Numpang makan

2751 Words
Randy melangkah menuju lemari pakaiannya. Ia lalu segera memakai pakaian yang baru saja diambilnya. Tentu saja kaos oblong dan celana pendek selutut yang biasa digunakannya saat berada di rumah. Kenapa sih dia begitu gigihnya ingin menjadi guru privat gue? Randy berdiri di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Sambil menyisir rambutnya, ia memikirkan cara untuk bisa menghindar dari Rayana. Randy menatap jam di dinding kamarnya. “Sudah hampir waktunya makan malam. Mama belum juga pulang. Apa Mama akan lembur lagi?” Ma, kapan Mama akan punya waktu buat aku? anak Mama cuma satu. Tapi, Mama sudah menyia-nyiakan aku dan lebih mentingin kerjaan Mama itu. Randy meletakkan sisir yang tadi dipakainya untuk menyisir rambutnya ke atas meja. Ia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di meja itu. Lebih baik gue minta tolong sama Rio. Randy lalu mencari nomor Rio dan langsung menghubunginya. “Halo, Rio. Lo ada di apartemen gak sekarang?” “Hem, kenapa? lo mau kesini?” “Hem, ada yang mau gue kenalin sama lo,” ucap Randy sambil tersenyum menyeringai. Entah apa yang ada dalam otak Randy saat ini. Apa jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu terhadap Rayana? “Siapa? Pacar baru lo?” “Nanti lo juga akan tau. Gue otw sekarang.” Randy lalu mengakhiri panggilan itu. “Sekarang gue mau lihat. Seberapa gigih lo akan terus berusaha untuk menjadi guru privat gue,” ucapnya dengan menyunggingkan senyumannya. Randy lalu mengambil hoody dari dalam lemarinya, lalu memakainya. Tak lupa ia memasukkan dompet ke dalam saku celananya. Randy mengambil sepatu cats berwarna putih dan memakainya. Perfect. Randy lalu melangkah keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga satu persatu, ia lalu berjalan menuju ruang tamu. Ia melihat Rayana yang masih setia menunggunya. “Lo masih disini?” tanyanya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Rayana beranjak dari duduknya. “Kamu mau pergi kemana?” tanyanya saat melihat penampilan Randy yang sudah rapi. “Gue mau pergi. Lebih baik lo pulang sekarang. Kecuali lo mau nginep di rumah gue.” Randy lalu melangkah pergi. Rayana mengikuti langkah Randy. “Kamu gak bisa kayak gini. Apa kamu sama sekali gak bisa menghargai usaha orang lain?” Randy menghentikan langkahnya. Ia lalu membalikkan tubuhnya menghadap Rayana. “Kalau lo mau ikut gue. Gue akan pertimbangkan permintaan lo itu,” ucap Randy sambil tersenyum sinis. Rayana menatap jam di pergelangan tangannya. Ia lalu kembali menatap ke arah Randy yang tepat berada di depannya. “Memangnya kamu mau pergi kemana?” “Lo akan tau nanti.” Randy lalu melangkah menuju garasi. Ia lalu mengambil helm dan memberikannya kepada Rayana. Rayana hanya diam. “Gue gak mau kena masalah hanya karena lo gak mau pakai helm.” “Kamu sudah punya SIM kan?” tanya Rayana sambil mengernyitkan dahinya. Rayana hanya takut kena masalah nanti kalau dirinya memaksakan diri untuk ikut bersama dengan Randy. Apalagi Randy anak SMA yang duduk di kelas 11. Siapa tau dia belum SIM. Bisa berabe kan kalau sampai ketilang nanti. Randy memasangkan helm itu ke kepala Rayana, hingga membuat Rayana terkejut. “Lo pikir gue belum punya SIM?” Randy lalu mengambil dompet dari dalam saku celananya. Ia lalu mengambil SIM dari dalam dompetnya dan menunjukkannya tepat di depan wajah Rayana. “Lo udah percaya?” Rayana menganggukkan kepal. “Tapi kamu mau pergi kemana? Ini sudah waktunya makan malam.” Randy melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Gue gak maksa lo untuk ikut. Terserah, lo mau ikut ama gue atau gak. Gue juga gak peduli.” Randy lalu kembali memasukkan SIM nya ke dalam dompet, memasukkan dompet itu ke dalam saku celananya. Randy mengambil helmnya lalu memakainya. Ia lalu naik ke atas motor sportnya dan mulai menstarter motornya. Rayana meremas jemari-jemari tangannya. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Kalau aku gak ikut, Randy pasti gak akan terus menghindar. Tapi, kalau aku ikut dengannya, dia mau mempertimbangkan permintaan aku. Randy menatap Rayana yang masih bergeming di tempat. “Lebih baik lo pulang. Gue gak akan pernah berubah pikiran.” Randy memblayer motornya hingga mengeluarkan suara bising. Rayana menutup kedua telinganya. “Ok. Aku akan ikut sama kamu. Tapi kamu harus janji, kamu mau mengikuti bimbingan belajar sama aku!” teriak Rayana tepat di samping Randy. Randy mengisyaratkan Rayana untuk naik ke atas motornya. Rayana menghela nafas panjang. Ini demi Ibu. Aku butuh pekerjaan ini. Rayana lalu naik ke atas motor Randy. Randy menoleh kebelakang. “Pegangan yang erat kalau gak mau jatuh.” Rayana berpegangan pada bemper belakang motor Randy. Randy lalu melajukan motornya tanpa aba-aba, hingga membuat Rayana terkejut. Tanpa Rayana sadari, ia memeluk erat tubuh Randy. Randy menatap kedua tangan Rayana yang melingkar di perutnya. “Dasar! Gue udah peringatin buat pegangan yang erat. Lo malam pegangan sama bemper motor gue. Sekarang lo tanpa ragu malah peluk gue kayak gini.” “Udah gak usah cerewet! Aku juga terpaksa pegangan ama kamu. Aku masih ingin hidup ya. Kalau mau mati, jangan ajak-ajak aku!” kesal Rayana tanpa melepaskan tautan kedua tangannya yang melingkar di perut Randy. “Bilang aja lo mau cari kesempatan dalam kesempitan,” sindir Randy lalu menambah kecepatan laju motornya. Rayana semakin mengeratkan pelukannya. Ya Tuhan ... selamatkan hamba—Mu. Hamba masih ingin hidup. Randy menghentikan motornya di basement apartemen Rio. Ia lalu meminta Rayana untuk turun. Dengan tubuh gemetar, Rayana turun dari motor Randy. Ia lalu terduduk sambil mengusap dadanya naik turun. Mengatur nafasnya karena dadanya terasa sesak. Randy tersenyum sinis. “Jangan bilang lo belum pernah naik motor?” ledeknya. Setelah merasa lebih baik, Rayana beranjak berdiri. “Kamu gak bisa ya bawa motor pelan-pelan aja! atau jangan-jangan kamu memang ingin membuat aku terkena serangan jantung, biar kamu bisa lepas dari aku, hah!” serunya. Randy hanya diam. Ia sama sekali tak menghiraukan ucapan Rayana dan memilih untuk melangkah menuju lift. “Tunggu, woy!” teriak Rayana lalu berlari mengejar Randy. Randy menekan bel pintu apartemen Rio. Rayana menatap sekeliling apartemen itu. “Kamu bawa aku kemana? Kamu gak tengah merencanakan sesuatu kan?” tanyanya curiga. Randy hanya diam. Tak berselang lama pintu itu mulai terbuka. Randy lalu masuk ke dalam apartemen itu. Begitu juga dengan Rayana. Rio mengernyitkan dahinya. “Ran, lo bawa cewek lo kesini?