011 Salah paham
''Anindira!''
Halvir segera melesat merengkuh lengan Anindira yang hampir jatuh terpelset karena tiba-tiba saja dia panik ketakutan.
''Ada apa denganmu!'' seru Halvir memekik, ''Hati-hati!''
Halvir menghardik Anindira sambil mendekap erat tubuh Aninidra dalam pelukannya.
Tubuh Aninidra gemetaran dalam pelukan Halvir karena dia sendiri juga terkejut ketika nyaris saja terjatuh dari ketinggian puluhan meter.
''Le-pas-kan... aku!'' seru Anindira sambil mendorong Halvir sekuat tenaga.
Tentu saja Halvir sama sekali tidak bergeming di dorong oleh gadis bertubuh mungil seperti Anindira.
''Lepaskan aku...'' pinta Anindira dengan suara bergetar sambil meronta ingin keluar dari pelukan Halvir.
Halvir tidak tahu apa yang terjadi tapi dia bisa dengan jelas merasakan tubuh gemetaran Aninidra dalam pelukannya. Bahkan Anindira yang mengeraskan rahangnya karena emosi Halvir mengetahuinya. Tapi, karena ketidaktahuannya dia malah memeluk Anindira semakin erat.
Hik Hik Hik
Tidak sanggup melawan Halvir, akhirnya Anindira menangis.
Masih dalam pelukannya.
Tidak tahu harus bagaimana bicara dengan Anindira. Halvir membelai kepala Aninidra dengan lembut dan sangat sabar menunggu sampai dia bisa merasakan kalau Aninidra kembali tenang.
Beberapa waktu kemudian Halvir yang merasa jika Aninidira sudah mulai tenang. Perlahan dia mengendurkan dekapannya.
Halvir kemudian memegang kedua lengan Anindira. Setengah berlutut dia berusaha bicara dengan Anindira yang sedang terisak.
''Maafkan aku...'' ujar Halvir lembut dengan wajah sendu tepat berada di depan wajah Anindira, ''Aku tidak tahu apa yang membuatmu bereaksi seperti itu... Tapi setidaknya pikirkan keselamatanmu semarah apa pun dirimu.''
Perlahan dan sangat lembut, jari kasar Halvir menghapus sisa air mata di wajah Anindira.
Masih dengan ritme cepat degup jantung Anindira, mau tidak mau dia menatap bola mata safir biru yang hanya berjarak kurang dari dua puluh centi di hadapannya.
Perlahan perasaan resah di hati Anindira mulai mereda. Kekhawatiran tulus dari sorot mata Halvir tersampaikan pada relung hati Anindira.
''Kenapa kau membukan pakaianmu?'' tanya Aninidira dengan suara parau.
Halvir memiringkan kepalanya merespon pertanyaan Aninidira denga ekspresi bertanya.
''Apa yang ingin kau lakukan dengan membuka pakaianmu?''
Aninidra kembali bertanya lagi masih dengan suaranya yang serak.
Sama seperti sebelumnya, Halvir masih menunjukkan ekspresi bingung tidak mengerti menanggapi Anindira.
''Kau sungguh tidak akan melakukan hal yang buruk padaku, 'kan?!"
Halvir masih diam tapi dia tetap menatap Anindira. Dia serius sedang memperhatikan apa pun yang bisa jadi petunjuk baginya untuk bisa mengerti apa yang sedang diucapkan olehnya.
Sayangnya bukan hanya perbedaan bahasa yang jadi kendala tapi etika dan budaya dari norma yang berlaku di mantara mereka berdua juga adalah masalah. Baik Halvir atau Anindira, keduanya sama-sama tidak bisa memahami perilaku masing-masing saat itu.
''Dunia ini adalah Dunia yang sama sekali asing bagiku. Aku sendirian di sini... selain Kak Halvir, aku tidak punya siapa-siapa untuk bergantung. Jadi ku mohon Kak, jangan rusak penilaianku padamu, atau aku akan sulit mempercayai siapa pun lagi!''
Huhuhu...
Aninidra kembali menangis tak kuasa menahan emosi di hatinya.
Terbelalak mata Halvir melihat Anindira kembali menangis. Hatinya pilu menahan sebak. Berat rasanya batu yang mengganjal di sanubarinya melihat betapa sedihnya gadis yang telah menambat jiwanya. Bahkan air matanya serasa ingin mendobrak keluar.
''Aku sungguh bingung sekarang!''
Tangan Halvir masih, memegang erat lengan Anindir. Kepalanya masih sejajar dengan Anindira. Tapi kali ini dia tertunduk memperlihatkan betapa frustrasinya dia sekarang.
''Sampai kapan kita akan terus seperti ini?!'' keluh Halvir masih dengan kepala tertunduk dan tangan memegang lengan Aninidira, ''Kau adalah milikku. Tapi, entah kenapa aku tetap merasa tidak nyaman dengan itu... Sebelumnya aku sangat percaya diri karena aku adalah *Safir. Tapi, menghadapimu... itu semua jadi tidak berguna. Apa yang harus aku lakukan... apa maumu sebenarnya?!''
