016 Gaya
''Mana obatnya, kau sudah selesai, ‘kan?!''
Halvir bertanya dengan nada sedikit ketus. Sambil menggendong Anindira, dia meminta obat yang sudah di racik Hans.
Hans kesal karena Halvir tiba-tiba menghentikan perbincangan serunya. Dengan perasaan jengkel dia menyerahkan bungkusan obat dan menjelaskan aturan minumnya dengan ketus.
Halvir tahu kalau Hans kesal tapi dia tidak peduli. Dia tidak mau wanita yang sudah diakui sebagai miliknya akrab dengan pria lain. Meski ada perasaan takut di hati Halvir karenanya dia tiba-tiba menghentikan perbincangan.
Halvir merasa tidak yakin dengan *Imprint pada Anindira karena dia berasal dari Dunia lain. Dia merasa terganggu dengan hal itu.
Anindira dan Halvir berpamitan, kemudian turun dari rumah Hans, lalu berjalan menuju rumah Halvir.
''Kak, di dekat sini pasti ada sungai?'' tanya Anindira, ''Aku ingin mandi.''
Penampilan Anindira berantakan. Rambutnya kusut dan cepal, badannya lengket dengan kulit terasa sangat kering. Tubuhnya kotor di sana-sini itu sudah jelas.
Anindira setiap mengoleskan daun kayu putih dan kadang-kadang kulit jeruk untuk menghalau nyamuk saat malam tiba. Hal itu secara tidak langsung membuat kesehatan kulit Anindra cukup terjaga. Selain bagus untuk mengusir nyamuk, kayu putih membantu menjaga kelembaban kulit, mencegah kutu parasit dan ketombe di kulit kepalanya. Kulit jeruk membantu membersihkan pori-pori dan memberikan asupan vitamin C. Anindira juga kerap menggunakan bahan lain dari sisa-sisa buah yang dimakan olehnya.
Saat Anindira tiba adalah awal musim panas. Selama perjalanan di hutan, sama sekali tidak ada hujan turun. Air yang ada terbatas hanya untuk minum karena jalur yang digunakan selama perjalanan jauh dari sungai.
''Ada,'' jawab Halvir singkat.
''Yeay...'' seru Anindira mengangkat tangannya, ''Bawa aku ke sana!''
''Baiklah kita akan ke sungai,'' jawab Hans sambil tersenyum melihat kelakuan kekanakan Anindira yang sangat mirip dengan Zia.
''Yeay, aku bisa mandi!'' seru Anindira yang kegirangan mengacuhkan Halvir yang terus tersenyum geli melihat kelakuannya.
''Kau sesenang itu?!'' seru Halvir bertanya sambil tersenyum memencet hidung Anindira.
''Eum,'' angguk Anindira dengan sangat antusias, ''Tentu!''
Wajah Anindira berseri-seri penuh semangat.
''Tapi kita akan pulang dulu,'' ujar Halvir.
''Hah?!'' seru Anindira terkejut, ''Kenapa?'' tanya Anindira kecewa.
''Kita harus ambil baju ganti dulu, kau sudah tiga bulan tidak ganti baju. Tenang saja tidak akan mengambil banyak waktu, lagi pula rumahku tidak jauh dari sungai,'' ujar Halvir, menenangkan Anindira yang menampilkan wajah kecewa.
''Benarkah?!'' seru Anindira kembali memekik kemudian senyum segera kembali di wajahnya, ''Baiklah,'' ujar Anindira dengan senandung anehnya.
Bebrapa waktu kemudian mereka sampai ke tujua. Sama seperti yang lain, rumah Halvir ada di ketinggian, di atas dahan pohon. Halvir menaikinya sambil menggendong Anindira, dengan cekatan seperti biasa. Mereka naik lalu masuk ke rumah yang sudah penuh debu.
''Kak, sudah berapa lama tidak pulang?'' tanya Anindira. Dia melihat debu yang cukup tebal di sana sini.
''Lima bulan.''
''Uwah!!... Lama! Apa kakak sering meninggalkan rumah?''
''Tidak juga,'' jawab Halvir, ''Aku baru saja keluar dari HUTAN LARANGAN saat melihatmu, biasanya aku hanya pergi sekitar tiga bulan ke sana. Hanya butuh satu bulan untuk bisa sampai ke HUTAN LARANGAN dari sini,'' ujar Halvir menjelaskan.
''Ha?!... Lalu kenapa butuh waktu tiga bulan saat denganku?'' tanya Anindira heran.
''Aku harus memperlambat, tubuhmu tidak akan bisa mengimbangiku,'' jelas Halvir.
''Ah! Iya,yah...'' ujar Anindira menjawab sambil menepuk dahi, ''Hehehe...'' lagi-lagi tawa aneh Anindira muncul.
