1 minggu sudah berlalu sejak Queen menghadiri pesta ulang tahun Bara, sahabatnya dan sejak kembali dari Bali, Queen tetap menjalani hari-harinya seperti biasa.
Senin sampai jumat Queen bekerja seperti biasanya dan di hari sabtu minggu Queen akan menghabiskan waktunya untuk mengistirahatkan dan memanjakan tubuhnya.
Meskipun terlihat biasa saja, tapi sebenarnya selama 1 minggu ini Queen merasa cemas dan juga khawatir, sampai terkadang rasa cemas dan khawatir yang ia rasakan membuatnya sulit sekali untuk terlelap. Bahkan tak jarang Queen akan terbangun di tengah malam, hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi dan itu semua karena Queen terus memikirkan Auriga.
Sudah berulang kali Queen mencoba untuk tidak memikirkan Auriga atau membuang jauh-jauh Auriga dari pikirannya, tapi semakin ia mencoba mengeyanhkah Auriga dari pikirannya, maka semakin sering sosok Auriga muncul dalam benaknya.
Ting tong...
Ting tong...
Queen yang sedang bersantai di sofa terlonjak kaget begitu mendengar bel apartemennya berbunyi, bukan hanya sekali tapi berkali-kali.
Hari ini hari libur dan Queen memilih untuk tinggal di apartemennya karena kedua orang tuanya sedang pergi keluar kota untuk menjenguk sanak saudara dari pihak Daddynya yang sedang sakit.
Dengan malas, Queen beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu apartemennya tanpa memperdulikan penampilannya yang terlihat sedikit berantakan mengingat ia sama sekali belum mandi pagi.
"Siapa sih? Enggak sabaran banget." Queen terus menggerutu dan tanpa melihat siapa yang menekan bel apartemennya, Queen membuka begitu saja pintu apartemennya dan saat ia tahu siapa yang menekan bel apartemennya secara tidak sabaran, saat itulah Queen menyelesal karena sudah membuka pintu apartemennya. "Kak Aa-auriga," ujar Queen terbata dengan keterkejutan yang tergambar jelas di kedua mata bulatnya.
"Hai Sayang," sapa Auriga dengan smirk misterius yang manghiasi wajahnya.
Queen berniat untuk kembali mendorong pintu apartemennya, tapi dengan cepat Auriga menahannya. Aksi saling dorong mendorong pun tak bisa di hindari.
Queen tak menyerah begitu saja, ia terus berusaha untuk menutup kembali pintu apartemennya meskipun pada akhirnya ia kalah karena tenaganya tak sebanding dengan tenaga Auriga yang jauh lebih kuat darinya.
Queen mengerang, kesal karena ia kalah dari Auriga. Sementara senyum kemenangan terukir di wajah Auriga dan senyum yang Auriga berikan membuat kadar ketampanan Auriga semakin bertambah.
Tanpa sadar, Queen mundur beberapa langkah guna menjauhi Auriga yang kini melangkah mendekatinya. Bulu kuduk Queen meremang saat melihat smirk m***m yang manghiasi wajah Auriga.
"Ja-jangan mendekat!" Peringat Queen tegas, menatap Auriga dengan mata melotot. Auriga jelas tidak mengidahkan peringatan yang Queen berikan dan terus melangkah mendekati Queen, tak peduli dengan tatapan setajam silet yang Queen layangkan padanya.
Queen tak bisa lagi mundur karena di belakangnya kini ada sofa. Queen berlari menuju kamarnya dan tentu saja Auriga berhasil mengejar Queen, menyentak tubuh Queen agar berbalik menghadap ke arahnya.
"Jangan berlari Queen, nanti bisa jatuh!" Peringat Auriga dengan tegas. Auriga melingkarkan tangan kirinya pada pinggang Queen, sementara tangan kanannya membelai dengan lembut wajah Queen.
"Kak!" Jerit Queen seraya memukul bahu Auriga yang malah tertawa terbahak-bahak. Queen tentu saja menjerit saat dengan sengaja Auriga menggigit gemas hidung mancungnya yang pasti kini sudah memerah.
"Maaf ya Sayang, habisnya hidungnya gemesin."
"Sakit tahu," cibir Queen seraya terus mengusap hidungnya.
"Iya, maaf ya Sayang," sesal Auriga seraya ikut membelai hidung Queen dan sentuhan seringan kapas yang Auriga berikan mampu membuat Queen gugup.
"Ke-kenapa Kak Auriga tahu letak apartemen Queen?" Queen mencoba untuk bersikap biasa saja tapi nyatanya ia tak bisa, ia tidak bisa menghilangkan rasa gugup yang kini sedang ia rasakan.
"Merah, warna yang sangat menggoda." Suara Auriga berubah serak, bahkan kini jakunnya naik turun dengan begitu cepat, berkali-kali menelan saliva guna membasahi kerongkongannya yang terasa kering kerontang. Pemandangan yang kini tersaji di hadapannya benar-benar Auriga nikmati dan Auriga tidak akan melewatkannya barang sedetikpun.
Queen mengerjap, mencoba mencerna ucapan Auriga dan matanya kembali membola begitu ia sadar maksud dari ucapan Auriga. Dengan cepat, Queen mencoba untuk menutupi dadanya yang kini terexpose dengan sangat jelas, tapi gagal karena Auriga menahan pergerakannya.
"Jangan di tutup, Kakak belum puas."
"Dasar menyebalkan!" Pekik Queen histeris. "Jangan lihat-lihat, yang boleh lihat cuma suami Queen," ujar Queen ketus.
"Kakak sudah pernah lihat Queen, bahkan merasakannya," sahut Auriga dengan santainya.
Queen hanya mendelik, enggan menanggapi ucapan Auriga yang memang benar adanya. Auriga bukan hanya pernah melihat miliknya tapi juga pernag merasakannya, bahkan Queen ingat dengan jelas saat Auriga mengulum kedua nipplenya secara bergantian dan Queen masih ingat dengan jelas bagaimana sensasinya.
"Pasti kamu sedang memikirkan hal Yang berbau dewasa," kekeh Auriga gemas seraya menjawil hidung mancung Queen. Sontak saja ucapan Auriga yang memang benar adanya mampu membuat Queen salah tingkah dan Queen yakin kalau kini wajahnya sudah memerah.
"Jadi, dari mana Kakak tahu letak apartemen Queen?" Queen kembali bertanya karena sejak tadi, Auriga belum menjawab pertanyaannya dan tentu saja Queen mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Queen ingin tahu, siapa orang yang memberi tahu Auriga alamat apartemennya. Bara tidak mungkin memberi tahu Auriga karena Bara sendiri tidak tahu letak apartemennya di mana, bahkan mungkin Bara tidak tahu kalau ia mempunyai apartemen.
"Kakak cari tahu sendiri," jawab Auriga jujur apa adanya, masih terkekeh, gemas saat sadar kalau Queen mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Queen tentu saja tidak percaya dengan jawaban yang Auriga berikan. "Jangan bohong Kak, Kakak pikir Queen percaya sama jawaban Kakak?"
Auriga mengedikan bahu tanda tak peduli. "Terserah, mau percaya ya syukur, enggak juga gak apa-apa, sama sekali enggak masalah."
Lelah berdiri, Auriga lantas menarik Queen menuju sofa dan tanpa aba-aba mendudukan Queen dalam pangkuannya. Queen tentu saja menolak dan mencoba untuk turun dari pangkuan Auriga, tapi kedua tangan Auriga yang melingkari pinggangnya membuat Queen tak bisa berkutik.
"Diamlah Queen, jangan banyak bergerak, kamu membuat burung Kakak kesakitan." Queen yang sejak tadi terus bergerak sontak terdiam begitu mendengar ucapan Auriga. Burung, Queen jelas tahu apa arti dari kata burung yang baru saja Auriga ucapkan
"Ma-makanya turunin Queen," lirih Queen terbata, kembali mencoba turun dari pangkuan Auriga tapi Auriga malah semakin memeluk pinggangnya dengan erat.
"Sudah sarapan?" Bukannya menanggapi ucapan Queen, Auriga malah bertanya, membuat Queen jengkel. "Sudah," jawabnya ketus.
"Sudah mandi?"
"Belum." Lagi-lagi Queen menjawab dengan ketus pertanyaan Auriga.
