Perpisahan Halvir dan Anindira

1065 Words
Setelah bicara dari hati ke hati tentang perasaan Halvir dan lamarannya. Akhirnya mereka berdua telah tiba di tempat tujuan. ''Kepala Desa... Ini aku Halvir, aku ingin bicara!'' seru Halvir memanggil dari bawah, dia telah menurunkan Anindira dari gendongannya. Beberapa saat kemudian seorang pria tampan, bertubuh kekar dan juga tinggi, turun menghampiri. Dia berambut hitam seperti Halvir dan bermata ungu terang yang tampak menyala indah. Dia tampak matang dan dewasa, seperti di usia pertengahan tiga puluh tahunan dengan pembawaannya yang tenang berwibawa. Aura di sekitarnya berkata, dia bukan orang yang bisa di pandang sebelah mata. ''Halvir, ada apa?'' tanya pria itu. ''Kepala Desa, ini Anindira... Aku menemukannya di hutan tiga bulan yang lalu, aku ingin menitipkannya padamu... Sekitar dua minggu, aku harus ke Kerajaan Singa menyiapkan keperluan untuknya,'' jawab Halvir dengan gamblang menjelaskannya. ''Ck!'' seru pria itu berdecap menatap Halvir, ''Seperti biasa, kau bahkan tidak berbasa-basi lagi…'' ujarnya kemudian, sambil tersenyum simpul ''Eum,'' jawab Halvir acuh. ''Ramahlah padaku Halvir!'' seru pria itu, ''Kau sedang meminta bantuanku…'' ujarnya lagi melanjutkan dengan nada santai sambil mengistirahatkan tangannya di belakang. ''Kau tahu kalau aku selalu aku menghormatimu,'' sahut Halvir acuh. Halvir tidak terlihat seperti menundukkan kepalanya atau semacamnya, tapi tidak terlihat kesombongan juga pada dirinya, justru Halvir bersikap sopan tapi tidak merendahkan dirinya. Mata Anindira sedikit melotot, dengan wajahnya yang terlihat bodoh. Terus fokus memandang Kepala Desa di depannya, otaknya sibuk mencerna sesuatu, sampai tidak sadar bahwa kedua pria yang penuh wibawa itu sekarang sedang memperhatikannya. ''Wanita muda!'' panggil kepala Desa itu, ''Ada apa?... Ada sesuatu di wajahku yang mengganggumu?'' tanyanya lagi. ''Dira!'' panggil Halvir menyadarkan pikirannya Anindira yang sedang menerawang. ''Hah?!'' seru Anindira terkejut, ''Iya... apa?!'' jawab Anindira gelagapan, Anindira kaget dengan panggilan Halvir sambil mengguncang bahunya. ''Ada apa?'' tanya Halvir lagi. ''Kakak berbohong padaku!'' seru Anindira dengan dahi mengernyit, mulutnya juga manyun. ''Aku?!... Kapan?!... Dan berbohong soal apa?!'' seru Halvir heran, dia bingung dengan tuduhan Anindira. ''Kakak bilang Kepala Desa berusia sembilan puluh tahun?!'' seru Anindira menjawab dengan suara berbisik. ''Ehm-ehm...'' Kepala Desa berdehem memecah obrolan mereka, dia mendengar semua dengan sangat jelas walau Anindira berbisik. ''Halvir tidak berbohong, aku memang sudah sembilan puluh tahun, wanita muda…'' jawabnya dengan tampilan dewasanya yang menonjol, ‘’Tepatnya sembilan puluh tujuh tahun.’’ Anindira terkejut dengan tampilannya yang bahkan hanya sedikit tampak lebih dewasa dari Halvir. Saat itu juga dia mengingat bahwa Halvir pun tidak muda, dia berusia empat puluh lima tahun. Tapi, tampak sebaya dengan kakaknya yang masih duduk di bangku kuliah semester enam. Begitu juga dengan Hans yang masih tampak seperti remaja di awal kuliah, tapi juga sudah berusia tiga puluh lima tahun. Tampilan wajah mereka palsu, untuk usia mereka yang tua, tapi, tidak dengan tubuh mereka. Anindira kemudian ingat seorang remaja yang mendekati mereka saat di sungai. Tubuhnya juga lumayan berotot, tapi bekas-bekas luka di tubuhnya tidak lebih hanya seperti cakaran-cakaran kucing. Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan Halvir dan Kepala Desa, bekas-bekas luka di tubuh mereka sangat dalam dan juga lumayan besar, begitu juga dengan otot-otot yang terbentuk di tubuh mereka tampak lebih berisi. Penampilan mereka dengan jelas menceritakan pengalaman yang mereka miliki. Sedangkan Hans, tampilan tubuhnya tidak jauh berbeda dengan remaja muda yang ditemui Anindira di tepi sungai. ''Wanita muda... Perkenalkan, aku Kepala Desa di sini, Mischa. Aku berasal dari Klan yang sama dengan Halvir… seperti yang dikatakannya barusan, untuk beberapa hari kau akan tinggal bersamaku, semoga kau bisa nyaman tinggal bersama keluargaku,'' ujar Mischa, Kepala Desa memperkenalkan diri dengan sopan pada Anindira. ''Ah!... Tunggu sebentar!'' seru Mischa lagi, dia kemudian naik ke atas dan beberapa saat kemudian turun sambil menggendong seorang anak perempuan. Anak perempuan itu berperawakan sama dengan Anindira, hanya saja dia berkulit putih dengan rambut berwarna karamel sebahu, matanya berwarna hazel jernih, seiras dengan rambutnya. Dia adalah wanita pertama yang dilihat Anindira di DUNIA MANUSIA BUAS ini. Dia punya fisik kecil mungil, sama seperti Anindira Parasnya juga tidak buruk,, tapi masih jauh dari kata cantik, karena terlihat kusam, masih kalah jauh dari penampilan para pria yang tampan rupawan dengan tubuh gagah. Tampilannya termasuk kurang terurus padahal dia lumayan cantik, kulitnya putih tapi kusam dan kering. Rambutnya juga tidak jauh berbeda, terlihat kusam dan berminyak, saling menempel tidak teratur nyaris gimbal. ''Ini anakku Zia, tahun ini dia berusia tujuh belas tahun...'' ujar Mischa memperkenalkan anak perempuannya, ''Zia, ini Anindira, Halvir menitipkannya bersama kita untuk sementara... bisakah dia tinggal bersamamu?'' tanya Mischa pada Zia dengan sangat lembut. Zia mengangguk menjawab ayahnya, sambil tersenyum lebar, matanya berbinar. Tangannya melambai pada Anindira, kemudian dia segera turun dari gendongan ayahnya lalu meraih tangan Anindira dan menggandengnya, ''Kita akan bermain bersama, berapa usiamu Anindira?'' tanya Zia ramah tanpa canggung. ''Tujuh belas,'' jawab Anindira, dia juga tersenyum senang, melihat Zia yang langsung menempel akrab dengannya membuatnya jadi tidak canggung. ''Kita seusia,'' jawab Zia yang juga kegirangan. Seperti kata Halvir, Zia itu cerewet dan blak-blakan. Halvir dan Mischa tersenyum melihat dua remaja langsung akrab di pertemuan pertama mereka. ''Baiklah, Kepala Desa, ini untukmu…'' ujar Halvir sambil menyerahkan tiga buah *Amber pada Mischa. ''Halvir, tidak perlu,'' sahut Mischa dengan tangannya menolak pemberian Halvir, ''Kau juga sudah banyak membantuku, hanya mengurus satu lagi anak perempuan, bukan masalah…'' lanjut Mischa tulus dengan ucapannya. ''Aku tahu, tapi, tidak!... Ini kewajibanku sebagai prianya, kau punya hak menerimanya, lagi pula ada dua wanita yang harus kau urus, kau akan membutuhkannya. Aku tidak mau wanitaku berhutang, apalagi pada pria lain!'' jawab Halvir tegas. ''Halvir, aku sudah punya pasangan…'' jawab pria itu segera menyanggah ucapan Halvir. ''Aku tahu. Makanya aku menitipkannya padamu... karena kau juga harus menghalau mereka (para pria lajang yang akan berusaha mendekati Anindira),'' sahut Halvir serius. ''Huft... '' Mischa menghela nafas panjang, ''Baiklah, terserah padamu,'' jawab Mischa pasrah, dia tahu tidak akan bisa mengubah keputusan Halvir yang telah menetapkan wanitanya. Dengan persetujuan Mischa, Halvir merasa puas. ''Dira, jadi anak baik, tunggu aku pulang!'' seru Halvir sambil membelai kepala Anindira kemudian mencium keningnya. Anindira terkejut awalnya, walau ini sudah kedua kalinya, tapi tetap saja dia kaget. Anindira hanya bisa diam menerimanya, dia merasa malu karena ada orang lain yang memperhatikannya. Tangannya ingin bergerak memeluk Halvir, karena dia juga merasa sedih akan ditinggalkan. Tapi, dia mengurungkan niatnya, dan akhirnya hanya mengangguk patuh. ''Kepala Desa, kutinggalkan dia padamu,'' ucap Halvir padanya sambil berpamitan. ''Dira, aku pergi,'' ujar singkat dengan wajah datar, Halvir membelai kepala Anindira kemudian meninggalkannya. Anindira hanya bisa melihat punggung Halvir yang semakin jauh meninggalkannya, bibirnya bergetar menahan tangis, wajah sayu Anindira juga membuat Zia terharu. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD