya ... meskipun tempat ini terbilang sepi. Tapi tetap aja, apa mereka gak malu kalau sampai ketahuan warga.”
Rayana memberanikan diri melangkahkan kakinya mendekat ke arah sumber suara.
Semakin ia dekat dengan tempat itu, semakin jelas suara itu terdengar di telinganya.
Kedua mata Rayana membulat seketika saat melihat pemandangan yang ada di depannya saat ini.
Meskipun pencahayaan di tempat itu tidak terlalu terang, tapi ia bisa melihat dengan jelas dua sosok yang kini ada dihadapannya.
“Apa yang kalian lakukan di tempat ini!” serunya dengan kedua mata yang masih membola tentunya.
Rayana tak menyangka akan melihat pemandangan yang seumur hidupnya belum pernah dilihatnya.
Astaga! Kedua mataku telah ternodai.
Seorang wanita yang tadinya duduk berjongkok, mengumpat dan beranjak berdiri.
“Siapa lo, hah! Mengganggu aja!” serunya kesal.
Lelaki yang berdiri di depan wanita itu menarik kembali celananya yang melorot akibat ulah si wanita.
Wanita yang melihat tingkah si lelaki sontak langsung mencegah tangan itu yang sudah siap untuk menutup apa yang sejak tadi menjadi tempat favoritnya.
“Ran, kita belum selesai. Lo belum gue ....”
“Sorry, gue udah gak mood!” seru lelaki yang bernama lengkap Randy Raditya.
Randy menghempaskan tangannya yang digenggam oleh wanita yang tak lain bernama Riska.
“Gue cabut,” pamitnya lalu melangkah mendekati Rayana.
Kedua mata Randy menghunus tajam ke kedua mata Rayana.
“Jangan suka ikut campur urusan orang lain! Atau gue gak akan tinggal diam! Lain kali, kalau gue sampai lihat wajah lo lagi, gue gak akan lepasin lo gitu aja! Cam kan itu baik-baik!” ancamnya lalu melangkah pergi.
Rayana mengusap dadanya yang tiba-tiba berdetak dengan sangat cepat.
Bukan karena ia terpesona dengan ketampanan pria muda bernama Randy. Tapi, ia benar-benar merasa sangat takut saat kedua mata elang Randy menatapnya dengan sangat tajam.
Riska yang merasa sangat kesal melangkahkan kakinya menghampiri Rayana.
“Siapa lo, hah! Kenapa lo mengganggu kesenangan gue!” serunya sambil mencengkram lengan Rayana.
Rayana meringis menahan sakit di lengan tangannya.
“Apa kamu gak merasa malu melakukan hal menjijikkan itu ditempat umum? Apalagi kalian ini masih pelajar.”
Riska tersenyum sinis.
“Jangan sok mengajari gue! Siapa lo, hah! Berani-beraninya lo nyeramahin gue!”
Riska menghempaskan tangan Rayana.
“Jangan sok suci lo!” serunya lalu pergi meninggalkan Rayana untuk mengejar Randy yang sudah lebih dulu pergi.
Rayana menyandarkan tubuhnya ke tembok, masih sambil mengusap dadanya.
“Astaga! Mimpi apa aku semalam hingga harus melihat hal menjijikkan seperti tadi.”
Randy bersiap-siap untuk menaiki motor sportnya yang diparkirkan tak jauh dari tempat dirinya bertemu dengan Rayana. Tapi, gerak kakinya berhenti saat mendengar teriakan Riska.
“Ran, kita lanjut di rumah gue ya? gue janji, gue akan bikin lo puas,” ucap Riska sambil merangkul lengan Randy.
Randy dan Riska sudah berpacaran selama dua bulan. Mereka bahkan sudah melakukannya lebih dari dua kali selama mereka berpacaran.
Randy menghempaskan tangannya agar terlepas dari rangkulan Risk.
“Sorry, Ris. Gue gak bisa lanjutin hubungan ini. Mulai sekarang gue bukan pacar lo lagi.”
Kedua mata Riska membulat dengan sempurna.
“Gak! Gue gak mau, Ran! Apa salah gue sampe lo putusin gue?” tentu saja dengan kedua sudut mata yang sudah ada cairan beningnya dan siap untuk meluncur dari muaranya.
“Gue udah bosan ama lo. Sorry,” ucap Randy lalu naik ke atas motornya.
Riska yang tak terima diputusin gitu aja, langsung berdiri tepat di depan motor Randy.
“Gue gak mau putus sama lo, Ran. Gue cinta sama lo. Please, jangan putusin gue.”
Randy yang masih betah duduk diatas motornya, melipat kedua tangannya didepan dadaa.
“Gue gak cinta sama lo,” ucapnya dengan entengnya.
“Bohong! Mana mungkin lo gak cinta ama gue setelah apa yang kita lakukan selama ini.”
Randy tersenyum sinis.
“Gue hanya ngelakukin apa yang lo minta. Lo yang mau, bukan gue.”
“Tapi lo juga menikmatinya, Ran. Lo juga memintanya lagi setelah itu.”
“Tapi lo melakukan itu bukan untuk pertama kalinya, dan gue bukan orang pertama yang pernah pakai ....”
“Cukup!” teriak Riska sambil mengepalkan kedua tangannya.
Dengan sangat keras Riska melayangkan tangan kanannya dan menampar wajah tampan Randy.
“Lo memang b******k, Ran!” serunya.
Randy menyentuh pipinya yang terasa sangat panas akibat tamparan Riska. Ia lalu menyungingkan senyumannya.
“Sekarang lo seharusnya nyadar, kalau lo ama gue gak bisa lanjutin hubungan ini!”
Randy lalu mulai menstarter motornya.
“Minggir gak lo, hah! Atau lo mau gue tabrak!” serunya kesal.
“Gue gak akan pernah maafin lo, Ran! Tunggu pembalasan gue!” ancam Riska lalu melangkah pergi.
“Lo pikir gue takut ama ancaman lo, hah!” seru Randy lalu melajukan motornya meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di rumah, Randy memasukkan motornya ke garasi rumahnya. Ia lalu melangkah masuk kedalam rumah yang selalu sepi.
“Bi! Bibi!” teriaknya sambil melangkah menuju dapur.
Seorang wanita paruh baya langsung menghampiri anak majikannya.
“Iya, Den. Ada yang bisa Bibi bantu?” tanyanya dengan nafas yang masih ngos ngosan karena habis berlari dari belakang rumah.
“Mama belum pulang ya, Bi?”
“Belum, Den. Apa Den Randy merasa lapar?”
Randy menggelengkan kepalanya.
“Aku ingin langsung tidur aja, Bi. Tolong jangan bangunkan aku saat Mama pulang nanti.”
Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya. Sedangkan Randy melangkah menuju tangga untuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Randy adalah anak tunggal dari pasangan Mila dan Arsen. Saat usia 10 tahun, ayah Randy meninggal dunia, hingga ia tumbuh besar tanpa kasih sayang ayahnya.
Mila yang harus meneruskan perusahaan suaminya, tak ada pilihan lain selain mengabaikan putra semata wayangnya untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Randy tumbuh besar tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya. Apalagi yang merawat Randy selama ini adalah asisten rumah tangganya yang bernama Bi Surti. Ia bahkan lebih dekat dengan Bi Surti, ketimbang dengan Mila—mamanya.
Saat ini Randy berusia 18 tahun, tapi ia masih duduk di bangku 11, karena ia sempat tak naik kelas karena sering bolos sekolah.
Hingga membuat Mila semakin memperketat Randy dan melarangnya untuk bergaul dengan teman-temannya.
Tapi, Randy yang tumbuh besar tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Sama sekali tak menghiraukan apa yang mamanya ucapkan.
Baginya semua itu hanya sebuah dongeng untuknya sebelum tidur. Ia malah semakin membangkang.
Randy mengumpat saat seseorang mengagetkannya dari belakang.
“Astaga! Sensi amat lo! Lo lagi dapet ya! atau lo gak dapat jatah dari Riska semalam?” ledek Rio yang tak lain sahabat Randy.
“Jangan sebut dia lagi!” seru Randy kesal.
Rio mengernyitkan dahinya.
“Lo ada masalah sama Riska?” tanyanya penasaran.
“Gue udah putus sama dia.”
Kedua mata Rio membulat dengan sempurna.
“Lo serius? Gimana ceritanya? Kalian kan pasangan paling hot di sekolah ini?” tanyanya tak percaya.
“Kenapa? lo mau sama Riska? Ambil aja, lagian gue udah bosen ama dia,” ucap Randy sambil menyungingkan senyumannya.
“Sialan lo! Lo pikir gue mau ama bekas lo! Enak aja!”
Randy tertawa.
“Yakin lo? Bukannya mata lo sering menatap kedua bongkahannya yang segede kelapa itu?” sindirnya.
“Siapapun akan langsung melihat kesitu saat melihat Riska. Gue juga masih normal kali, Ran. Masih suka yang bulat-bulat segede kelapa itu. Pasti akan puas saat ....”
Rio menghentikan ucapannya saat melihat Riska yang tengah berjalan ke arahnya dan juga Randy.
“Panjang umur cewek lo, baru juga diomongin, udah nongol aja,” ucapnya sambil menyenggol lengan Randy.
Randy yang sibuk dengan benda pipih di tangannya akhirnya mengalihkan tatapannya dan menatap Riska.
“Mau apalagi, Lo? Belum puas lo nampar gue semalem, hah!”
Rio begitu terkejut dengan apa yang Randy katakan.
“Riska nampar lo?”
“Rio, bisa tinggalkan gue sama Randy? Ada yang ingin gue bicarakan sama Randy,” pinta Riska.
“Gak ada yang perlu diomongin lagi. Gue udah gak ada hubungan apa-apa sama lo.”
Randy lalu menarik tangan Rio.
“Cabut, lo mau ditarik guru BK dan disuruh berdiri di depan tiang bendera?”
