010 Amuk Anindira
Perbincangan mereka terus berlanjut dengan Halvir menunjuk dan menyebutkan nama-nama benda di sekeliling mereka, sampai akhirnya daging kelinci pun matang dan siap di santap. Rasanya hambar tapi dia Anindira tetap bisa menikmatinya. Lagi pula kalau pun dia mau rewel, situasi tidak memungkinkan baginya untuk pilih-pilih makanan.
''Hambar,'' ujar Anindira setelah menggigit secuil daging kemudian mengunyahnya, ''Meski begitu rasanya tidak buruk. Sayangnya alot, rahangku pegal.''
Anindira bicara sambil mengangkat menunjukkan daging yang sudah di cuil lalu memamerkannya pada Halvir.
Daging kelinci itu punya rasa alami yang khas dengan aroma kayu bakar dan daun yang membungkusnya.
''Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Tapi, melihatmu makan dengan baik. Itu artinya kau menyukai daging yang aku masak untukmu. Itu bagus, kau tidak akan kelaparan kalau begitu.''
Anindira tidak bisa menghabiskan kelinci bagiannya, perutnya sudah penuh. Halvir kemudian membungkus sisa daging bagian Anindira dengan daun dan mengikatnya dengan kulit pohon agar lebih mudah dibawa.
Pemuda itu menggendong Anindira lalu berjalan melanjutkan perjalanan.
Anindira terkejut karena dia pikir dia akan dibawa untuk naik kembali ke atas atas pohon.
''Anu... Kak Halvir... Turunkan aku!'' seru Anindira yang canggung.
Karena sudah merasa saling mengenal dan lebih akrab satu sama lain. Anindira tidak lagi menggunakan penyebutan 'tuan', tapi 'kakak', karena dia merasa Halvir sepantaran dengan kakaknya. Raffa yang berusia 21 tahun.
''Anu, tolong turunkan aku...'' pinta Anindira yang merasa malu, ''Kalau mau berjalan, aku akan jalan sendiri...''
''Tenanglah!'' seru Halvir tegas tapi lembut, ''Perjalanan masih jauh. Kalau aku tidak menggendongmu akan memakan waktu yang lebih lama. Bagiku tidak masalah tapi bisa buruk untukmu. Dengan begini akan lebih cepat, kita tidak bisa terus berlama-lama di hutan... itu sangat berbahaya!''
Anindira bingung mendengar Halvir bicara panjang lebar tanpa bisa memahami apa maksudnya. Anindira terpaksa menyerah pasrah. Bukan hanya karena dia hanya bisa mengikuti apapun yang diperintahkan Halvir. Tapi, Halvir sangat kuat yang tentu saja Anindira tidak akan mampu melawannya.
*****
Perjalanan dilakukan sambil berbincang hingga tidak terasa hari sudah semakin gelap.
Halvir mulai mendongak ke atas, mencari-cari sesuatu. Saat dia menemukannya, dia melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain. Terus, sampai ke puncak teratas, sambil tetap menggendong Anindira. Ketika tiba di tempat yang dituju, dia pun menurunkan Anindira dari gendongannya.
''Urgh...'' Anindira meregangkan badannya yang kaku dan pegal-pegal, ''Eumh, otot-ototku tegang. Padahal aku di gendong, yang jalan Kak Halvir tapi tetap saja lelahnya bukan main.''
''Kau lelah?''
Halvir terlihat mengasihani Anindira yang dengan segera meluruskan kakinya sambil memukul-mukul pelan bagian pahanya begitu di turunkan dari gendongan.
Aninidra masih belum bisa memahami apa yang di ucapkan oleh Halvir meski di sepanjang jalan mereka berdua nyaris tidak berhenti mengoceh walau pun obrolan mereka terkesan hanya berjalan satu arah. Tentu saja, Aninidra yang paling banyak bicara mengingat dia juga adalah yang paling cerewet di dalam keluarganya.
''Kemarikan kakimu!'' seru Halvir sambil duduk bersila tidak jauh dari Anindira, ''Sini ku pijat untuk melemaskan otot-ototmu yang kaku.''
''Kak, mau apa?!'' pekik Anindira terkejut saat Halvir meletakkan kakinya di atas pangkuannya, ''Jangan kak, aku tidak apa-apa...''
''Kau tahu kalau aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kau ucapkan. Diamlah! Jika terjadi sesuatu padamu di tempat seperti ini pasti akan merepotkan karena aku tidak tahu harus bagaimana jika itu terjadi.''
''Aku tidak tahu kau bicara apa... tapi Kak Halvir, sepertinya kau sedang kesal... Kenapa? Apa aku menyusahkan?''
Mengernyit dahi Halvir melihat ekspresi sedih Anindira. Kalimat panjang dengan suara Aninidra yang bergetar membuat Halvir sedikit merasakan kalau Aninidra mulai merasa tertekan lagi.
''Aku sungguh merasa kesal pada diriku sekarang. Aku seorang *Safir tapi melihatmu seperti ini, aku merasa kalau aku tidak berguna... Selain Anindira, namamu. Aku tidak tahu apa pun tentang dirimu... Kau dari klan apa? Desa mana tempatmu berasal? Apa yang terjadi sampai kau bisa tersesat sendirian di perbatasan *Hutan Larangan. Tidak bisa berkomunikasi dengan benar sangat membuatku jengkel!''
Anindira pasrah membiarkan Halvir memijat kakinya karena dia urung menarik kakinya secara paksa ketika mendengar Halvir berbicara dengan beragam ekspresi yang menunjukkan jika dia sedang dalam suasana hati yang buruk.
''Anindira!'' panggil Halvir dengan wajah bersimpati menatapnya sendu.
''Iya, Kak Halvir...''
Halvir diam beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum, ''Setidaknya, sekarang kau menjawab jika aku memanggilmu.''
SYUUU
Aninidira langsung menggigil merespon hembusan angin yang tiba-tiba datang dan melakukan kontak dengan kulitnya.
''Huft,'' desah Halvir melihat Anindira yang memprihatinkan, ''Aku tidak tahu apa yang dipikirkan orang tuamu dengan memberikan pakaian tipis padamu. Atau, ini bukan pemberian orang tuamu?! Entah kain apa yang kau gunakan, sangat tipis.''
Halvir membuka bungkusan sisa daging kelinci yang tidak bisa di habiskan Anindira tadi. Juga ada beberapa buah yang dipetik di selama perjalanan mereka tadi.
''Makanlah dulu, setelah itu istirahat, kemudian tidur!''
Beberapa waktu kemudian mereka telah selesai dengan makan malam mereka, Anindira juga sudah cukup mencerna makanannya sambil sedikit berbincang-bincang dengan Halvir. Matanya mulai sayu, dia kelelahan dan mengantuk.
Saat Anindira hendak merebahkan badannya, Halvir menahannya.
Halvir segera bangkit berdiri melepaskan pakaiannya, Anindira yang matanya tadinya say tiba-tiba terbelalak kaget melihat pemuda tampan bertubuh kekar bugil di hadapannya dengan santainya.
''KAK HALVIR!'' seru Anindira menjerit, ekspresi terkejutnya berbarengan dengan wajah marahnya.
Tindakan sembrono Halvir membuat Anindira ketakutan setengah mati. Berbagai pikiran negatif tentang pria yang sempat mengganggu Aninidra di pertemuan pertamanya dengan Halvir kembali terlintas di pikirannya sekarang.
''Menjauh dariku!'' pekik Anindira dengan mata melotot meski berlinang air mata, ''Apa pun yang kau pikirkan sekarang jangan coba-coba untuk melakukannya... Meski kau membantuku selama ini tapi aku ytakinkan padamu akalau kau tidak akan segan mengambil keputusan ekstrem...''
Halvir terkejut dengan Anindira yang tiba-tiba terlihat marah sekaligus ketakutan kepadanya. Dahi Halvir mengernyit memikirkan apa yang merasuki Anindira tiba-tiba saja.
''Kau kenapa lagi?!'' pekik Halvir keheranan, ''Ada apa denganmu?! Apa yang mengganggumu?!''
''AKU TIDAK TAHU APA YANG KAU KATAKAN!'' pekik Anindira dengan nada histeris, ''Meski kau kmerayuku sekali pun aku tidak akan mengerti!''
Terbelalak mata Halvir karena terkejut tiba-tiba saja Anindira membentaknya.
''Anindira!'' panggil Halvir yang berusaha menahan emosinya untuk tidak marah, ''Tenangkan dirimu, karena aku tidak mengerti apa yang terjadi... aku dan kau sama-sama kesulitan dalam berkomunikasi. Kau tiba-tiba saja mengamuk seperti itu... Aku sama sekali tidak tahu apa yang mengganggumu.''