"Meskipun belum mandi tapi tetap cantik kok." Entah yang baru saja terlontar dari bibir Auriga sebuah pujian atau sindiran, tapi nyatanya wajah Queen malah merona, membuat Auriga gemas.
"Bersiaplah, kita akan pergi, mau kan pergi sama Kakak?"
"Pergi kemana?" Tanya Queen penasaran.
"Nanti juga tahu, sekarang ganti baju dulu, kita harus segera berangkat, kalau tidak kita bisa terlambat."
"Kalau Queen menolak?" Queen menatap Auriga dengan angkuh dan entah kenapa, Auriga malah merasa terangsang saat melihat ke angkuhan Queen.
"Kakak akan tetap membawa kamu, tak peduli kamu setuju atau enggak, Kakak akan tetap membawa kamu pergi bersama Kakak."
"Ya kalau begitu Kakak enggak usah bertanya," cibir Queen. Auriga hanya terkekeh dan membiarkan Queen turun dari pangkuannya.
Queen melangkah memasuki kamarnya dan bergegas mengganti pakaiannya dengan yang jauh lebih sopan dari sebelumnya.
Sepertinya Auriga sudah tidak sabar untuk segera membawa Queen pergi bersamanya karena itulah Auriga menerobos masuk ke kamar Queen dan tanpa aba-aba langsung membopong Queen di pundaknya.
Queen tentu saja terkejut tapi tak sempat mengumpat karena kini kepalanya pusing. Siapa yang tidak akan pusing jika tiba-tiba kepalanya berada di bawah? "Auriga benar-benar keterlaluan," rutuk Queen dalam hati.
"Kak, tas Queen belum di bawa." Auriga berdecak, lalu kembali memasuki kamar Queen, mengambil tas Queen yang berada di nakas.
"Kak, ponsel Queen ketinggalan." Auriga memutar bola matanya jengah, berniat kembali memasuki kamar Queen tapi begitu mendengar kalau Queen mengatakan ponselnya ada dalam tas, Auriga mengurungkan niatnya dan kembali melanjutkan langkahnya, keluar dari apartemen Queen
"Kak turunin ih, malu tahu kalau sampai ada yang lihat." Queen memukul punggung Auriga yang ternyata sangat liat, berharap Auriga mau menuruti kemauannya tapi ternyata Auriga tetap pada pendiriannya dan itu membuat Queen kesal bukan main.
"Kak turunin!" Queen menjerit, meminta agar Auriga melepaskannya, tapi Auriga seolah tuli karena ia sama sekali tidak mau menurunkan Queen dari gendongannya.
"Plak...." Auriga baru saja memukul pinggul Queen dan Queen tentu saja terkejut dengan apa yang Auriga lakukan, bahkan mulutnya sampai menganga sakinh terkejutnya. "Diamlah Queen, atau Kakak cium kamu kalau kamu masih terus memberontak minta di turunkan." Auriga tidak main-main, ia akan benar-benar mencium Queen kalau Queen terus memberontak dalam gendongannya.
"F*ck you!" Umpat Queen menggelegar. Bukannya marah karena Queen baru saja mengumpatinya, Auriga malah tertawa dan tentu saja itu membuat rasa kesal Queen semakin menjadi. Queen berharap Auriga marah atau kesal, bukannya malah tertawa.
Queen merenggut dengan bibir cemberut. "Kepala Queen pusing tahu,,rasanya mual banget," adunya manja.
Auriga menghela nafas panjang, secara perlahan menurunkan Queen tapi detik selanjutnya, Auriga kembali menggendong Queen, kali ini bagai koala yang menggendong anaknya.
Dengan manja, Queen menyandarkan kepalanya di bahu Auriga dengan kedua tangan yang memeluk erat leher Auriga, sedangkan kedua kakinya melingkar dengan sempurna di pinggang Auriga.
Auriga tersenyum, senang karena Queen kini malah bersandar manja di bahunya. Auriga mengecup puncak kepala Queen, sentuhan yang mampu menggetarkan hati Queen.
Ting...
Begitu pintu lift terbuka, Auriga bergegas membawa Queen menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari lift. Salah satu bodyguard Auriga dengan sigap membuka pintu mobil, memudahkan Auriga untuk
mendudukan Queen di jok belakang di susul dirinya yang kini duduk di samping Queen.
