17 - KISAH DUA ALAM

2532 Words
“Pengangkatan Bhanu sebagai raja sudah dilakukan, sulit untuk menyingkirkannya.” Arya bergumam sembari mengelus dagunya dengan pelan, ia sudah berusaha sebesar mungkin untuk membuat buruk citra Bhanu, juga sering mencari-cari kesalahan pria itu tapi berujung kegagalan. Kini Bhanu sudah sah menjadi raja secara hukum dan aturan, jika sampai Arya gegabah untuk mengambil tindakan menjelek-jelekkan nama Bhanu lagi, maka hukuman pantas untuk didapatkan. Jabatan Bhanu sudah sangat tinggi, maka semakin susah untuk menyingkirkannya. “Selama ini Anda hanya berusaha menjelekkan namanya, tapi pernahkah Anda berpikir bahwa siapapun di dunia ini pasti memiliki celah kesalahan dan bisa digunakan untuk menjatuhkan namanya?” Praduga, penasehat kerajaan berusia limapuluh tahun itu memincingkan matanya sambil tersenyum miring. Arya Sengkali mengerutkan kening bingung karena tak paham dengan yang diucapkan penasehat istana itu. “Maksudmu?” Praduga berjalan mendekati Arya. “Pangeran Arya pasti tahu betul maksud saya. Semua makhluk di dunia ini tidak luput dari kesalahan, daripada hanya menjelek-jelekkan namanya saja lebih baik sekalian Anda mencari tahu titik kelemahan Raja Bhanu.” Senyuman miring terbit dari bibir Arya, apa yang dikatakan Praduga memang masuk akal. Selama ini ia hanya fokus menjelekkan nama Bhanu saja, tidak pernah terpikirkan untuk mencari titik kelemahan pria itu. Pasti ada hal besar yang menjadi kunci kerapuhan pria itu, entah siapa dan di mana yang pasti Arya yakin dengan itu ia bisa menjatuhkan Bhanu. “Kamu benar, tapi harus dari mana mencari kesalahannya?” Praduga, ia adalah penasehat yang dipercaya oleh Raja Mahatma, tapi ia berkhianat diam-diam dan ingin membelot melawan raja saat itu. Praduga tidak puas dengan kepemimpinan Mahatma, untuk itu ia bergabung bersama Arya Sengkali untuk merebut takhta dari tangan keturunan Mahatma, yakni Bhanu Cakrwabuwana. “Beberapa hari ini saya diam-diam meminta pengawal pribadi untuk memata-matai Raja Bhanu, ia terlihat bolak-balik melewati portal untuk menuju ke alam manusia.” Praduga memberitahukan pada Arya mengenai hasil pengamatannya selama ini. “Alam manusia? Ada urusan apa dia ke sana, bukankah Paman Mahatma melarang bangsa kita untuk mendekati portal itu jika bukan dalam keadaan mendesak?” tanya Arya. Praduga mengangguk membenarkan. “Itu lah yang membuat saya curiga, mustahil jika Raja Mahatma tidak mengetahui bahwa putranya sendiri sering melewati portal, tapi kenapa ia seolah-olah membiarkan saja.” “Lalu apa yang kamu temukan mengenai alam manusia?” “Mata-mata saya tidak berkata banyak, ia hanya berani mengintai Raja Bhanu sampai di perbatasan portal, karena jika sampai ketahuan maka tidak ada ampun.” Praduga meringis kecil, sayangnya mata-mata yang ia suruh tidak memiliki keberanian yang cukup untuk mengekori Bhanu sampai alam manusia. Andai saja itu terjadi, maka sudah dipastikan kegiatan Bhanu di sana akan diketahui oleh mereka. Arya menipiskan bibirnya, cukup kesal pada Praduga karena memberikan informasi setengah-setengah. “Tapi saya sangat yakin bahwa Raja Bhanu memiliki rahasia di sana, pasalnya ia selalu ke sana di tengah malam saat semua bangsa kita sibuk dengan urusan masing-masing. Selain itu, gerak-geriknya juga mencurigakan seolah tengah menyembunyikan sesuatu,” tambahnya. Arya sedang mencerna informasi Praduga dengan