Rio mengikuti langkah Randy yang membawanya menuju atap gedung sekolahnya. Tempat yang selalu mereka kunjungi saat membolos dari kelas.
Randy mengambil bungkus rokok dari dalam tasnya. Mengambil satu batang rokok lalu dinyalakannya. Menghisapnya dengan perlahan, dan menghembuskan asap dari kedua lubang hidung dan mulutnya.
“Satria tumben gak masuk?” tanyanya setelah kembali menghisap rokok yang ada di sela jarinya.
“Nyokapnya kambuh lagi. Lo kan tau, bokapnya pergi dari rumah.”
Rio mengambil bungkus rokok dari tangan Randy.
“Setelah pulang sekolah, kita ke rumah Satria. Siapa tau dia butuh bantuan kita,” ucapnya lalu menyalakan batang rokok yang tadi diambilnya.
Randy menganggukkan kepalanya.
“Satria masih beruntung, punya nyokap yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatiannya.”
Rio menatap sahabatnya yang entah mengapa menjadi melo.
“Lo seharusnya bersyukur, karena lo hidup berkecukupan. Sedangkan Satria ... dia bisa makan aja udah untung.”
“Gue gak butuh harta keluarga gue. Gue hanya butuh nyokap gue selalu ada saat gue butuh. Tapi selama ini, nyokap gue pikir, gue bahagia dengan segala fasilitas mewah yang dia berikan. Lebih baik gue miskin, tapi gue mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari nyokap gue.”
Randy lalu membuang puntung rokok yang masih setengah.
“Malam ini gue tidur di apartemen lo ya? gue males di rumah. Lagian nyokap gue kayaknya gak akan pulang lagi malam ini.”
Rio menganggukkan kepalanya.
Saat ini Rayana yang tengah duduk di pinggir jalan untuk menunggu taksi yang dipesannya, melihat seorang wanita paruh baya yang tengah kebingungan. Ia pun melangkahkan kakinya menghampiri wanita paruh baya itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Tante?” tanyanya menawarkan bantuan.
Wanita paruh baya itu mengangguk.
“Apa Tante boleh meminjam ponsel kamu? ponsel Tante baterainya lobet.”
Rayana menganggukkan kepalanya. Ia lalu mengambil ponselnya dari dalam tas selempangnya.
“Ini, Tan,” ucapnya sambil memberikan ponsel itu kepada wanita paruh baya itu.
Wanita paruh baya itu lalu mengetikkan nomor di layar ponsel Rayana, karena ia akan menghubungi seseorang.
“Halo, Ran, ini Mama,” sahutnya saat panggilan itu mulai tersambung.
“Hem ....”
“Bisa jemput Mama sekarang? Kamu sudah pulang sekolahkan?”
“Memangnya Mama gak bawa mobil?”
“Mobil Mama ada di bengkel, Sayang.”
"Mama bisa naik taksi."
“Ada yang ingin Mama bicarakan sama kamu. Mama tunggu kamu di restoran dekat kantor Mama.”
Wanita paruh baya itu lalu mengakhiri panggilan itu. Ia lalu mengembalikan ponsel itu kepada Rayana.
“Terima kasih ....”
“Nama saya Rayana, Tante. Panggil aja Yana,” ucap Rayana dengan senyuman di wajahnya.
“Saya Mila. Panggil saja Tante Mila. Oya, sedang apa kamu disini?”
“Saya habis selesai mengajar les privat, Tan. Kebetulan rumah murid saya ada disekitar sini.”
Mila mengernyitkan dahinya.
“Kamu guru privat?”
Rayana menganggukkan kepalanya. “Untuk sementara, sambil menunggu lamaran pekerjaan saya diterima,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya.
“Kebetulan sekali. Tante sedang mencari guru privat untuk anak Tante. Apa kamu bisa mengajar murid kelas 11?”
Rayana menganggukkan kepalanya.
“Bisa, Tan.”
Mila menganggukkan kepalanya.
“Baiklah. Tante butuh bantuan kamu. Soalnya anak Tante ini sangat sulit untuk disuruh belajar. Apalagi tahun ini dia tinggal kelas karena nilainya sangat buruk.”
“Tante serius?”
Mila menganggukkan kepalanya.
“Kamu bisa datang ke rumah Tante besok.”
Mila lalu mengambil dompet dari dalam tasnya. Tentu saja untuk mengambil kartu namanya.
“Kamu bisa datang ke alamat ini, kebetulan besok Tante libur,” ucapnya sambil memberikan kartu nama itu kepada Rayana.
Rayana mengambil kartu nama itu.
“Baik, Tan,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya.
“Tante berharap, kamu bisa mengubah sifat anak Tante yang keras kepala itu. Tante sudah sangat malu dengan kelakuannya selama ini. Padahal dia anak Tante satu-satunya.”
Rayana tak menyangka, keputusannya untuk menghampiri wanita paruh baya itu, malah membuatnya mendapatkan pekerjaan baru.
Padahal, tadi adalah hari terakhir ia mengajar les privat ditempatnya mengajar selama ini.
Kalau sudah rejeki gak akan kemana. Ini semua untuk Ibu.