Club bahasa Chinese bubar tepat pukul dua siang hari, anggotanya langsung keluar dari ruangan. Ada yang ingin langsung pulang, ada yang masih ingin stay di kampus dan ada juga yang malah melamun di depan ruangan club. Nah, yang terakhir itu hanya satu orang. Siapa lagi kalau bukan Jovan?
Cowok yang saat ini menutupi kepalanya menggunakan tudung hoodie itu menatap hamparan tempat parkir yang dikelilingi oleh pohon pucuk merah membuat suasana nya cukup teduh. Pikiran Jovan melayang-layang, dia rindu suasana rumahnya.
Dimana dia bisa bermain sepuasnya dengan ketiga adik-adiknya. Cowok itu menghela nafas, ini semua gara-gara kedua orang tuanya yang terus saja memaksa Jovan untuk segera masuk Universitas dan tidak menunda-nunda pendaftaran, padahal dia kan masih ingin bermain.
Juga, karena Jovan selalu merasa bersalah pada seseorang yang telah lama hilang.
“Ingat, Jovan. Diantara keempat anak Papa, kamu yang paling dewasa. Adik-adikmu masih kecil, Papa hanya bisa berharap sama kamu sekarang. Kamu akan menjadi penerus bisnis keluarga” ucapan Papa nya masih melekat di pikiran Jovan, menjadi anak pertama tak seenak yang dipikiran orang-orang.
"Tapi, masih ada kakak, Pa"
"Kakakmu sudah nggak ada, jangan ungkit-ungkit dia lagi didepan Papa, kamu mengerti?"
“Padahal gue kan pengen jadi astronot, eaaaa” cowok itu cekikian sendiri, dia hanya bercanda. Deheman seseorang membuat atensi Jovan tercuri, dia mendongak dan mendapati Dea teman se club nya. Dea dan Jovan kenal saat pertama kali mereka bergabung di club.
Dea itu cantik, dia punya darah asia timur. Kulitnya putih cerah, matanya agak sipit, Dea juga punya senyum yang manis.
“Eh, ada Dea.”
“Ngelamun mulu dari tadi, kayak orang banyak beban aja” celetuk Dea sembari terkekeh, Jovan hanya menanggapi dengan senyum mengembang. Sebenarnya Jovan itu bukan tipe cowok cuek, dia humble dan ya biasa saja seperti kebanyakan cowok normal lainnya.
Jovan hanya akan bertindak menyebalkan kalau berhadapan dengan si kembar Kinara dan Kayana. Ah, lupakan kembar itu dulu, dan mari fokus ke Dea. “De, duduk deh” Jovan menarik lengan Dea supaya gadis itu duduk. “Lo anak ke berapa di keluarga?” tanya dia tiba-tiba.
Dea mengerjap, wajah Jovan terlalu dekat dengan wajahnya membuat dia jadi gugup sendiri. “Ke.. tiga.” jawab gadis itu seraya mengacungkan ketiga jarinya. "Gue anak terakhir"
Jovan mengangguk-angguk, "Pasti enak ya, De, jadi anak terakhir. Nggak perlu berusaha keras buat keluarga."
"Sembarangan! Justru jadi anak terakhir itu nggak enak, Jo. Lo bakal di kengkang, nggak boleh ini, nggak boleh itu. Contoh kakak ini, contoh kakak itu. Pokoknya hidup lo bakal diatur-atur terus sama mereka"
Jovan menunduk lesu, bahunya merosot. Ternyata jadi anak itu tidak enak, apa sebaiknya dia jadi orang tua saja ya sekarang? Dengan kata lain Jovan harus menikah. Ah, tapi dia belum kepikiran untuk menikah di usianya yang masih sangat muda.
"Emang nya lo lagi ada masalah sama keluarga ya?" tanya Dea hati-hati.
