030 Ayah
''Hm!'' Anindira terkejut lalu di dalam hatinya, ''Di pohon ini ada lebih dari satu rumah... Jadi ingat, apa maksud Kak Halvir dengan wilayah kepemilikan pribadi, waktu aku menanyakan tentang kenapa tidak setiap pohon besar ada penghuninya? Pohon tempat Kak Halvir dan Kak Hans tinggal hanya ada satu rumah yang bertengger. Tapi di pohon ini, ada banyak, padahal dia kepala desa...''
''Anindira, masuklah!'' seru Mischa di teras saat sudah tiba di tersa rumah, ''Untuk sementara kau tinggal di sini bersamanya.''
''Baik paman, terima kasih...''
''Anindira, ayo masuk!'' ajak Zia yang sudah menunggu di depan pintu rumah.
Anindira melihat sekilas ada sebuah rumah yang ukurannya dua kali lebih besar dari rumah Zia di dahan tepat di atas dahan tempat rumah Zia bertengger. Sedangkan di dahan yang ditinggali rumah Zia ada dua rumah berjejer. Ketika masuk ke rumah Zia, nuansanya jauh berbeda dengan rumah Halvir.
Interiornya beragam memenuhi ruangan. Ada beberapa kotak kayu tempat menyimpan pakaian atau pun kain dan semacamnya. Ada tempat tidur besar yang terbuat dari jerami yang dilapisi kulit binatang sama seperti tempat tidur Halvir. Kemudian ada sebuah meja dan rak di samping tempat tidur. Kurang lebih seperti meja rias yang lengkap dengan peralatan untuk keseharian Zia. Perabot di dalam rumah Zia beragam bentuk dan bahan. Ada yang terbuat dari kayu, tanah, juga batu. Unik dan sangat tradisional.
''Wow!'' pekik Anindira di dalam hati, ''Ternyata aku meremehkan dunia buas yang primitif. Unik tapi memanjakan mata. Ornamen dan pernak-pernik, aku duga ini pasti perhiasan. Beragam bentuk dan model, berjajar rapi di salah satu rak. Kemudian, lihat itu di empat sudut ruangan...'' Anindira menyentuh dan mencoba mencium aroma sesuatu yang ada atasnya, ''Tallow?! Ini Lilin lemak... jadi tiang berkaki ini digunakan sebagai tempat lilin. Wow, menarik ini sedikit lebih tinggi dariku dan juga Zia. Berdiri di empat sudut ruangan. Jadi mereka juga punuya penerangan... bagus, setidaknya aku tidak lagi gelap-gelapan.''
''Zia, kau menggunakan ini?!'' tanya Anindira dengan sangat antusias, ''Ini, kau nyalakan bukan?!''
''Lilin?!'' seru Zia heran melihat reaksi Anindira yang terkesan berlebihan, ''Tentu, jika sudah gelap itu akan dinyalakan. Sekarang masih terang karena ada cahaya matahari.''
''Aku tahu itu... jadi #Lilin, ini namanya lilin!'' seru Anindira mengulangi ucapan Zia, karena Anindira baru saja tahu namanya. Halvir tidak mengajarkannya karena di rumahnya tidak ada.
''Aneh, kau seperti baru melihatnya saja...'' ujar Zia sambil tertawa. Dia merasa aneh dengan reaksi Anindira.
''Eum.'' sahut Anindira sambil mengangguk menanggapi Zia, ''Aku baru melihatnya. Kau tidak tahu bagaimana tersiksanya aku jika malam tiba. Tapi dengan ini, aku bisa lebih nyaman... Ku rasa tidak ada Kak Halvir tidak akan masalah untukku selama ada lilin.''
''Hm?!'' mengernyit dahi Zia menanggapi Anindira hingga membuatnya bergumama di dalam hati, ''Kasihan Halvir, kedudukannya langsung tergantikan oleh sebuah lilin.''
''Mungkin barang-barang ini yang dicari Kak Halvir. Selain tempat tidur dan peti, aku tidak melihat itu semua ada di rumah Kak Halvir,'' pikir Anindira dalam hati masih fokus memandangi barang-barang yang menurutnya unik dan mengacuhkan ekspresi Zia yang keheranan dengan kelakuan Anindira yang norak.