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. Randy mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangan itu. Ia lalu menatap Rayana. “Lo mau berdiri disana terus?” Rayana meneliti ruang apartemen itu. “I—ini dimana?” tanyanya dengan perasaan tak tenang. Pasalnya di dalam ruangan itu hanya ada dirinya dan dua cowok tengil yang bahkan usianya jauh dibawahnya. Mereka gak akan ngapa-ngapain aku kan? Rio tersenyum menatap Rayana. “Ini apartemen aku, Tan. Tante gak usah takut. Kami bukan orang jahat kok.” Randy tertawa terbahak-bahak. “Memangnya itu cewek tante lo? Kapan om lo nikah ama ini cewek?” ledeknya. “Ran, lo harus menghormati orang yang lebih tua. Ya gak, Tan?” tanya Rio masih dengan senyuman di wajahnya. “I—iya,” sahut Rayana terbata-bata lalu mendudukkan tubuhnya di sofa tunggal. Rio lalu menatap Randy, memberinya isyarat untuk ikut dengannya. “Tante tunggu disini dulu ya, ada hal yang ingin aku bicarakan sama Randy,” ucap Rio lalu menarik tangan Randy dan membawanya menuju dapur. “Sekarang lo jujur sama gue. Siapa tu cewek?” tanya Rio sambil menatap Rayana yang saat ini tengah menatap sekeliling apartemennya. “Itu cewek yang tadi gue ceritain.” Randy menarik salah satu kursi mini bar, lalu mendudukinya. “Maksud lo ... dia itu guru privat lo?” Randy menganggukkan kepalanya. “Astaga! Jadi dia nungguin lo sampai lo pulang?” Rio sampai geleng kepala saking terkejutnya. “Hem, makanya dia gue ajak kesini. Gue mau lihat, seberapa gigih dia untuk menjadi guru privat gue,” ucap Randy sambil tersenyum menyeringai. “Lo bener-bener keterlaluan. Lo mau permainin tu cewek? Lo gak takut kena karma? Dia itu lebih tua dari lo.” “Karma? Memangnya apa yang gue lakukan, hah! Gue gak melecehkan dia kan?” “Tapi lo udah mempermainkan dia, Ran. Memangnya lo gak kasihan ama dia? Ini udah malam. Gue yakin, tu cewek pasti belum makan malam.” Randy mengusap perutnya yang sudah mulai keroncongan. “Gue juga belum makan malam dodol! Lo punya makanan gak?” “Sorry. Tadi gue cuma pesan satu porsi, tapi udah gue makan. Gue akan pesankan lagi. Jangan buat anak orang kelaparan,” ucap Rio lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja mini bar. Rio lalu memesan dua porsi makanan untuk Randy dan Rayana. Rio meletakkan kembali ponselnya, ia lalu melangkah menuju lemari pendingin dan mengambil minuman dingin. Rio menuangkan orange jus ke dalam gelas kosong. “Lo ngapain ajak itu cewek ke apartemen gue? Lo gak ada niat jahat kan sama dia?” Randy hanya diam. Rio menghela nafas panjang. “Jangan bilang lo butuh kehangatan setelah lo putus dari Riska?” tanyanya penuh selidik. Randy menonyor kening Rio. “Enak aja! lo pikir gue apaan, hah!” kesalnya lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju ruang depan. Randy kembali mendudukkan tubuhnya di sofa yang tadi didudukinya. Rio melangkah menghampiri Randy dan Rayana sambil membawa nampan yang berisi segelas minuman dingin. “Lo gak buatin gue minum!” kesal Randy yang melihat hanya ada segelas minuman dingin di atas nampan yang Rio bawa. “Lo punya tangan. Lo bisa ambil sendiri. Lagian lo udah biasakan ambil sendiri.” Rio lalu meletakkan segelas minuman dingin itu di depan Rayana. “Silahkan di minum, Tan. Maaf, hanya ada itu,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Rayana mengangguk pelan. “Terima kasih. Maaf, sudah merepotkan,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. Rio mendudukkan tubuhnya di samping Randy. “O ya, Tan. Tadi aku udah pesankan makanan untuk Tante dan Randy. Tante belum makan malam kan? Teman aku ini memang resek, Tan. Tolong dimaklumi ya.” Randy menatap Rio dengan tajam. “Sialan, lo!” serunya