“Bukan masalah sama keluarga, De. Tapi masalah sama diri sendiri, setelah gue pikir-pikir gue tuh orang yang nggak bisa bersyukur." Jovan memulai membuka suara, entah kenapa dia malah mengadakan sesi curhat dengan Dea. "Gue anak kedua di keluarga, gue punya tiga adik yang masih kecil juga seorang kakak. Kedua orang tua gue menaruh harapan besar sama gue buat nerusin bisnis keluarga. Sementara gue punya cita-cita sendiri."
"Kakak lo?"
"Em.. tapi jangan bilang siapa-siapa ya, ini rahasia. Cuma lo dan gue yang boleh tau"
Akhirnya, Jovan menceritakan tentang kakak nya kepada Dea. Gadis itu mendengarkan dengan seksama, semilir angin menemani kedua anak manusia yang tengah membagi sebuah kisah masa lalu.
Dea terdiam, dia menangkap aura kegelisahan dalam diri Jovan, teman barunya. Setelah Jovan menyelesaikan sesi ceritanya, Dea memberikan tanggapan.
“Lo nggak sendiri kali, abang-abang gue juga sama kayak lo harus nerusin bisnis yang sudah dirintis sama keluarga, seharusnya lo bersyukur karena nggak perlu memulai dari awal. Lagian ya, Jo, gue mikir nya gini. Bukannya lebih enak ya, masa depan mereka terjamin dan nggak perlu susah-susah cari kerja, mereka tinggal jalanin dan ngembangin apa yang sudah ada”
"Dan soal kakak lo, oke kita bisa anggep dia udah nggak ada. Dan sekarang posisi lo emang jadi anak tertua mereka yang harus punya tanggung jawab"
“Yah itu mah pemikiran lo, De. Sementara gue pengen ngelakuin apa yang gue suka dan nggak terus berada di jalan yang udah mereka siapin. Tapi, sebelum kakak gue pergi dia pernah ngomong gini ke gue. 'Lo harus nurut sama bokap dan nyokap, mereka yang udah gedein lo sampe bisa kayak sekarang. Lo boleh benci sama gue, tapi lo nggak boleh benci sama mereka'”
“Rumit-rumit..” Dea menggeleng-gelengkan kepalanya, "Lagian ini juga salah lo sih, lo yang bikin kakak lo pergi. Coba kalo enggak, pasti lo nggak bakal se tertekan ini"
"Penyesalan emang datang diakhir, De."
"Ya kalo di awal namanya pendaftaran, bukan penyesalan"
Jovan menatap gadis yang ada disampingnya itu, lantas terkekeh. Dea pun tertular, gadis itu menepuk-nepuk pundak Jovan bersahabat, “Gimana kalo kita makan aja, Jo. Biar lo nggak stres-stres amat.”
“Hm, boleh juga”
"Tapi lo yang traktir ya?"
"Dih ngelunjak, tapi.. okelah"
(^_^)(^_^)
Danu sudah lima belas menit menunggu Kinara yang tak kunjung bergerak dari bangkunya, bahkan satu dua teman Kinara tak segan-segan menawari untuk ke kantin bersama, tapi selalu mendapatkan tolakan dari Nara.
“Nar, lo kenapa sih lesu banget dari tadi?" tanya Danu.
Fyi, Danu tidak sekelas dengan Kinara. Cowok itu juga sempat ke kantin tadi, tapi dia tak melihat keberadaan Kinara. Alhasil, Danu tidak jadi makan dan memilih untuk mengunjungi Kinara di kelasnya. Padahal, kalau hari biasanya Nara-lah yang paling semangat ke kantin.
“Nggak papa.” hanya itulah jawaban yang Nara berikan sedari tadi. Danu menghela nafas, dia mencoba mengingat apa hari ini Kinara tengah datang bulan? Tapi baru seminggu yang lalu Nara datang bulan, lantas apa yang membuat gadis itu bad mood seperti ini?
“Nara lo marah sama gue? Gue ada salah apa sama lo? Gue minta maaf."
Kinara menatap sosok Danu yang ada di depannya, gadis itu menggeleng, Danu tidak membuat kesalahan apapun. “Bukan gitu, Dan. Gue cuma kepikiran sama Kayana aja. Gue takut dia kenapa-kenapa” Kinara juga heran, sejak kapan dia overthinking mengenai Kayana sampai seperti ini. Danu menghela nafas, “Lo takut kakak lo di apa-apain sama Chelsea??”
Gadis berambut bob itu mengangguk, Danu mengeluarkan ponselnya. Dia mendial nomor ponsel Chelsea, nada sambung ke dua panggilan mereka berdua langsung terhubung. “Kenapa, Dan?” tanya Chelsea to the point. Danu menyalakan loudspeaker nya
“Lo dimana?”
“Di sekolah lah.”
Suara Chelsea terdengar oleh Kinara yang saat ini tengah menatap Danu. “Lo nggak bikin ulah kan?” tanya Danu pada Chelsea, gadis itu mendengus di seberang sana. Pertanyaan macam apa itu? Pikir Chelsea. “Ya nggak lah—“
Ucapan gadis itu terpotong saat sebuah suara terdengar seperti jeritan, hati Kinara langsung mencelos saat mengetahui kalau itu adalah suara kakaknya.
“Lepasin gue!! Chel, stop! Jangan lagi, gue mohon sama lo!!”
"Diam!!" bentak Chelsea seraya menjauhkan ponselnya.
Lagi, itu suara Kayana.
Kinara dan Danu terdiam mendengarnya, Chelsea tanpa berkata apapun lagi langsung mengakhiri sambungan teleponnya. Kinara menatap Danu, “Gue harus melihat keadaan, Kayana, Dan”
Tanpa menunggu persetujuan dari Danu, Kinara langsung melesat keluar kelas. Danu berteriak, “Nara berhenti, Nar!!” cowok itu mengejar Kinara, dia tak mungkin membiarkan pacarnya pergi sendirian.
Di koridor, banyak pasang mata yang menatap Danu serta Kinara, Danu menyambar lengan Kinara membuat langkah kaki gadis itu terhenti. “Berhenti, Nar. Gue tau lo khawatir sama Kayana. Tapi—“
“Nggak ada tapi-tapian, Danu!!”
Bentakan Kinara membuat Danu sadar kalau rasa sayang Kinara terhadap Kayana begitu besar. Akhirnya Danu menarik lengan Kayana, menyeretnya menuju ke suatu tempat. “Gue temenin lo ke sekolah Kayana”
Kinara menurut, langkah kaki mereka menuju halaman belakang sekolah. Danu membuka gerbang kecil yang tidak terkunci lantas mengajak Kinara keluar lewat situ. Ada sebuah warung kecil tempat nongkrong anak-anak yang punya kebiasaan bolos, Danu pergi ke warung itu.
“Van, gue pinjem motor lo bentar.”
Tanpa menunggu persetujuan Evan, Danu memberikan helm ke arah Kinara dan langsung menyuruh gadis itu naik. Evan adalah teman sekelas Danu, “Jangan lupa uang bensin nya, Dan”
“Beres.” Jawab Danu singkat.
Motor yang Danu kendarai langsung melesat, Kinara tak henti-hentinya mengkhawatirkan keadaan Kayana. Awas saja gadis bernama Chelsea itu, Kinara akan membalasnya. Dia tiba-tiba teringat beberapa hari yang lalu, ada akun yang menebar kebencian di kolom komentar Kayana, ah, Kinara tau sekarang kalau itu adalah Chelsea.
“Danu, lo tau sikap gue, 'kan? Kalo nanti gue kelepasan terus nyakitin saudara lo, gue minta maaf.”
“Lo nggak perlu minta maaf, Nar. Gue tau Chelsea salah dan lo pantes kasih pelajaran buat dia."
"Lo nggak akan benci gue atau mutusin gue kan, Dan?"
Danu menggeleng, dia tidak mungkin melakukan itu. Danu begitu menyayangi Kinara, gadis itu lega sekarang. Setidaknya dia bisa menghajar Chelsea tanpa khawatir Danu akan marah nantinya.
Kinara bersyukur, dia punya pacar sedewasa Danu. Cowok itu juga yang paling mengerti tentang keadaan Kinara. Lima belas menit kemudian mereka sampai, “Pak, pak” panggil Kinara saat mendapati Pak Suraya hendak pulang karena pergantian shift jaga.
“Eh, si eneng.”
“Pak, bantuin saya dong pak. Saudara saya lagi dalam masalah di dalem, biarin saya masuk ya pak”
Pak Suraya terdiam, kenapa dia terus terlibat dalam urusan anak muda yang rumit ini? “Aduh neng, bapak nggak berani. Tapi,..” pak suraya mengeluarkan sebuah kunci dan menyerahkannya kepada Kinara.
Pria itu mendekatkan wajahnya sebari berbisik, “Eneng lewat belakang, jangan sampai ketahuan.”
Senyum di wajah Kinara mengembang, “Makasih, Pak.”
“Sama-sama, bapak pulang dulu”
Kinara naik kembali ke atas motor, Danu segera membawanya ke belakang sekolah. Disana juga ada sebuah warung, ah, kenapa sih setiap sekolah punya warung di belakangnya? Sengaja banget buat menggoda para murid yang suka bolos.
Menitipkan motor disana, Danu dan Kinara berjalan mendekat ke arah gerbang. Kinara kesusahan membuka gembok itu, tapi sekalinya bisa langsung rusak. Mereka berdua lantas bertatapan. "Gue nggak peduli, ayo!" Nara menarik lengan Danu untuk segera masuk.
Danu mengedarkan pandangan, tidak ada siapapun. “Ayo, lewat sini.”
“Dan, kita kan nggak tau dimana mereka”
“Kita cari aja dulu, Nar. Tapi jangan sampai ketahuan”
Menyusuri belakang gedung-gedung, Kinara dan Danu terus mencari dimana Kayana dan Chelsea berada sampai pada akhirnya mereka mendengar sebuah suara isakan tangis. Dan beberapa langkah kemudian, Kinara menatap pemandangan yang begitu memilukan.
“Kay..” lirih nya.
Mereka semua yang ada disana menoleh, dan kaget saat mendapati Danu serta Kinara. Chelsea bahkan tak menyangka mereka berdua akan nekat datang ke sekolahannya. Gadis itu berjalan setenang mungkin mendekati kakaknya, netranya terpaku pada lebam di pipi Kayana, jemari lentik Kinara mengusap air mata Kayana. “Siapa yang bikin luka ini, Kay?” tanya Kinara lirih, giginya bergemeletuk. Amarah sudah siap dia ledakan sekarang juga.
Kayana tak menjawab, Kinara memegang kedua bahu kakaknya, “Jawab gue siapa yang bikin lo terluka kayak gini?”
Kali ini Kayana tak bisa mengelak, dia menunjuk ke salah satu dari lima gadis yang ada disana. Kinara berbalik, menatap gadis berambut sebahu dengan hidung kecil yang mancung, pipinya chubby dan terdapat lesung pipi.
Kinara melangkah mendekat, “Lo yang bikin kakak gue terluka?”
Gaby nama gadis itu, mengangguk dengan angkuh. “Iya! Gue—“
PLAK!!
Gaby memegang sebelah pipinya dan menatap nyalang ke arah Kinara. "Lo--"
PLAK!!
Tamparan Kinara melayang lagi, kedua pipi mulus Gaby sudah kena tamparannya semua. Kinara menampar bolak balik Gaby bahkan sebelum gadis itu membuka mulutnya. Gaby langsung jatuh terduduk, dia merasakan perih di kedua pipinya. “Berani banget lo nyakitin temen gue?! Apalagi lo sampai menyusup ke sekolah gue!”