Halvir memberikan *Amber emas pada Anindira saat dia tidur setiap beberapa hari sekali. Itu sebabnya staminanya tetap terjaga walau tempatnya ekstrem. Terhitung, selama perjalanan, Halvir menghabiskan lebih dari tiga puluh *Amber untuk bisa menjaga ketahanan fisik Anindira.
''Akh!'' seru Anindira kemudian memekik, ''Maaf, aku benar-benar sudah merepotkan dan menyusahkan mu...'' ujar Anindira dengan wajah menyesal.
''Aku tidak mengatakannya untuk membuatmu murung, apa aku membuatmu kecewa?'' tanya Halvir menanggapi penyesalan Anindira.
''Eh! Tidak,'' seru Anindira tegas, ''Mana mungkin! Kau sangat baik padaku…''
''Apa perjalanan yang kita lakukan berdua menyenangkan?'' tanya Halvir kemudian.
''Tentu saja! Saaangat senang... Pengalaman yang sangat menakjubkan...''
Anindira memberikan ekspresi sumringah dengan tersenyum lebar saat menjawabnya.
''Itu cukup. Asal kau bahagia, aku akan sangat senang. Anindira aku senang bisa bertemu denganmu, perjalanan kita adalah perjalanan indah untukku, aku bahagia bisa membawamu bersamaku...'' jawab Halvir sambil menepuk lembut kepalanya.
''Ini...'' ujar Halvir sambil menyodorkan sehelai pakaian yang dikeluarkan dari sebuah peti pada Anindira, ''Aku menemukannya, memang akan terlalu besar untukmu, tapi kita bisa gunakan ikat pinggang agar kau bisa memakainya. Bertahanlah sedikit lagi, aku akan pergi ke Kerajaan mencari penjahit dan membuatkanmu baju yang nyaman.''
''Baju dari kulit binatang, berkerah bulat dan tangan pendek. Ternyata ada baju atasan disini. Aku pikir hanya ada bawahan yang seperti rok, seperti yang mereka pakai...'' gumam Anindira memperhatikan pakaian yang ada di tangannya.
Bawahan panjang dengan beberapa aksesoris dan ornamen di pinggang. Dari yang terlihat dari para penjaga waktu di gerbang tadi, juga yang dipakai Hans. Mereka mengembangkan style mereka sendiri, sangat kreatif tampak seperti milik desainer ternama. Ada yang pendek, ada yang panjang, ada yang dililit, ada yang di ikat, pakaian itu di padu-padankan dengan beragam aksesoris dan ornamen yang cantik tampak unik tapi tetap cantik bergaya.
''Iya, ya... sebelumnya aku tidak memikirkannya. Tapi, Kak Halvir, Kak Hans, meski hanya sekilas... pria-pria penjaga tadi juga. Mereka semua... memanjakan mata,'' gumam Anindira di dalam hati.
Anindira memikirkan pemuda-pemuda tampan rupawan dengan tampilan fisik tinggi dan gagah. Hal normal untuk gadis seusianya.
Karena ini musim panas para pria di dunia ini umumnya tidak mengenakan baju atasan. Itu karena, suhu tubuh Manusia Buas cukup tinggi jika di bandingkan dengan manusia normal di dunia Anindira. 37-39 derajat celcius adalah suhu normal tubuh mereka.
Baju yang mereka pakai dari bahan kulit binatang yang tebal dan tidak menyerap keringat yang tentu saja di musim panas akan membuat mereka tidak nyaman.
''Kak Halvir, terima kasih,'' tidak ada kata lain yang bisa diucapkan Anindira, dia tidak bisa menolak karena dia memang membutuhkannya, ''Maaf sudah merepotkanmu.''
''Sudah ku bilang jangan pikirkan itu!'' seru Halvir pada Anindira, ''Ayo, aku akan membawamu ke sungai! Kita akan membersihkan diri. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian untuk pergi berburu, sebentar lagi akan gelap, aku hanya akan mencari ikan saja di sungai untuk kita makan, apa kau keberatan?'' tanya Halvir sambil menggendong Anindira turun.
''Keberatan?!... Tentu saja tidak,'' Anindira menjawab dengan segera.
*****
Anindira segera masuk ke dalam air dengan bajunya karena di tempat umum tidak mungkin dia melepaskan pakaiannya. Tapi, lain halnya dengan Halvir, dia melepas semua pakaiannya dan langsung masuk ke dalam air begitu saja.
Selama tiga bulan perjalanan mereka, setiap malam dan pagi hari, Halvir pasti akan bugil di depan Anindira. Sekarang, melihat Halvir yang tidak mengenakan apa pun sudah tidak lagi mengejutkan, hal itu telah menjadi keseharian Anindira.