Mobil yang Auriga dan Queen naiki pun mulai melaju, menembus jalanan Ibu kota yang mulai padat oleh hiruk pikuk kendaraan, baik itu roda dua atau pun empat.
Queen memalingkan wajahnya ke arah jendela, enggan menatap Auriga. Bahkan kini kedua tangan Queen bersedekap, membuat kedua payudaranya semakin membusung.
Ingat, Queen masih kesal karena Auriga membawanya secara paksa. Jadi ia tetap harus memasang raut wajah masam agar Auriga berpikir dan tidak lagi mengulang perbuatannya di lain hari yang akan datang.
Auriga bersiul dan Queen sontak melirik Auriga, mengikuti kemana arah mata Auriga tertuju dan matanya kembali membola saat tahu apa yang kini Auriga lihat.
Queen lantas merapatkan jaket yang ia kenakan, lalu kembali menatap jalanan. Keningnya berkerut bingung saat ia merasa ada salah. "Kak, kita mau kemana?" Queen baru sadar kalau ini bukanlah arah pulang menuju rumah kedua orang tuanya. Jadi, kemana Auriga akan membawanya? Apa Auriga akan menculiknya? Lalu menjualnya ke pasar gelap?
Tak...
Queen sontak mengusap keningnya yang baru saja Auriga sentil. Queen menoleh, menatap tajam Auriga. "Kak, kenapa kening Queen di sentil? Sakit tahu," ujarnya kesal.
"Makanya jangan mikir yang aneh-aneh."
Queen mengernyit, menatap horor Auriga. "Kok Kakak tahu sih apa yang ada dalam pikiran Queen?"
Belum sempat Auriga menjawab pertanyaan Queen, ponsel yang sejak tadi Auriga simpan di saku celananya tiba-tiba bergetar. Auriga meraih ponselnya, membaca pesan yang baru saja masuk. Queen yang merasa di abaikan oleh Auriga tiba-tiba merasa kesal, bertambah kesal saat melihat Auriga senyum-senyum saat menatap layar ponselnya dan malah mengabaikannya.
Queen mendengus, lantas meraih ponsel dan juga headseatnya, memilih untuk mendengarkan lagu dengan mata yang secara perlahan mulai terpejam.
Auriga menyimpan kembali ponselnya, lalu melirik Queen yang kini memejamkan matanya. Auriga bergeser mendekati Queen, membawa kepala Queen agar bersandar di bahunya. Queen sama sekali tidak menolak karena jika pun ia menolak, Queen yakin kalau Auriga akan tetap memaksanya agar menyandarkan kepalanya di bahu pria itu.
Dengan lembut, Auriga mengusap punggung Queen, sentuhan yang mampu membuai Queen sampai akhirnya Queen terlelap. Senyum manis kini terpatri di wajah Auriga begitu ia mendengar dengkuran halus Queen, sebagai pertanda kalau Queen sudah terlelap dalam tidurnya.
Mobil yang Auriga dan Queen naiki akhirnya sampai di bandara dan saat itulah Queen terbangun dari tidurnya.
Queen mengerjap, kembali menghela nafas panjang saat sadar kalau Auriga pasti akan membawanya pergi keluar kota, meskipun ia belum tahu kota mana yang akan mereka tuju karena tadi Auriga tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Kini Queen dan Auriga sudah berada dalam zet pribadi yang Queen yakin adalah milik Auriga karena ada nama Auriga di body zet yang kini Queen naiki.
"Jadi, kita mau pergi ke kota mana Kak?" Queen kembali bertanya, kali ini berharap kalau Auriga mau menjawab pertanyaannya karena ia benar-benar penasaran, kemana Auriga akan membawanya pergi, naik zet pribadi segala.
"Mau tahu aja apa mau tahu banget?"
Queen mendelik, lalu menatap tajam Auriga tapi Auriga sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Queen berikan. Auriga malah mengedipkan matanya, sengaja menggoda Queen.
"Kak, Queen tanya serius ih, kita mau pergi ke mana?" Queen mulai kesal, bahkan kini raut wajahnya mulai tak bersahabat, tapi entah kenapa, Auriga malah senang melihat Queen yang kini sedang merajuk padanya, Queen terlihat lucu dan juga menggemaskan, apalagi saat bibir tipisnya mengerucut, membuatnya ingin sekali menggigit dan melumat bibir manis tersebut.
"Kiss dulu, baru nanti Kakak jawab." Auriga menunjuk bibirnya tak lupa memberi Queen senyum terbaik andalannya seraya kembali mengedipkan sebelah matanya.
"Enggak mau!" Tanpa mau banyak berpikir, dengan tegas Queen menolak permintaan Auriga.
"Ya sudah kalau tidak mau, tidak masalah," sahut Auriga santai seraya mengedikan bahunya. Kini Auriga kembali fokus menatap layar tabnya, mengerjakan beberapa tugas kantor yang masih menumpuk.
Tanpa sadar Queen menggigit bibir bawahnya dengan kedua tangan yang kini saling meremas. "Apa ia harus mencium Auriga?" tanya Queen dalam hati. Kini Queen sedang bimbang, apa ia harus melakukan apa yang tadi Auriga minta atau mendiamkannya saja.
Dari ekor matanya, Auriga bisa melihat Queen yang kini sedang menggigit bibir bawahnya dan itu membuat konsentrasinya buyar.
"Sial!" Umpat Auriga dalam hati. Auriga menaruh dengan kasar tabnya dan hal itu membuat Queen terkejut, kini Queen berpikir kalau Auriga marah padanya, asumsinya semakin bertambah kuat saat melihat Auriga tiba-tiba beranjak bangun dari duduknya, mungkin berniat pergi meninggalkannya.
Queen mencekal pergelangan tangan kanan Auriga, membuat langkah Auriga sontak terhenti. "Mau kemana Kak?"
Auriga berbalik memandang Queen, seketika rahangnya mengeras saat melihat tatapan mata Queen yang tampak sayu. "Jangan menatap Kakak seperti itu," ujar Auriga seraya memalingkan wajahnya ke arah lain, kemanapun asal tidak menatap Queen yang kini sedang menatapnya.
"Seperti apa?" Tanya Queen tidak mengerti.
Auriga kembali memandang Queen, lalu dalam sekali sentakan menarik Queen agar Queen berdiri seperti dirinya.
Auriga merangkum wajah Queen, menempelkan bibirnya pada bibir Queen, melumat dengan rakus bibir Queen, membuat Queen kesulitan untuk mengimbangi ciuman Auriga yang sangat menggebu.
Queen memejamkan matanya, menikmati lumatan demi lumatan yang kini Auriga lalukan pada bibir atas dan bawahnya. Sama seperti Queen, Auriga juga ikut memejamkan matanya, memelankan tempo ciumannya agar Queen bisa mengimbanginya dan pada akhirnya, keduanya saling berciuman, melumat dan bertukar saliva.
Queen mengalungkan keduanya tangannya pada leher Auriga, sedangkan tangan kanan Auriga memeluk erat pinggang Queen, menjaga keseimbangan tubuh Queen saat tahu kalau kedua kaki Queen pasti terasa lemas bagai jely.
Tautan bibir keduanya terlepas dan Auriga langsung menyerang leher jenjang Queen yang putih halus tanpa adanya cela, mengecupi leher jenjang Queen dengan begitu intens.
Sentuhan yang Auriga berikan pada lehernya semakin membuat gairah Queen meningkat begitu pun dengan Auriga. Nafsu birahi Auriga semakin membara begitu mendengar Queen merintih nikmat atas apa yang kini sedang ia lakukan pada leher jenjang wanitanya.
Secara naluriah Queen mendongak, memberi akses Auriga agar bisa dengan leluasa mengexplore leher jenjangnya. Auriga tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan yang Queen berikan karena itulah ia langsung menyesap kuat-kuat kulit leher Queen, meninggalkan ruam kemerahan di sana.
"Kak stop, nanti ada yang li-lihat," ujar Queen terbata di tengah deru nafasnya yang semakin memburu. Mencegah kedua tangan Auriga saat Auriga akan melepaskan jaket yang ia kenakan.
Auriga menggeram, lalu membawa Queen ke dalam gendongannya, dengan langkah tergesa-gesa, melangkah menuju kamarnya, tak lupa untuk kembali menutup pintu kamarnya dan menguncinya.
***