tak terima. Rio, Randy, dan Rayana mendengar suara bel berbunyi. “Itu pasti makanan yang tadi aku pesan. Aku tinggal dulu ya, Tan,” pamitnya lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Rayana menatap Randy yang tengah memainkan ponselnya. “Kenapa kamu ajak aku kesini?” kesalnya. “Gue gak maksa lo untuk ikut sama gue.” Randy bahkan tak memalingkan tatapannya dari benda pipih yang ada di tangannya. Tau gini aku gak ikut sama dia. Ibu pasti sekarang sedang mencemaskan aku. Rio datang sambil membawa makanan yang tadi dipesannya, lalu meletakkannya di atas meja. “Silahkan dimakan, Tan. Gak usah malu-malu,” ucap Rio sambil memberikan piring beserta sendoknya. Randy mengambil sebungkus nasi goreng yang Rio pesan, lalu menuangkannya ke atas piring, dan mulai memakannya. Rayana hanya geleng kepala melihat kelakukan Randy. Dasar! Jadi dia ngajak aku kesini hanya untuk numpang makan! “Kenapa, Tan? Tante gak suka nasi goreng ya?” tanya Rio saat Rayana sama sekali tak menyentuh makanannya. “Bu—bukan begitu. Tapi aku masih kenyang. Makanan ini buat kamu aja,” ucap Rayana sambil menepiskan senyumannya. Rio tampak kecewa, karena Rayana menolak kebaikan hatinya. Tapi, ia juga tak mungkin memaksa Rayana untuk memakan makanan itu. “Gak usah malu. Gue tau lo lapar,” ucap Randy lalu kembali memasukkan satu suap nasi goreng ke dalam mulutnya. “Iya, Tan. Makan aja, aku ikhlas kok. Tenang aja, semua ini nanti Randy akan ganti rugi kok,” ucap Rio sambil melirik ke arah Randy. Kedua mata Randy seketika langsung membulat. “Sialan! Gue pikir lo yang traktir. Ternyata lo minta ganti rugi!” sungutnya. Rayana hanya geleng kepala. “Terima kasih untuk niat baik kamu. Tapi beneran, aku masih kenyang,” ucapnya tak enak hati. Randy lalu mengambil sebungkus nasi goreng itu. “Kalau gak mau ya udah. Perut gue masih muat untuk menampung ini nasi goreng.” Rio dan Rayana hanya geleng kepala. Randy mengusap perutnya yang kekenyangan. “Astaga, Ran! Lo bener-bener ya! nasi goreng dua bungkus lo habisin sendiri! perut lo udah mau meledak gitu!” “Mubadzir kalau buang-buang makanan. Lagian ada yang menyia-nyiakan niat baik lo. Memangnya lo gak sakit hati?” tanya Randy sambil melirik Rayana. Rayana yang merasa tersindir, sontak langsung menatap Rio. Kebetulan juga, Rio tengah menatap ke arahnya. “Gak apa-apa kok, Tan. Jangan dengerin apa yang Randy katakan. Mulutnya memang gitu. Gak ada rem nya,” ucap Rio sambil mencubit pinggang Randy. “Aww! Ngapain lo cubit pinggang gue! Sakit tau!” kesal Randy sambil mengusap pinggangnya yang terasa panas. Rayana melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Ibu pasti saat ini sangat mencemaskan aku. Mana ponsel aku lowbat lagi. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Randy dan Rio melihat Rayana yang nampak begitu gelisah. Rio menyikut lengan Randy. Randy menatap ke arah Rio. “Dia kenapa?” tanya Rio lirih. Randy mengedikkan kedua bahunya. “Tante ... ngomong-ngomong ...” “Em ... maaf,” potong Rayana lalu beranjak dari duduknya. “A—aku harus pulang sekarang. Pasti sekarang Ibu aku sedang mencemaskan aku,” lanjut Rayana. Rio menatap Randy. “Lo harus tanggung jawab bawa anak gadis orang.” Randy menghela nafas panjang. Ia lalu beranjak dari duduknya. “Thanks untuk makan malamnya. Gue balik dulu,” pamitnya lalu melangkah menuju pintu. Rayana membulatkan kedua matanya saat