Chelsea menderap ke arah Kinara dengan amarah yang menggelora, gadis itu spontan menjambak rambut pendek Kinara membuat sang empu meringis, Kinara tak memberikan kesempatan Chelsea untuk menyakiti dirinya lebih lama, tangan kanan Kinara menepis tangan Chelsea hingga terlepas dari rambutnya, sementara tangan kiri Kinara yang masih bebas bergerak langsung menampar pipi Chelsea, tak berhenti disitu Kinara juga menjamak rambut Chelsea dengan penuh emosi membuat sang empu menjerit kesakitan, melihat kebrutalan Kinara teman-teman Chelsea tak ada yang berani mendekat.
“Lo denger baik-baik ya, Chelsea. Sekali lagi lo berani siksa Kayana, lo akan dapat rasa sakit yang lebih daripada ini.” Kinara menarik rambut Chelsea semakin kencang membuatnya terpaksa mendongak agar sakitnya tidak keterlaluan, gadis itu terus berteriak meminta bantuan kepada Danu yang hanya diam menonton.
“Dan buat kalian, antek-antek nya Chelsea." Kinara menatap satu persatu teman Chelsea yang ketakutan. "Gue nggak akan segan-segan nyakitin kalian juga kalo sampai kalian sentuh Kayana sedikit aja.”
Setelah itu Kinara mendorong tubuh Chelsea hingga membentur tembok, dia tak peduli kalau Chelsea itu adalah saudara Danu, toh Danu juga sudah bilang dia nggak akan marah kalau Kinara bersikap kasar pada saudaranya.
Kinara merengkuh tubuh Kayana, membawanya pergi dari tempat itu. Danu menatap Chelsea dengan sorot mata tajam, "Gue bener-bener nggak nyangka sama lo, Chel."
"Danu, gue bisa jelasin. Lo jangan lapor ke Papa sama Mama plis."
Danu hanya menarik sudut bibirnya, dia pergi begitu saja menyusul Kinara dan Kayana.
Tujuan mereka bukan UKS, melainkan warung belakang sekolah. Kinara membiarkan Kayana duduk. Ibu penjaga warung datang dan kaget saat melihat keadaan Kayana. “Bu, ada es batu nggak?”
“Ada neng, sebentar ya”
“Sekalian sama kain nya kalo ada bu”
Kayana masih setia dengan kebisuan nya, Danu mengambil dua botol minuman dingin. "Minum dulu, Nar. Biar emosi lo nggak panas terus"
Nara mengangguk, "Thanks, Dan." Kinara menoleh ke arah Kayana yang menunduk, “Mana lagi yang luka?” tanya Kinara, Kayana hanya menjawabnya dengan gelengan, tanda kalau tidak ada yang terluka selain pipinya.
Kinara menghela nafas, si ibu datang dengan es batu dan kain dalam baskom. “Kenapa lo diem aja pas mereka ngebully lo sih? Emangnya lo nggak bisa ngelawan apa?”
“Gue cuma nggak mau bikin masalah di sekolah, Nar."
Kinara menggertakan gigi-giginya, “Mendingan lo bilang ke Papa buat pindah sekolah.”
Terbesit keinginan itu, apalagi kalau Kayana menceritakan apa yang selama ini ia alami saat bersekolah disini. Tapi ada satu hal yang membuat Kayana mengurungkan niat itu, alasannya karena dia tidak ingin meninggalkan cermin aneh yang ada di gudang. Entah kenapa cermin itu seperti punya magnet yang selalu menarik Kayana untuk selalu datang kesana.
“Nggak usah lah, Nar. Gue nggak papa kok.”
“Dasar naif!”
Dengan telaten Kinara mengompres wajah Kayana, “Thanks ya tadi udah nyelamatin gue. Dan.. Danu, gue minta maaf kalo Nara udah sakitin Chelsea tadi”
“Nggak papa, Kay. Chelsea pantas dapetin itu semua. Lo nggak perlu merasa bersalah, Nara yang ngelakuin aja nggak merasa bersalah kok."
Nara menatap Danu, tersenyum.