rinci. Akhir-akhir ini Bhanu memang tak pernah menanggapi provokasinya, pria itu terkesan mengabaikan saja, padahal sejak dulu keduanya sangat suka bersaing dalam segala hal. Apa yang membuat Bhanu sibuk sehingga mengabaikan dirinya? Cukup aneh dan mencurigakan. Sejak dua tahun yang lalu Bhanu mulai menjauh dari istana dan memilih untuk pergi dengan alasan memperdalam ilmunya. “Praduga, apa kamu tahu ilmu apa yang Bhanu dalami selama dua tahun ini?” tanya Arya pada Praduga. Praduga langsung ingat dengan suatu hal. “Ini juga yang ingin saya sampaikan pada Anda, selama ini kita tahu bahwa dua tahun terakhir Raja Bhanu mendalami ilmu sehingga tak kembali ke istana. Namun, fakta lain sangat mengejutkan.” Arya memutar bola matanya jengah. “Katakan langsung, jangan berbelit-belit.” “Tidak ada kemajuan yang signifikan dari ilmu Raja Bhanu, masih sama seperti sebelumnya.” tukas Praduga. Hal ini semakin memperkuat pemikiran Praduga bahwa selama ini Bhanu tidak benar-benar memperdalam ilmunya, melainkan melakukan pekerjaan lain. “Jadi maksudmu Bhanu tidak benar-benar mendalami ilmunya?” Praduga mengangguk sebagai jawaban, mengenai apa yang dilakukan Bhanu selama dua tahun terakhir pun ia belum mengetahui alasan di balik itu. “Baiklah kalau begitu, sepertinya ada rahasia besar yang sepupuku sembunyikan, sudah kewajibanku untuk mencari tahu dan menjadikannya sebagai boomerang untuk menjatuhkannya.” Arya melipat tangannya, bibirnya terukir seringaian tipis. “Izinkan saya untuk membantu Anda, Pangeran Arya!” Praduga sudah bertahun-tahun bekerja sebagai penasehat hukum Raja Mahatma, tapi ia tidak puas dengan jabatannya, untuk itu lah ia bersedia menjadi komplotan Arya. Ketika Arya Sengkali sudah menjadi raja menggantikan keturunan Mahatma, maka Praduga pun akan mendapatkan jabatan tinggi. “Pasang mata-mata di portal menuju alam manusia, selain itu suruh anak buahmu yang pemberani untuk mengikuti Bhanu sampai sana, kita harus mengetahui apa yang dilakukan Bhanu.” Praduga membungkuk dengan hormat. “Baik, Pangeran. Saya akan melakukan pekerjaan sebaik mungkin, semoga kita segera mendapatkan kelemahan dari Raja Bhanu.” Ketika mereka sudah mengetahui rahasia yang disembunyikan Bhanu, maka dengan mudah Arya akan menggunakan itu sebagai senjata agar Bhanu menyerahkan takhtanya. Pemikiran yang klasik nan licik! “Tunggu dulu,” lontar Arya. Praduga yang mulanya hendak pamit undur diri pun menghentikan langkahnya, lalu berbalik kembali menghampiri si empunya suara. “Bhanu memiliki pengawal kepercayaan yang sangat setia menjaganya, jika ingin mengikutinya maka jauhkan Bhanu dari Damar.” Ia tahu betul bagaimana kemampuan Damar dalam menjaga tuannya, Damar adalah pengawal yang sangat teliti dan cekatan, bahkan kepiawaiannya pun melebihi sang tuan. Damar memiliki ilmu yang tanggap, dengan cepat dapat memergoki siapapun yang tengah memata-matai ataupun ingin mencelakai tuannya. “Saya mengerti, hampir saja melupakan pria itu.” Praduga tidak senang dengan kehadiran Damar di sisi Bhanu, pria itu sangat merepotkan baginya. Sementara itu di alam manusia, hari ini Elin disibukkan dengan pesanan roti dari Venda, sejak pagi-pagi sekali ia sudah berkutat di dapur. Sesekali Elin menilik anaknya yang anteng di box bayi, Manggala selalu tenang ketika diajak bekerja, anak itu memang tak pernah rewel sampai menyusahkan sang ibu. “El, ini tadi margarinnya udah belum?” tanya Venda muncul dari balik pintu kulkas. Ya, Venda juga berinisiatif untuk membantu temannya itu. Hari ini pondok praktisi ruqiyahnya sedang tutup, maka dari itu Venda menggunakan kesempatan ini untuk ke rumah Elin bantu-bantu. “Belum, kasih aja kayak biasanya.” “Oke,” jawab Venda. Karena pesanan yang membludak akhirnya Elin pun tak membuka tokonya. Ini saja sudah kerepotan, apalagi jika ditambah membuka toko, Elin tidak sanggup. “El, anak kamu anteng banget.” Sahut Venda di sela-sela mengoleskan margarin di atas roti yang tengah dipanggang. “Iya, Manggala emang nurut diajak kerja,” balas Elin sambil terkekeh ringan. “Bagus, anak pinter.” Mereka berdua sibuk berkutat dengan dapur hingga beberapa jam, Elin dan Venda juga tak banyak bicara setelah fokus menyelesaikan roti panggangnya. “Fyuh, akhirnya selesai juga.” Terakhir, Venda mengangkat Loyang dari api panggangan, lalu diletakkan pada meja dapur. “Udah biarin aja dulu, kamu istirahat gih.” Ucap Elin. Venda menganggukkan kepala sebagai jawaban, ternyata membuat roti juga tak semudah yang ia kira, cukup rumit dan melelahkan. “Jadi, gimana? Masih mau jadi pengusaha roti atau berkutat dengan praktisi ruqiyah kamu?” Elin bertanya dengan kekehan pelan, sebelah alisnya juga terangkat untuk menggoda gadis itu. Venda mendengus pelan lalu berkata, “Enak nikah aja ada yang nafkahin, nggak usah susah payah cari duit.” Mendengar jawaban Venda membuat Elin tertawa pelan. “Ya udah buruan nikah gih, aku mau liat teman aku jadi pengantin.” “Masalahnya adalah, belum ada jodohnya. Tiap kali ada pria yang deketin aku, mereka pasti langsung sungkan sama profil keluargaku. Aku merasa karena pondok praktisi ruqiyah ini membuatku jauh dari jodoh, arghh.” Gadis itu menuangkan air ke dalam gelasnya, lalu diminum hingga tandas tak bersisa. “Bukan gitu Ve, kamu hanya belum ketemu sama pria yang bener-bener terima kamu apa adanya. Jangan patah semangat ih, biasanya kamu yang lebih ceria dibandingkan aku.” Elin memberikan dukungan pada temannya. Melihat Venda yang memiliki keinginan untuk menikah namun belum menemukan jodohnya membuat Elin sedikit iba. “Kenapa nggak dicarikan sama Abah dan Umi kamu? Biasanya orang penting memiliki koneksi.” Venda bergidik ngeri. “Mangenai pasangan aku sendiri yang menentukan. Aku nggak mau Abah sama Umi yang cariin, ntar nggak jauh-jauh lagi dari ruqiyah dan sejenisnya.” Elin mengangguk-anggukkan kepalanya, jadi seperti itu. Saat keduanya tengah mengobrol, tiba-tiba saja telinga Venda bergerak merasakan adanya suara disekitarnya. Namun, pergerakan itu tidak dihasilkan dari tubuh manusia, melainkan ada makhluk lain yang ingin mendekat ke rumah ini. Sigap, Venda langsung berdiri dari duduknya untuk mendekat pada pintu yang diyakini sebagai tempat masuk sosok itu. Elin yang melihat Venda terburu-buru seperti itu membuatnya penasaran sekaligus takut, memangnya kenapa? “Ve, kamu ngapain?” tanya Elin yang juga ikut bangkit dari duduknya. “Kamu di sana aja, jaga Manggala, aku ngerasa ada aura dari makhluk gaib yang mendekat ke rumah ini.” Melihat Venda yang begitu panik, membuat Elin juga ikut resah. Buru-buru ia kembali ke dapur dan mengambil Manggala dari box bayinya, ia memeluk anaknya erat-erat. Venda tidak bisa melihat makhluk gaib dengan jelas, hanya saja kepekaannya sangat tinggi sehingga bisa mendeteksi keberadaan mereka. “Sial