Aninidira yang awalnya merasa marah dan juga panik ketakutan. Kali ini dia malah merasa iba melihat bagaimana tertekannya pria besar bertubuh kekar berotot dengan bekas luka malang melintang di beberapa bagian tubuhnya.
''Kak, apa kau menangis?''
Aninidra serius bertanya pada Halvir. Perlahan kedua telapak tangannya menangkup pipi Halvir. Mengangkat wajah Halvir mendongak memprlihatkan ekspresinya yang seperti ingin menangis.
''Ternyata tidak...'' tukas Anindira setengah bergurau karena dia terkejut melihat ekspresi Halvir yang sangat jauh berbeda dari yang biasa dia tahu.
''Kau sudah tenang sekarang?'' tanya Halvir dengan hati-hati.
''Aku tidak mengerti...'' jawab Aninidra menggelengkan kepalanya menaggapi Halvir, ''Meski begitu, sepertinya aku seharusnya tidak usah takut karena kau tidak akan melakukan sesuatu yang buruk padaku...'' tambah Anindira lalu sedikit menjeda ucapannya, ''Sepertinya.''
''Kau tidak akan melakukan sesuatu yang akan membahayakan dirimu lagi, bukan?!"
''Sudah aku bilang aku tidak tahu apa yang kau katakan. Tapi, situasi ini...'' ucapanan Aninidira terhenti dengan wajahnya yang memerah, ''Aneh!''
Halvir mengernyitkan dahi melihat tingkah Anindira tapi dia cukup merasa tenang karena dia merasa kalau Anindira tidak lagi merasa panik ketakutan.
''Sebetulnya, apa yang ingin kau lakukan dengan membuka pakaianmu?!'' tanya Aninidira dengan nada kesal tapi dia yakin kalau kecurigaannya tadi salah, ''Aku, satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku tapi bukan berarti melihat tampilan vulgar seorang pria tidak akan membuatku kebingungan... ini memalukan...''
Anindira mengeluh sambil berusaha sebisa mungkin untuk menghindari bagian bawah tubuh Halvir.
''Tidur!'' pekik Anindira kemudian meski sebagian besar alasannya untuk menghindari suasana canggung, ''Sebaiknya tidur. Aku sangat lelah.''
''Kak Halvir ayo tidur saj... Heup!'' seketika itu njuga Aninidra menangkup mulutnya, dia terkejut dengan ucapannya sendiri.
''Bodoh!!!'' pekik Anindira di dalam hatinya, ''Baru saja aku terbebas dari masalah aneh itu... kenapa malah aku sendiri yang seolah mengundangnya untuk melakukan hal...'' Anindira menghentikan gumam anehnya karena merasa malu sendiri.
''Huwah, masa bodoh!'' teriak Aninidra kemudian meluapkan kekesalannya.
''Anindira!''
Halvir terkejut dengan Aninidra yang tiba-tiba berteriak tapi dia tidak panik karena dia merasa tidak ada ya ng perlu di khawatirkan dari perilaku Anindira sekarang.
Dengan sangat berhati-hati Halvir membawa Aninidira untuk duduk bersandar. Halvir mendudukkan Anindira di tepat di hadapannya.
''Tenanglah!'' seru Halvir lembut sambil tetap mendekap Anindira, ''Kau bisa mati kedinginan jika menjauh dariku.''
Anindira merasa risih tapi dia berusaha untuk tetap tenang dan bersabar agar kejadian tadi tidak terulang lagi.
''Tenang Dira, tenang!'' pekik Anindira di dalam hatinya dengan wajah memerah, ''Maunya sih begitu. Tapi bagaimana?!... Di bokongku... aku bisa merasakannya. Itu punyanya laki-laki... duduk di pangku sama cowok bugil. Aneh kalau enggak gugup!''
''Anindira, perjalanan kita masih sangat jauh. Kamu harus banyak beristirahat agar tidak sakit...'' ujar Halvir tanpa tahu apa yang dipikirkan gadis dalam dekapannya.
Baru saja Anindira menenangkan dirinya dari perasaan aneh saat suara Halvir bergetar di tengkuk lehernya. Beberapa saat kemudian kejadian tadi pagi yang sempat dilupakan Anindira di reka ulang.
Hanya saja. Kali ini, sebaliknya.
Manusia Halvir, berubah wujud menjadi Jaguar hitam besar.
Dan tentu saja, lagi-lagi Anindira dibuat syok.
Keterkejutan Anindira sudah mencapai ambang batas yang bisa diterimanya. Tidak lagi mampu mengeluh dengan jiwa dan raga yang sudah kelelahan. Akhirnya dia harus menyerah dengan keadaan.
Anindira tertidur di atas tubuh jaguar Halvir yang lembut dan hangat. Pakaian Halvir yang hanya menjadi penutup bagian bawah tubuhnya menjadi selimut yang nyaman untuk Aninidra yang bertubuh mungil.
**