Seorang pria tengah berdiri tegak menatap pantulan cermin di depannya, tubuhnya sudah terbalut oleh pakaian kebesaran yang ia kenakan untuk pengangkatannya sebagai raja selanjutnya.
Ia adalah Bhanu, tiba lah hari di mana Bhanu akan memikul tanggung jawab yang besar sebagai pemimpin di kerajaan alam gaib ini. Semua makhluk dari berbagai golongan akan tunduk di bawah pengawasannya, ia adalah anak satu-satunya yang mana tidak ada lagi penerus kerajaan selain dirinya sendiri.
“Hormat saya, semua hadirin sudah menunggu Anda.” Damar masuk ke dalam kamar junjungannya, tak lupa ia memberikan salam lebih dulu.
Bhanu melirik bawahannya lalu mengangguk pelan.
Ia berjalan menuju ke luar pintu melewati anak tangga yang mengular sampai bawah, setelahnya dilewati lorong-lorong yang terhubung dengan aula.
Di aula sana sudah ramai oleh para hadirin dari segala jenis makhluk. Mereka senang dengan pengangkatan raja baru, sebagian dari mereka menunjukkan rupa aslinya, sebagian lagi menggunakan kamuflase agar wajah buruknya tidak terlalu memalukan saat menghadiri acara yang terhormat ini.
Sesaat setelah Bhanu tiba di sana semua pasang mata langsung memandang dirinya, sudah sejak dari lahir Bhanu memang memiliki wajah yang cukup tampan, itu adalah wajah asli dan permanen, Bhanu tidak bisa berubah menjadi buruk rupa seperti makhluk gaib lainnya.
Wajah sempurna itu lah yang dikagumi oleh banyak orang, termasuk para pria-pria di sana. Betapa beruntungnya calon raja selanjutnya itu, dianugerahi fisik yang lengkap.
Mahatma juga ada di sana, ia tersenyum lebar melihat kehadiran putra semata wayangnya. Sedangkan Damar selalu mengekori ke mana pun tuannya pergi, seperti saat ini kala Bhanu menaiki panggung megah yang terbuat dari emas secara keseluruhan.
“Bhanu putraku,” sapa Mahatma. Wajah pria baya itu terlihat sumringah karena pada akhirnya ia bisa melepaskan jabatan ini pada sang anak, ia merasa sudah tua dan ingin menghabiskan waktunya untuk beristirahat tanpa memikirkan pemerintahan.
Sedangkan sang empunya nama mengangguk singkat membalas sapaan ayahnya.
Damar berdiri di ujung panggung itu, sementara matanya terus mengawasi para hadirin yang datang untuk berjaga-jaga jikalau terjadi kerusuhan di sana.
“Perhatian semuanya, pada malam hari ini kita berkumpul bersama di sini untuk menjadi saksi atas pengangkatan putraku Bhanu sebagai penerus kerajaan besar ini. Aku Mahatma melepaskan jabatanku sesuai dengan peraturan dan etika istana, dan menyerahkannya pada Bhanu yang mana adalah putraku satu-satunya, ia berhak mewarisi apa yang ku punya.” Mahatma melepaskan mahkota yang selama ini bersarang dikepalanya, lalu menyerahkannya pada sang anak.
“Putraku, Bhanu. Aku memberikanmu tanggung jawab yang besar untuk memajukan dan mengelola kerajaan alam gaib ini, semoga kamu diberikan kebijaksanaan dalam mengaturnya.”
Bhanu dipersilahkan untuk menerima mahkota kebesaran itu, ia menerimanya dengan lapang.
“Hari ini secara resmi dan sadar, aku melantik Bhanu Cakrabuwana sebagai raja selanjutnya.”
Tepuk tangan terdengar riuh, semua para hadirin sangat antusias menyambut raja baru mereka.
Wangsa Jaya selaku tetua istana pun memberikan Bhanu taburan bunga sebagai simbolis.
“Selamat atas pengangkatanmu, Nak. Semoga menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana, selalu sabar dalam menangani segala hal.” Wangsa memberikan ucapan selamat pada Bhanu, pria tua itu sangat tulus mengatakannya.
“Terima kasih atas bantuan-bantuan yang selama ini Paman Wangsa berikan, semua hal baik yang ku lakukan juga karena nasehat darimu.” Bhanu membalas ucapan Wangsa.
Wangsa menepuk pundak Bhanu untuk memberikan dukungan.
Sementara itu suara gamelan terus berdengung kala ditabuh beberapa kali, nyanyian-nyanyian perayaan terdengar sangat riuh. Malam ini adalah malam yang membahagiakan bagi para makhluk penunggu hutan pegunungan itu, mereka terus merayakan pemimpin baru dengan bersenang-senang.
Gendis menghampiri pria itu untuk memberikan ucapan selamat, dari semua orang yang hadir di sini, wanita itu lah yang sangat menantikan momen ini. Gendis berpikir saat Bhanu dilantik menjadi pemimpin maka butuh sosok istri untuk mendampingi, meskipun sudah ditolak berkali-kali tapi usaha Gendis untuk menjadi permaisuri tidak pernah surut.
“Ada yang ingin ku bicarakan padamu.”
Bhanu menoleh singkat mendapati sosok wanita yang sangat terobsesi padanya itu. Jujur saja Bhanu masih ingat perdebatannya dengan Gendis beberapa waktu silam, ternyata sampai detik ini Gendis tidak pernah menyerah.
“Maaf, aku harus menerima tamu,” balas Bhanu.
Saat pria itu ingin melenggang pergi dari hadapan Gendis, sontak saja wanita itu langsung meraih lengan Bhanu untuk menghentikannya.
“Tunggu dulu, tolong jangan menghindar dariku. Jika yang kamu cemaskan adalah kejadian beberapa hari lalu aku minta maaf, aku tak berniat ikut campur dalam urusanmu.” tuturnya.
Gendis menatap Bhanu dengan ekspresi memohon, manik matanya terlihat sendu. Hal ini membuat Bhanu akhirnya melonggarkan hatinya, tidak masalah untuk mengobrol sejenak pada Gendis.
“Baiklah,” tukasnya.
Mendengar jawaban dari Bhanu membuat wanita itu tersenyum cerah, keduanya memilih tempat yang jauh dari keramaian untuk mengobrol.
“Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Bhanu langsung blak-blakan.
“Aku ingin mengucapkan selamat untukmu, sekarang kamu sudah resmi menjadi raja di kerajaan alam gaib ini, seluruh makhluk patuh pada aturanmu.” Gendis tersenyum lebar, matanya menyiratkan antusiasme yang tinggi.
“Terima kasih,” balas Bhanu seadanya.
Gendis memilin-milin baju yang ia kenakan, suasana terasa canggung karena Bhanu juga tidak berniat memperpanjang pembahasan.
Sesekali Gendis mencuri-curi pandang ke arah pria itu, ia selalu kagum dengan Bhanu, pria yang dicintainya sudah sejak lama.
“Jika kamu perlu bantuan untuk mengatur istana, aku bisa membantumu.” Gendis menawarkan diri.
Bhanu sudah paham akan ke mana pembahasan itu berlabuh, namun yang pasti ia sudah menekankan pada Gendis bahwa mereka berdua takkan bisa bersatu.
“Terima kasih atas niat baikmu, tapi sudah ada Damar dan anggota istana lain yang bisa membantuku.” jawabnya, ia mengendikan bahunya pelan.
Sorot mata Gendis tampak kecewa, bibirnya terkatup dengan rapat.
“Sudah atau masih ada yang perlu dibahas lagi?”
Gendis menggelengkan kepala pelan, sulit sekali Bhanu membuka hati untuknya. Untuk sekadar mengobrol pun pria itu enggan berlama-lama, sebenarnya ada apa dengan Bhanu? Sepertinya dulu tidak pernah seperti ini, tapi sekarang Bhanu sungguh menjaga jarak aman padanya.
“Baiklah kalau begitu, aku permisi.”
Bhanu melenggang pergi dari sana, Gendis setia mengamati punggung pria itu hingga hilang ditelan oleh belokan. Wajah cerianya yang sejak tadi ia pertahankan pun meluntur, ekspresinya amat sendu dan menyedihkan.
Sementara itu tak jauh dari tempat itu ada Arya Sengkali yang sejak tadi memang sengaja mengekori keduanya. Siapa pun yang melihat pun bisa menebak bahwa Gendis sangat mencintai Bhanu, tatapannya sangat menyentuh dan melankolis.
Namun, sayang sekali Bhanu tak tertarik dan justru terkesan mengabaikan Gendis.
Arya menghampiri wanita yang tengah patah hati itu.
“Masih mengejar cintamu yang tak berbalas itu?” sindirnya.
Gendis tersentak, buru-buru ia menghapus air matanya yang sempat mengalir.
“Menyedihkan sekali, saat dirimu sangat mencintainya justru Bhanu mengabaikannya.” Arya mengembuskan napas kasar.
Gendis mendelik tidak suka, kenapa tiba-tiba saja Arya ada di sini. Dan apa tadi? Ternyata Arya mengetahui percakapan di antara mereka, itu berarti ia sengaja menguping.
“Jangan ikut campur urusanku,” tekannya.
Bukannya tersentak, Arya justru ingin bermain kata-kata dengan Gendis.
“Kamu terlalu naif untuk menjadi wanita yang mencintai Bhanu. Apa selama ini kamu tidak merasa aneh? Kenapa Bhanu terus menolakmu, besar kemungkinan karena adanya wanita lain.” Arya menyeringai di akhir kalimatnya.
Tubuh Gendis menegang. Selama ini ia tidak pernah berpikir sampai sana, karena tahu bahwa Bhanu tidak dekat dengan satu pun wanita di alam ini.
“Tutup mulutmu, jangan mengada-ada.” Gendis sangat geram terhadap Arya, ia tahu betul bagaimana liciknya pria itu untuk merebut tahta kerajaan ini dari Bhanu.
“Hahaha, terserah saja padamu. Ahh ya aku mempunyai penawaran untukmu, bekerja sama lah denganku maka kita bisa mencapai keinginan masing-masing.” Arya berbisik di telinga Gendis saat mengatakan kalimat terakhirnya.
Mata Gendis mendelik tajam, bibirnya mencebik dengan sempurna.
“Bekerja sama denganmu untuk menjatuhkan Bhanu, maksudmu? Tcih, aku tidak sudi.”
Arya memasang tampang menyedihkan, ia juga cemberut.
“Tidak perlu buru-buru mengambil jawaban, aku akan tetap menunggu ketersediaanmu itu.”
Setelah berkata demikian, Arya pun pergi dari sana. Meninggalkan Gendis yang sedang berperang dengan pemikirannya sendiri, tiba-tiba saja perkataan Arya mengenai Bhanu yang memiliki wanita lain pun berputar bagai kaset rusak di otaknya.
“Tidak mungkin Bhanu memiliki wanita lain, selama ini dia tak pernah terlihat mencintai orang lain.” Gendis berusaha menanamkan pemikiran positif.
Ia yakin bahwa perkataan Arya mungkin hanya hasutan agar dia berpikiran buruk terhadap Bhanu, lalu setelahnya bisa dimanfaatkan untuk bekerja sama.