sekali, pagi-pagi udah ada hantu aja.” Ia menepuk pelan dahinya. Semakin kuat aura itu, semakin pusing dan lemas pula Venda. Ternyata daya makhluk itu sanggup membuatnya lemah, tapi ia tak mau menyerah begitu saja, Manggala dan Elin dalam bahaya. “Siapa kamu, kenapa datang ke rumah ini?” Venda bergumam dengan nada rendah, ia yakin bahwa makhluk itu pasti mendengar gumamannya. “BRAK!” Bunyi bedebum pintu terdengar sangat keras, Venda berusaha untuk membuka matanya yang sempat tertutup. Dilihatnya pintu utama rumah Elin terbuka dengan sendirinya, tidak ada angin ataupun hujan. Mata Venda menyipit dengan sempurna kala melihat asap yang amat tipis tepat berada di depannya, ia memperhatikan benda itu cukup lama hingga perlahan-lahan asap-asap tersebut berubah bentuk menjadi sosok tubuh. “Hahh, siapa kamu?” Venda langsung berjengkit kaget. Bagaimana tidak? Tepat di depannya saat ini berdiri sosok yang sangat asing di matanya, sosok itu muncul dari asap tipis tadi. Wajahnya cukup rupawan, fisinya tinggi tegap dan jangan lupakan pakaian yang ia kenakan, seperti prajurit kerajaan zaman dulu. Sementara itu di dapur, Elin mengkhawatirkan Venda, setelah ada bunyi bedebum keras tadi seketika tidak terdengar suara lagi. Elin menelan ludahnya susah payah, bagaimana jika terjadi suatu hal pada temannya? Di satu sisi Elin takut, tapi di sisi lain ia tak bisa hanya berdiam diri di sini. “Ve, ada apa?” Elin memutuskan untuk keluar memeriksa ke depan, langkahnya sangat pelan dan penuh kehati-hatian. Sontak saja matanya membulat terkejut kala melihat kejadian di ruang tamunya sana. “Damar, lepaskan dia.” Pekik Elin dengan cepat. Di sana Venda tengah dicekik oleh Damar, bahkan kaki-kaki Venda sudah tak menyentuh lantai lagi akibat tubuhnya ikut terangkat ke atas. Mendengar suara Elin membuat Damar menatap sekilas istri dari tuannya itu. “Dia temanku, jangan menyakitinya!” Lanjut Elin lagi, kali ini dengan penekanan penuh saat Damar hanya diam tanpa mau melepaskan tangannya yang mencekik leher Venda. Mendengar nada perintah Elin mau tak mau membuat Damar luluh, ia melepaskan Venda dan sedikit melemparnya ke belakang hingga terantuk pintu. “Uhuk-uhuk, hantu kurang ajar!” Venda terbatuk-batuk akibat tenggorokannya yang kesulitan mendapat pasokan udara, ia juga menyempatkan diri untuk memberikan u*****n pada Damar. Ya, itu adalah Damar. Ia datang ke sini untuk menyampaikan pesan Bhanu pada Elin, hanya saja saat ia tiba di sini justru lebih dulu bertemu dengan Venda. Awalnya Damar mengabaikan keberadaan gadis itu, tapi tanpa disangka Venda bisa melihatnya dan bahkan ingin mencelakainya dengan ayat-ayat kitab suci. Damar tidak memiliki cara lain untuk menghentikan Venda, ia tak terbiasa bernegosiasi dengan manusia apalagi wanita, oleh karena itu cara terbaik adalah dengan mencekiknya agar tak lagi melontarkan kalimat suci yang bisa membuat dirinya terbakar menjadi abu. Buru-buru Elin membantu Venda untuk berdiri. Ditatapnya Damar dengan tatapan permusuhan yang amat kental, Venda tak menyangka bahwa ini kali pertamanya bisa melihat hantu padahal selama ini hanya sebatas merasakan aura keberadaannya saja. Wow, sungguh tak terduga. “Dasar jin, beraninya mencekik ku.” Cecar Venda. Meski sering menangani pasien ruqiyah, tapi Venda sendiri belum pernah berhadapan langsung dengan sosok mereka. Biasanya ia hanya membantu membacakan doa-doa saja, selebihnya Abahnya lah yang berperang melawan makhluk gaib yang menjadi parasit di tubuh manusia. Seperti biasa, Damar akan menunjukkan ekspresi dingin dan kaku miliknya, ia sama sekali tak berurusan dengan Venda. Kedatangannya kali ini adalah untuk bertemu Elin atas perintah Bhanu. Elin juga menatap Damar dengan kesal, bahkan pria itu tidak memperlihatkan tampang menyesal karena sudah menyakiti Venda. “Kenapa kamu mencelakai temanku?” “Maaf, saya tidak sengaja untuk mencelakainya. Hanya saja saya tidak kuat mendengar ayat suci yang ia lantunkan,” balas Damar. Sementara Venda merengut masam, lehernya masih terasa sakit dan makhluk jadi-jadian itu mengatakan tidak sengaja? Enteng sekali mulutnya yang berdusta. “Heh, enak saja bilang nggak sengaja. Leherku sakit nih, kamu cekik aku dengan sekuat tenaga.” Hardik Venda. “Saya minta maaf,” sesal Damar. Venda ingin menyela lagi, tapi Elin menghentikannya. “Siapa sih hantu ini?” “Dia Damar, orang kepercayaan suamiku.” Venda menghela napas berat, setelahnya ia pun melenggang pergi dari sana memberikan waktu untuk Elin mengobrol dengan Damar. “Nyonya Elin, saya diperintah Raja Bhanu untuk memberikan Anda pesan.” Setelah melihat kepergian Venda, Damar pun segera mengatakan tujuannya datang ke sini. “Pesan apa?” “Raja Bhanu sudah diangkat menjadi pemimpin kerajaan, di awal memimpin beliau akan disibukkan dengan rancangan-rancangan baru dari masa kepemimpinannya. Beliau menitipkan gelang ini untuk Anda,” jelas Damar dan memberikan sebuah gelang untuk Elin. Gelang giok hijau zamrud, sangat indah dilihat mata. “Gelang ini bertujuan untuk melindungi Anda dari marahabaya, selagi Anda tidak melepaskannya. Akhir-akhir ini ada orang yang ingin mencari kesalahan Raja Bhanu, untuk itu beliau tidak bisa datang mengunjungi Anda, ditakutkan bahwa keberadaan Anda dan Pangeran Manggala diendus oleh mereka.” “Ohh begitu.” Elin menganggukkan kepalanya mengerti. Saat ini suaminya dalam posisi yang terhimpit, Bhanu sebisa mungkin harus menjaga rapat-rapat identitas dirinya dan Manggala. “Bagaimana kabar Pangeran Manggala?” Damar bertanya sambil melirik Manggala yang ada digendongan Elin. “Ia baik-baik saja dan semakin lincah. Katakan pada Bhanu, aku menjaga anak kami sebaik mungkin, biarkan dia fokus pada kewajibannya.” “Baik, Nyonya.” “Lain kali kalau datang ke rumah dan melihat temanku itu jangan menyakitinya lagi.” Damar terlihat merasa bersalah, selanjutnya ia mengangguk dan pamit dari sana. Elin harus lebih bersabar lagi, selama beberapa hari ini suaminya pasti belum bisa menemui dirinya. “Udah?” tanya Venda saat Elin kembali ke dapur. Elin duduk di kursi, wajahnya terlihat sendu. “Kenapa?” “Bhanu sudah menjadi raja di alamnya, kami tidak bisa leluasa untuk bertemu lagi. Apalagi kata Damar, ada orang yang ingin mencari-cari kesalahan Bhanu, suamiku tidak ingin keberadaan ku dan Manggala diketahui." “Ini pasti berat untukmu dan Manggala, tapi yang dilakukan suamimu juga ada benarnya. Ia ingin melindungi kalian,” hibur Venda. “Bhanu juga memberikan gelang ini sebagai perlindungan diri.” Elin memperlihatkan gelang giok itu. Mata Venda menatapnya lekat-lekat. “Woah, gelang ini memiliki aura yang sangat kental.” Gadis itu terperangah. Elin menatap gelang itu lama, dengan benda ini sedikitnya rasa rindunya terhadap Bhanu bisa terobati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD