Masih dengan menggendong Manggala dalam pelukannya, sebelah tangan Elin ditarik lembut oleh suaminya untuk ikut sarapan bersama di meja makan. Sejujurnya ia merasa gugup dan sedikit takut, di sini ia tak memiliki siapa pun selain suaminya, bisa saja mereka menyakiti dirinya dan sang anak.
Tiba-tiba saja langkah Elin terhenti, ia ingin menolak ajakan Bhanu, lebih baik makan di kamar atau dapur saja.
“El, kenapa?” Bhanu ikut menghentikan langkah kakinya kala merasakan pergerakan Elin terhenti.
“Aku nggak usah ikut ya, kamu saja.”
Terdengar hela napas pelan dari pria itu. “Percaya padaku, semua akan baik-baik saja.”
Sepasang mata Bhanu menatap Elin dengan penuh keyakinan, membuat Elin ikut terhanyut ke dalamnya. Akhirnya ia pun setuju, kembali keduanya melanjutkan langkah yang sempat tertunda.
Di ruang makan yang cukup luas itu terdapat meja berbentuk persegi panjang besar, kira-kira dapat menampung sekitar dua puluh orang sekaligus, lengkap dengan meja dan kursinya. Berbagai jenis daging pun tersedia di sana, mereka sudah berkumpul lengkap di sana dan hanya perlu menunggu satu orang yang menjadi pemimpin.
Hingga muncul lah Bhanu bersama dengan Elin, sontak semua pasang mata pun memandang obyek yang sama.
Elin mengatur napasnya yang memburu, ia sedikit menaikkan kepalanya agar tak terlihat takut ataupun gugup, cara ini agak bisa membuatnya mengembalikan kepercayaan diri.
“Duduklah,” pinta Bhanu pada sang istri. Ia menggeserkan satu kursi khusus untuk Elin, perlakuan kecil tapi manis.
Elin duduk di kursi bersebelahan dengan Bhanu, sementara itu di seberangnya terdapat Arya yang menatap dirinya dengan tajam. Tepat di sebelah Arya ada Gendis, wanita yang selalu melihatnya dengan aura permusuhan yang kental.
Praduga, Dwija, Damar, serta anggota istana lain pun turut hadir di sana. Mereka tidak banyak bersuara karena melihat sang raja tengah dimabuk oleh asmara, takut menyinggung suasana hati Bhanu.
Bhanu berdehem pelan lalu matanya mengabsen satu per satu orang yang hadir di sana.
“Selamat pagi,” ujarnya.
“Selamat pagi, Yang Mulia Raja Bhanu.” Semua orang di sana sontak membalas sapaan Bhanu dengan serentak.
Bhanu tersenyum ramah, sekarang posisinya sudah menjadi raja maka dari itu ia harus lebih dekat dengan para anggota kerajaan ini.
“Seperti yang sudah kalian ketahui bahwa aku dan Elin sudah menikah, yang mana Manggala juga secara sah menjadi Pangeran karena ia adalah keturunanku. Ku harap dengan berita ini membuat kalian mengerti, tolong terima dan hormati Elin sebagaimana kalian menghormatiku.” Bhanu menjelaskan sekali lagi derajat istrinya.
Elin hanya diam mendengar ucapan suaminya, sembari matanya menelisik seluruh ruang makan ini. Bisa ia lihat bahwa Gendis tidak menyukai hal ini, ekspresi wajahnya sangat jelas terlihat.
Sedangkan anggota lainnya pun hanya diam tanpa ekspresi, untuk saat ini mereka tidak mau mengambil risiko membantah perkataan Bhanu, atau nyawa taruhannya.
“Mohon maaf, pernikahan Anda tidak tercatat di kerajaan ini, bagaimana bisa mereka mendapat pengakuan?” Gendis akhirnya membuka suara di saat yang lainnya terdiam, ia sudah sangat kesal karena Bhanu terus menerus menaikkan status Elin, ia cemburu dan iri dengki.
“Aku akan memasukkan pernikahan kami dalam silsilah keluarga, dengan begitu Elin dan Manggala resmi menjadi bagian dari kerajaan ini.” jawaban Bhanu terdengar tegas dan tak ingin adanya bantahan.
“Tapi kalian berbeda alam dan bangsa, bagaimana bisa Anda memaksakan kehendak?” Gendis berusaha untuk tetap formal, karena di sini mereka dikumpulkan sebagai orang-orang penting pemegang jabatan.
Andai saja saat ini hanya ada Gendis dan Bhanu saja, maka dengan senang hati ia akan meraung dan memaki Bhanu hingga pria itu mengubah pemikirannya. Enak saja bangsa manusia ingin dimasukkan ke dalam silsilah, Elin hanyalah makhluk rendah yang tak pantas.
“Aku tidak butuh izinmu untuk melakukannya, benar?” Bhanu menaikkan sebelah alisnya, kepalanya juga terlihat sedikit miring ke kanan.
Mendapati ekspresi Bhanu saat ini membuat Gendis pun tutup mulut, jika sudah seperti itu maka ia tak boleh menambah masalah lagi, sepertinya Gendis sudah keterlaluan ikut campur dengan masalah rumah tangga pemimpinnya.
Tangan wanita itu terkepal di bawah meja, rasanya ia sedang dipermalukan di depan umum. Semua karena Elin, wanita itu yang telah merebut Bhanu dari pelukannya.
Arya yang bersebelahan dengan Gendis pun melirik ke bawah, dilihatnya tangan Gendis yang terkepal dengan erat, senyuman miring pun tercetak tipis di sudut bibirnya.
Dasar bodoh, di saat suasana seperti ini bisa-bisanya Gendis memancing pertengkaran dengan Bhanu. Arya sudah memperhitungkan kejadian ini, Bhanu pasti keras kepala akan menghukum semua orang yang menolak istrinya, jadi untuk sementara ini dirinya mencari aman.
Pemimpinnya tengah dilanda romansa cinta, pasti apa pun akan dilakukan demi sang istri. Arya hanya menunggu waktu yang tepat yakni ketika Bhanu lengah, maka ia akan melakukan serangan menjatuhkan.
“Sudahlah, Gendis. Jangan membuat runyam suasana, hormati keputusan Raja Bhanu.” Damar menyahut.
Seketika Elin paham, jadi benar wanita itu yang bernama Gendis.
“Selamat makan semuanya.”
Mereka pun berkutat dengan sarapan, mengiris daging mentah yang masih terdapat sisa darah.
Sementara itu ada pelayan yang menyediakan makanan khusus untuk Elin.
“Kamu makan ini ya.”
Elin mengangguk dan tersenyum, syukurlah suaminya masih ingat bahwa dirinya manusia. Dipiring Elin tersedia nasi putih, sayuran dan juga ayam digoreng, cukup untuk memenuhi kebutuhannya pagi hari.
Sesekali Bhanu juga membantu istrinya untuk makan saat Manggala rewel. Ada kalanya Bhanu menyuapi Elin atau ketika rambut sebahu milik istrinya melambai mengganggu aktivitasnya, sigap Bhanu langsung mengikat helaian rambut Elin.
Pemandangan romantis tak luput dari perhatian sekitar, mereka termangu melihat Bhanu yang sangat perhatian dengan Elin, sikapnya sangat lembut berbeda dari keseharian pria itu yang tegas dan berwibawa.
Mereka semakin yakin bahwa rajanya benar-benar jatuh cinta terhadap wanita manusia ini.
Sekitar dua puluh menit sarapan itu berlangsung, setelahnya mereka semua pun undur diri masing-masing untuk melanjutkan aktivitas seperti biasanya.
Di meja makan tinggal Arya dan Gendis, pria itu menatap Gendis seolah-olah mengejek.
“Pria yang kamu sukai itu sangat mencintai istrinya, mustahil untuk mendapatkannya dalam pelukanmu.”
“Tutup mulutmu, jangan ikut campur urusanku.”
Arya langsung membungkam mulutnya bertindak seolah terkejut. “Ups, baiklah aku menyerah. Tapi jika ingin bekerja sama denganku, aku masih membuka kesempatan untukmu.”
Setelah mengatakan hal itu Arya pun berdiri dari kursinya, meninggalkan Gendis sendirian di meja makan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, rasanya tak rela melihat Elin diperlakukan manis oleh Bhanu.
Kenapa dengan dirinya Bhanu tak pernah seromantis itu, sedangkan dengan manusia rendahan itu bahkan Bhanu mau-mau saja.
“Elin, ku pastikan dirimu takkan betah tinggal di sini.”
Sementara itu di lain tempat, setelah sarapan pagi Bhanu mengajak Elin untuk berjalan-jalan di sekitar istana ini. Semua hal baru telah Elin lihat, jika secara garis besar lingkungan di sini tidak begitu berbeda dari alam manusia, hanya saja suasana dan orang-orangnya saja lah yang mencolok.
Di sini Elin sering kali melihat makhluk aneh, bahkan ada siluman buaya putih juga keluar masuk istana, kebanyakan mereka merupakan pengawal di kerajaan ini.
“Mereka mengerikan,” cicit Elin. Bahkan berjalan pun ia sampai mepet suaminya, ia takut dengan penampakan sosok-sosok itu.
“Mereka adalah rakyatku, seperti inilah kehidupan kami setiap harinya, semua macam makhluk ada.”
Elin jadi teringat dengan satu hal, ia ingin menanyakan hal ini.
“Apa bentuk asli kamu sama seperti mereka?” Ia menggigit bibir bawahnya setelah bertanya demikian, takut menyinggung sang suami.
“Tidak, entah kenapa fisikku normal seperti ini sejak dulu. Semua penghuni kerajaan gaib ini memiliki dua fisik yang saling berbeda, cukup mengherankan tapi aku bersyukur dengan penampilanku ini, setidaknya istriku tidak ketakutan saat melihat suaminya sendiri.” jawab Bhanu sambil tergelak tawa.
Benar juga, jika Bhanu selalu mempunyai penampilan normal layaknya manusia biasa maka Elin tak perlu ketakutan menghadapi suaminya.
Keduanya terus melangkah melewati taman istana, tidak ada yang aneh ataupun mengejutkan di sana, hampir mirip seperti taman-taman di alam manusia.
“Bahagianya melihat anak, menantu dan cucu saling bersama-sama.” Tiba-tiba saja terdengar suara yang menyahut.
Elin menolehkan kepalanya melihat sosok pria usianya cukup tua, tapi dari tampilannya terasa aura wibawa yang kuat. Ia memicingkan mata seperti tidak asing dengan pria itu.
“Ayahanda di sini? Aku sudah menunggumu sejak kemarin.”
“Ya, di masa tua ini aku ingin beristirahat lebih banyak.”
Elin mengamati keduanya, ternyata mereka adalah ayah dan anak pantas saja jika ada kemiripan.
“El, perkenalkan ini adalah ayahku, raja sebelumnya.”
Elin mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan sang ayah mertua, dengan senang hati Mahatma membalasnya.
“Hai menantu, apa kamu melupakan ayah mertuamu ini?” Mahatma terlihat ceria, tak henti-hentinya ia mengulas senyuman lebar.
Elin menimbang-nimbang ingatannya, apa mereka berdua pernah bertemu?
“Maaf, apakah kita sudah saling bertemu sebelumnya?”
“Wah, ternyata kamu melupakan mertuamu sendiri.” Mahatma menggeleng kecil.
Elin meringis tak enak hati, sebenarnya ia juga merasa familier dengan wajah Mahatma, tapi di mana mereka saling mengenal?
Mahatma tertawa geli melihat raut wajah anak menantunya, Elin sungguh polos.
“Tidak usah tegang seperti itu, aku tak memakanmu. Oh ya, apa kamu ingat dengan sosok pria tua yang berdiri di depan rumahmu? Saat itu kamu memberikannya dua buah roti.”
Mata Elin seketika membelalak, jadi pria tua yang ia temui saat itu adalah mertuanya? Oh astaga, Elin baru tahu fakta ini.
“Jadi, itu adalah Anda?” Telapak tangan Elin menutup bibirnya dengan kaget.
Mahatma mengangguk sebagai balasan. Saat itu ia memang sengaja menyamar untuk bertemu dengan menantunya, Elin adalah wanita yang baik, pantas jika Bhanu tergila-gila padanya.
Selama ini Mahatma tidak pernah melihat sang putra tertarik dengan wanita mana pun di kerajaan ini, hingga ia mengetahui satu fakta bahwa Bhanu sudah menikah dengan bangsa manusia.