melihat sikap Randy. Astaga! Ini anak bener-bener! Rayana menatap Rio dengan perasaan tak enak hati. “Em ... maaf ya, aku sama Randy sudah merepotkan kamu,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. Rio tersenyum. Ia tak menyangka ada cewek yang begitu sopan nya seperti Rayana. Cantik, sopan lagi. “Gak apa, Tan. Randy memang kayak gitu orangnya. Aku udah terbiasa kok sama sikap cueknya itu,” ucap Rio sambil menepiskan senyumannya. “Lo mau balik atau masih ingin disini!” seru Randy dari depan pintu apartemen Rio. “Aku balik dulu ya. Maaf sudah mengganggu waktu kamu.” Rio menganggukkan kepalanya. Rayana lalu melangkah menghampiri Randy yang masih berdiri di depan pintu. “Ran, anter Tante Rayana sampai rumahnya. Lo gak mungkin nurunin cewek di pinggir jalan kan?” “Cerewet, lo! Gue balik dulu!” pamit Randy lalu melangkah pergi. Rayana menatap Rio lalu tersenyum. Rio membalas senyuman Rayana. Rayana bergegas mengejar Randy. “Kamu gak sopan ya! malu-maluin tau gak! Masa datang-datang cuma untuk numpang makan!” omel Rayana sambil terus mengikuti langkah kaki Randy. Randy tak menggubris omelan Rayana. Ia masuk ke dalam lift yang sudah terbuka. Rayana tak menyangka, Randy akan mengantarnya sampai di depan rumahnya. “Makasih ya kamu udah mau antar aku sampai rumah.” “Hem, meskipun gue gak terlalu suka sama lo. Tapi, gue juga gak mungkin nuruni anak orang di pinggir jalan.” Randy lalu menstarter motornya. “Tapi asal lo tau. Semua ini gak gratis,” ucapnya sambil menyunggingkan senyumannya. Kedua mata Rayana seketika langsung membulat. “Maksud kamu? kamu minta bayaran gitu?” “Lo pikir di dunia ini ada yang gratis!” Sialan! Aku pikir dia masih punya hati nurani. Tapi ternyata .... Rayana lalu mengambil dompet dari dalam tas selempangnya. Ia lalu mengambil selembar lima puluh ribuan. “Segini cukupkan?” tanyanya sambil mengulurkan uang itu kepada Randy. “Lo pikir gue butuh duit lo?” “Terus mau kamu apa?” Randy menatap Rayana dari ujung kaki sampai ujung rambut. Rayana melihat kemana arah tatapan Randy. Seketika ia langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. “Jangan macam-macam ya!” Randy tertawa. “Dasar! Pikiran lo kotor!” Randy lalu mematikan motornya. “Kenapa lo begitu ingin jadi guru privat gue?” tanyanya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Karena mama kamu yang memintanya.” “Berapa duit nyokap gue bayar lo?” “Kenapa?” “Gue akan bayar lebih dari yang nyokap gue janjikan sama lo. Tapi, dengan satu syarat.” “Maksud kamu?” tanya Rayana yang belum bisa mengerti maksud ucapan Randy. “Jangan jadi guru privat gue. Gue akan bayar lo sebagai gantinya.” Gila! dia pikir aku mau gitu terima tawaran dia. “Gak! Kamu harus tetap mau aku bimbing belajar. Besok aku akan datang ke rumah kamu lagi. Terima kasih untuk tumpangannya.” Rayana lalu membuka pintu pagar rumahnya. Ia lalu melangkah masuk ke halaman rumahnya. Menutup kembali pintu pagar itu. “Pulanglah. Kasihan mama kamu pasti saat ini sedang mengkhawatirkan kamu di rumah,” ucapnya lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju rumahnya. Randy menatap kepergian Rayana. Mana mungkin Mama mengkhawatirkan aku, yang ada dalam pikiran Mama hanya kerja dan kerja. Randy menghela nafas panjang. Ia lalu mulai menstarter motornya dan melajukan motornya pergi dari depan rumah Rayana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD