Elin menggendong putranya sambil berjalan-jalan sekitaran istana, langit sore terlihat semburat oranye yang menandakan akan ada pergantian hari. Suasana tempat ini sejuk, ditambah lagi dengan banyaknya pepohonan yang ada disepanjang sudut jalan.
Pertumbuhan Manggala juga maju pesat, untuk anak seusianya Manggala lebih aktif dari anak-anak biasanya. Sekarang ini Elin ingin mengajarkan Manggala cara merangkak.
“Nyonya Elin?” sapa Nani, wanita usia empat puluh tahun itu mengulas senyum ramahnya terhadap sang calon ratu istana ini.
“Bibi Nani, ya?” Pernah sekali Bhanu menceritakan soal Nani yang pernah merawat Manggala dengan baik, ia harus mengucapkan terima kasih padanya.
“Iya, Nyonya.”
“Saya sudah mendengar mengenai Anda dari Bhanu, terima kasih karena telah merawat Manggala dengan baik.”
“Saya melakukan apa yang menjadi tugas saya, lagi pula Pangeran Manggala juga anak yang manis, saya senang merawatnya.” Nani memang sudah menganggap Manggala seperti cucu sendiri, ia menyayangi anak itu dengan tulus.
Elin mengangguk dan tersenyum.
“Anda mau ke mana?” tanya Nani.
“Akhir-akhir ini tumbuh kembang Manggala cukup pesat, saya ingin mengajarinya merangkak.”
“Ada tempat yang cocok untuk Pangeran Manggala belajar merangkak.”
“Benarkah? Boleh dicoba.” Elin antusias, memang butuh tempat yang luas dan kosong untuk anaknya latihan merangkak.
“Mari ikut saya,” ajak Nani.
Elin mengikuti wanita paruh baya itu dari belakang, tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di lokasi.
Nani membuka pintu ruangan lalu seketika pijar cahaya pun menerangi ruang yang semula gelap itu.
Tempat itu cukup luas, ada alas yang terbuat dari bulu-bulu halus dan lembut, bibir Elin terangkat membentuk sebuah senyum.
“Wahh, tempat ini cocok untuk Manggala.” Ia berdecak kagum.
Segera Elin pun menurunkan Manggala dari gendongannya, anak itu sudah mengerti lalu mulai berjongkok dan perlahan-lahan merangkak.
Elin mengikat rambutnya tinggi-tinggi, ia juga berpindah tempat ke depan sana, tangannya terbuka lebar guna menyambut putranya agar memeluk dirinya.
“Manggala, ayo sini datang ke ibunda.” Elin memberikan kode pada putranya, sementara itu Manggala mendongak menatap Elin lama.
Elin mengangguk-anggukkan kepala, berusaha untuk memberikan aba-aba agar sang putra segera menghampiri dirinya.
“Sayang, sini Nak.” Anak itu tersenyum menampilkan deretan gusinya yang belum ditumbuhi gigi, melihat senyum sumringah Manggala lagi-lagi membuat hati Elin menghangat.
Manggala yang tadinya menghentikan rangkakan, kini bocah itu pun kembali melaju dengan semangat menghampiri ibunya.
“Terus, sedikit lagi.” Elin menggigit bibir bawahnya ikut menahan antusiasmenya.
Dan ya, berhasil! Manggala langsung meluruh ke pelukan Elin sesaat setelah dirinya bisa berhasil sampai di sana, Elin memeluk anaknya dengan erat.
“Anak pintar, anak manisnya ibunda.”
Nani juga memberikan tepuk tangan sebagai apresiasi pada pangeran mudanya.
“Pangeran Manggala cepat tanggap, ia anak yang cerdas.”
“Iya, semoga ia juga bisa segera berjalan.” Elin mencium gemas pipi gembul anaknya. Manggala terlihat senyum-senyum dipelukan sang ibu, anak itu memang sangat klop dengan Elin.
Tak hanya sekali, Elin juga mengulang hal yang sama selama beberapa kali, sekitar satu setengah jam mereka bertiga ada di sana.
“Bi Nani, Anda sudah bekerja lama di istana ini?” Elin penasaran dengan latar belakang pengasuh itu, Bhanu sangat memercayai Nani untuk menjaga Manggala yang mana berarti bahwa keduanya juga cukup akrab.
“Saya masuk di istana sejak duapuluh tahun yang lalu, saat itu Raja Bhanu juga masih berusia balita, saya juga diminta mendiang ratu untuk menjaganya.” Nani mulai menerawang ke masa lalu, di mana ia juga dipercaya ratu sebelumnya untuk menjaga sang putra.
Elin terhenyak, lama juga ternyata Nani mengabdikan diri di keluarga kerajaan.
“Selama itu pula saya menjaga Raja Bhanu dengan sepenuh hati, bisa dikatakan saya menyayanginya seperti anak sendiri.” Bibir wanita paruh baya terulas senyuman cerah, membayangkan Bhanu kecil yang selalu berlarian dan mencari dirinya ketika tidak berada di kediaman istana.
Elin salut dengan kebaikan wanita itu, Bhanu memberitahu bahwa Nani rela tidak memiliki pasangan ataupun keturunan sendiri, demi abdinya terhadap kerajaan. Wanita paruh baya itu ingin terus mengasuh anak-anak dari keturunan kerajaan ini, ia terlanjur menyayangi keluarga kerajaan.
“Mendiang ratu juga memperlakukan saya dengan baik, ia wanita yang ramah dan berhati lembut. Jika dipikir-pikir, Nyonya Elin ada kemiripan dengan mendiang ibu ratu, kalian berdua sama-sama baik hati dan ramah.” Meski baru saja bertemu, tapi Nani sudah merasakan aura kebaikan Elin, ia yakin bahwa putra asuhnya mendapat istri yang tepat.
Dibandingkan dengan Gendis, Nani lebih suka Elin menjadi pendamping hidup Bhanu.
Elin terkekeh miris. “Saya bukan orang sebaik itu, Anda berlebihan.”
Mungkin Nani belum tahu bahwa Elin pernah menolak kehadiran Manggala, lebih tepatnya juga membenci anak dan suaminya hanya karena mereka berbeda. Mengingat masa lalu itu membuat Elin tidak percaya diri jika disebut sebagai baik hati, ia wanita yang berdosa.
“Anda adalah istri sekaligus ibu yang baik, hanya karena pernah menolak keduanya bukan berarti Anda adalah orang jahat, kan? Saat itu Anda sedang dikuasai oleh emosi, Raja Bhanu juga membohongi Anda kala itu.” Nani berujar dengan lancar, ia memang sudah tahu semuanya. Mengenai penolakan Elin terhadap Bhanu, rasa tidak suka terhadap anaknya sendiri, bahkan meminta untuk berpisah.
Tentu saja Elin terkejut mendengarnya, ternyata Nani mengetahui permasalahannya dengan Bhanu.
“Anda mengetahuinya?”
“Ya, saya terlalu menyayangi Raja Bhanu seperti anak kandung. Jadi sebisa mungkin saya juga ikut memantau perjalanan cintanya,” jujurnya.
Elin mengerjapkan matanya dengan cepat, jadi Nani juga ikut memata-matai dirinya? Oh Tuhan.
Melihat ekspresi canggung Elin membuat Nani tertawa kecil. “Maaf jika saya terkesan lancang karena ikut campur urusan rumah tangga kalian, saya melakukannya demi kebaikan Raja Bhanu, ibu mana yang rela melihat anaknya bersedih? Meskipun bukan terlahir dari rahim sendiri.”
Elin bisa mengerti perasaan Nani, setidaknya Bhanu memiliki orang yang benar-benar tulus menyayanginya.
“Apakah Bhanu tahu bahwa Anda sangat menyayanginya?” Elin bertanya hal ini dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan wanita itu.
“Raja Bhanu tahu, hanya saja ia selalu bersikap datar-datar saja. Melihatnya tumbuh dengan baik dan bahagia ketika memiliki kalian, itu sudah cukup bagi saya. Anda dan Pangeran Manggala adalah harga paling berharga baginya, sejak dulu Pangeran Bhanu terkenal dingin dan cuek terhadap semua anggota istana, baru-baru ini saja ia terlihat lebih hangat.” Nani menjelaskan semuanya, ia ingat betul bagaimana dinginnya Bhanu terhadap dirinya.
“Apa Bhanu memang bersikap demikian sejak dulu?”
“Sebenarnya tidak, saat usia Raja Bhanu menginjak limabelas tahun, ibu ratu pergi untuk selamanya. Mulai saat itulah Raja Bhanu menjadi pendiam dan suka menutup diri dari sosial, Tuan Mahatma juga sempat khawatir dengan masa depan putra sekaligus negerinya ini. Namun, syukurlah semenjak ia bertemu dengan Anda, Raja Bhanu menjadi sosok yang hangat lagi.”
Kening Elin saling bertaut, memang apa yang ia perbuat hingga bisa mengubah kepribadian suaminya?
“Saya tidak melakukan apapun pada Bhanu, sejak dari awal ia menyembunyikan identitasnya.” Elin mengendikkan bahunya pelan.
Nani menghela napas pelan, lalu ia meraih tangan mulus wanita satu anak itu.
“Percaya tidak percaya, keberadaan Anda sangat mengubah kehidupan Raja Bhanu. Kami semua sempat khawatir dengan masa depan kerajaan besar ini, jika Raja Bhanu sendiri enggan mengurus tahta, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Tapi semuanya berubah, bahkan ia dengan sukarela mau memimpin.”
Awalnya Nani juga heran dengan sikap Bhanu yang lebih hangat dari sebelumnya, hingga ia pun inisiatif untuk mencari tahu. Ternyata memang ada hal besar terjadi, anak asuhnya mencintai gadis dari bangsa manusia bahkan berencana untuk menikah.
Nani sudah tahu semuanya dari awal, hanya saja ia memilih untuk diam. Apapun yang menjadi keinginan Bhanu, maka sebagai orangtua ia selalu mendukung.
Beruntungnya Bhanu menikahi gadis yang tepat, Nani diam-diam terus memantau rumah tangga keduanya.
Elin tersenyum kaku, ternyata selama ini ada mata-mata disekitarnya, untungnya Nani tidak melakukan hal yang buruk. Bahkan Bhanu sendiri sampai tidak menyadarinya, ini berarti Nani memang handal.
Nani masih memegang erat tangan Elin, kini matanya menatap wanita itu lama.
“Nyonya, saya mohon pada Anda apapun yang terjadi jangan pernah meninggalkan Raja Bhanu.” Kali ini nada suara Nani terdengar sangat serius didukung dengan ekspresi wajahnya, sangat berbeda dengan intonasi sebelumnya.
Elin meneguk ludahnya dengan kaku, memangnya kenapa hingga Nani seserius ini?
Untuk menghilangkan rasa canggung, Elin pun berpura-pura sibuk dengan Manggala, diraihnya tubuh si kecil lalu dipangku di atas pahanya.
“Nyonya Elin, berjanji lah dengan saya.” Tekannya lagi.
Bibir Elin kelu untuk menjawab, bukan karena ia tidak ingin selalu berada di sisi suaminya, hanya saja Elin bertanya-tanya kenapa Nani sampai harus memastikan hal ini?
“Memangnya ada apa, Bi?”
Ia agak takut karena mata Nani lama-lama menatap dirinya sambil melotot, bagaimana pun juga Elin tidak melupakan fakta bahwa wanita tua di depannya ini bukan manusia.
Tetap saja ada rasa takut dibenak Elin, apalagi jika Nani tiba-tiba berubah wujud, mungkin Elin akan pingsan ditempat?
“Jika Anda meninggalkan Raja Bhanu, maka ia akan kehilangan sosok penopang hidupnya, hanya Anda sumber kehidupan dan kebahagiaannya.”
Ia berpikir, jika Nani sampai menyuruhnya untuk berjanji maka pasti ada hal besar lainnya yang akan terjadi. Bisa juga Bhanu masih menyembunyikan suatu rahasia darinya, apakah itu?
Diliriknya Nani yang masih terus berharap padanya, Elin tidak tahu mau menjawab bagaimana.
“Apakah ada keraguan dihati Anda mengenai Raja Bhanu? Ia sangat mencintai Nyonya Elin.” Nani terus mendesak Elin, kali ini dengan cara yang lebih natural dari sebelumnya.
Elin menegapkan tubuhnya, ia juga menampilkan raut serius.
“Bibi mengetahui banyak hal mengenai Bhanu, bahkan rumah tangga kami pun Anda selidiki. Jika saya boleh menebak, ada suatu hal yang Anda ketahui mengenai Bhanu dan berusaha menutupinya dari saya, benar begitu?” Mata Elin menyipit curiga.
Nani memang pintar dalam urusan penyelidikan, tapi masalah gestur tubuh ia kalah jauh.
Pegangan tangan Nani pun terlepas dari Elin, pelan-pelan ia menarik kembali jari-jarinya yang sempat memegang erat calon ratunya.
Betul, tebakan Elin tepat sasaran!
Ini mengenai masa lalu Bhanu dan Gendis beberapa tahun silam, ia berusaha menutupinya dari Elin. Jika sampai wanita muda itu tahu, mungkin saja hubungan rumah tangga keduanya akan bermasalah.
Terlebih lagi saat ini Gendis juga menunjukkan taringnya, Nani hanya ingin melindungi Bhanu agar anak asuh kesayangannya itu selalu bahagia.
Elin merupakan sumber bahagia Bhanu, jika sampai wanita itu meninggalkannya, maka Bhanu pasti menderita. Nani tidak suka melihat Bhanu kehilangan arah, apapun badai yang menimpa rumah tangganya, Elin dan Bhanu wajib selalu bersama selamanya.
“Saya benar, ya? Sampai Bi Nani pun terdiam.” Elin sedikit menyunggingkan tawanya, tanpa menunggu jawaban pun ia sudah mengerti.
Nani kelabakan, ia menormalkan ekspresi wajahnya yang sempat kebingungan.
“Tidak ada, saya ingin melihat putra asuh selalu bahagia.”
Jawaban terdengar sangat tidak natural, tapi Elin pun hanya mengangguk saja.
Jujur saja di dalam hati Elin merasa kecewa dan sedih, Bhanu menyimpan rahasia lagi darinya. Ia menghirup napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan, berusaha agar tak terlihat bersedih.
“Baiklah, sudah menjelang malam, Manggala harus saya tidurkan,” Elin bangkit berdiri, tak lupa ia juga membawa anaknya.
“Tunggu, Nyonya!”
Elin menghentikan jalannya tanpa menoleh ke belakang.
“Suatu saat pasti Anda mengetahuinya, dan saya masih terus berharap bahwa Anda tetap memercayai Raja Bhanu.”
“Terima kasih atas nasehat Bibi.”
Setelah menjawab demikian, Elin pun benar-benar menjauh dari tempat itu, meninggalkan Nani sendirian berkutat dengan pikirannya.