Saat itu pula Mahatma juga ingin menemui menantunya, sebagai orangtua ia hanya bisa merestui dan mendoakan rumah tangga Bhanu meskipun akan ada banyak rintangan ke depannya. Mahatma tak mempermasalahkan identitas Elin, selagi wanita itu bisa membahagiakan putra dan cucunya, maka biarlah ketiganya membentuk keluarga bahagia.
“Maaf karena tidak mengenali Anda, Ayah mertua.”
“Tidak perlu sungkan, saat itu aku memang tengah menyamar, kamu tentunya tidak akan tahu siapa aku. Karena kita sudah saling mengenal, maka panggil aku selayaknya Bhanu memanggilku.”
“Terima kasih banyak, Ayahanda.”
Hati Bhanu juga tenang setelah mendengar penuturan ayahandanya, Mahatma menerima Elin, ia jadi tak perlu susah payah memohon restu.
Mahatma menatap Manggala yang ada di gendongan Elin. “Manggala cucuku.”
“Ya, Manggala adalah buah cinta kami berdua.” balas Bhanu dengan nada bangga, ia juga merangkul pundak Elin.
“Tampan sekali.” puji Mahatma.
“Tentu, ayahandanya tampan dan ibundanya juga cantik.” Bhanu membalas lagi, ia mempunyai kepercayaan diri yang sangat tinggi.
Elin mencubit pinggang suaminya, membuat pria itu mengaduh kecil.
“Elin, aku harus berterima kasih padamu karena sudah menerima Bhanu apa adanya. Ke depannya banyak rintangan yang perlu kalian hadapi, tetap lah saling bersama, jangan sampai kalian terpisah. Sebagai orangtua aku hanya ingin rumah tangga anak dan menantuku selalu bahagia, apa pun yang terjadi jangan berjalan sendiri-sendiri, selalu bersama di setiap keadaan.” Mahatma memberikan nasehatnya.
“Iya, Ayah. Elin akan menemani Bhanu apa pun yang terjadi, aku pernah melakukan kesalahan hingga mempertaruhkan rumah tangga kami, mulai sekarang hal itu tak akan terjadi lagi.”
“Aku percaya padamu, kamu adalah istri sekaligus ibu yang baik.”
Bhanu dan Elin mengukir senyum indah, rasanya mereka bahagia karena memiliki fondasi sebaik Mahatma.
“Aku ingin menggendong cucuku, apa boleh?”
“Silahkan.” Elin mempersilahkan Manggala untuk digendong oleh Mahatma.
Usianya sekarang Manggala sudah bisa tersenyum dan merespon ketika diajak bicara.
“Hai, cucu tampan kakek?”
Manggala tertawa renyah mendengar sapaan kakeknya, anak itu seperti memahami ikatan turunan dengan kakeknya.
Elin menarik lengan baju suaminya. “Maaf jika bertanya hal ini, apakah ibu mertua masih ada?”
Elin belum tahu betul mengenai keluarga suaminya, dulu Bhanu menyembunyikan jati dirinya, baru sekarang semua serba terbuka.
Manggala menggeleng lalu menjawab, “Ibunda sudah lama tiada, hanya ada Ayahanda satu-satunya orangtua yang tersisa.”
“Emm begitu, lalu setelah Ayah mertua meninggalkan jabatan rajanya, sekarang ia tinggal di mana?” Elin penasaran dengan kisah hidup orangtua Bhanu. Sayang sekali ia tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan ibu mertua.
“Ayah lebih suka tinggal di mansion lain, di sana ia dan ibunda sering menghabiskan waktu bersama dulunya.”
Setelah kepergian ratunya, Mahatma pun sering berkunjung ke mansion penuh kenangan tersebut, ia juga berjanji akan tinggal di sana setelah masa jabatannya usai.
Elin memahaminya, ditinggal pasangan untuk seumur hidup pasti terasa menyakitkan.
“Sebagai anak, kamu juga harus sering mengunjungi ayahanda di masa tuanya.”
Bhanu takjub dengan Elin yang memikirkan Mahatma, menantu yang langka.
“Ide bagus, kita akan mengunjungi ayahanda sambil membawa Manggala. Lihat itu mereka, ayahanda sangat menyayangi Manggala. Begitu juga dengan anak kita yang nyaman bersama kakeknya.”
“Kamu benar.”