''Zia, dimana ibumu, aku tak melihatnya?'' tanya Anindira.
''Dia pergi bersama Ayah Ruvi,'' jawab Zia.
''Ayah!'' Anindira refleks memekik karena terkejut, ''Ruvi?! Lalu yang tadi?! Paman Mischa...'' tanya Anindira menyelidik.
''Ayah?!'' sahut Zia dengan nada bertanya.
''Dia ayahmu kan?!''
''Iya, ayahku. Kau lupa?! Sudah berkenalan 'kan, baru saja tadi...''
''I-iya sih...?!'' Anindira kebingungan menanggapi Zia, ''Ah, mungkin begitu!... Dasar aku yang tidak peka... Ternyata primitif pun ada perceraian juga...''
''Maaf Zia...''
''Maaf?!'' tanya Zia bingung, ''Untuk apa?''
''Itu... Aku pikir, aku telah menyakitimu, karena mengingatkanmu tentang ibumu…'' jawab Anindira sambil menunduk malu.
''Memangnya apa yang salah dengan mengingat ibuku? Kalau dia ada di sini, dia juga akan mengobrol bersama kita,'' sahut Zia masih dengan tingkah cerianya.
''Tunggu!... Sedang pergi?!... Maksudmu, ibumu tinggal di sini bersamamu?!'' pekik Anindira sambil menunjuk ke bawah.
Anindira terkejut hingga kembali bertanya dengan wajah herannya.
''Tidak!'' seru Zia tegas menjawab, ''Ibu tinggal di rumah utama tepat di atas rumah ini…'' ujar Zia melanjutkan jawabannya sambil jarinya menunjuk ke atas.
Anindira masih tidak bisa memahami ucapan Zia yang menurutnya tidak masuk akal.
''Aku pernah melihat kabar berita tentang pasangan suami istri yang kacau. Tapi jika yang seperti ini... apa akan aman tinggal di sini?! Dia sudah punya pasangan baru tapi memilih tinggal di wilayah yang sama. Apa bedanya dengan tinggal satu atap?!'' Anindira sibuk menimbang beberapa aspek di dalam hatinya. Banyak hal yang membuatnya semakin keras berusaha memproses semua maksud dari ucapan Zia, semakin dalam, jauh ke dalam otak kecilnya yang terbatas.
''Kau bilang ibumu sudah punya pasangan baru... Dan, itu pun di atas rumahmu?!... Bukankah ada banyak pohon yang lain?!'' tanya Anindira dengan wajah gamang sambil mengernyitkan dahi.
''Apa maksudmu?... Kenapa Harus di pohon lain?... Apa yang salah dengan rumah ibu di atas rumah ayahku?'' sahut Zia balik bertanya dengan wajah heran.
''Bagaimana bisa tidak salah?'' tanya Anindira, ''Tunggu dulu! Apa aku yang terlalu berlebihan menanggapi masalah orang dewasa?'' tanyanya lagi, ''Kepala desa juga santai saja... kau juga tidak bermasalah kalau ibumu bersama orang lain...'' ujar Anindira kemudian menjawab pertanyaannya sendiri.
''Tentu tidak seperti itu!'' seru Zia langsung menghardik, ''Orang lain tentu masalah!'' seru Zia menjawab dengan tegas, ''Harus ada persetujuan dari ayahku. Kalau tidak, bukan hanya ayahku. Tapi pasangan-pasangan ibu yang lain juga punya hak untuk membunuhnya, karena mengganggu ibu tanpa izin pasangan-pasangannya!'' seru Zia melanjutkan menjawab dengan sangat serius.
''Ha?! Membunuh?!'' seru Anindira bertanya dengan terkejut, dia kaget mendengar hal ekstrem yang di ucapkan Zia. ''Tapi... tunggu!... Tunggu dulu!... Pasangan... pasangan?... Apa aku salah dengar atau salah mengartikan?'' tanya Anindira melihat ke arah Zia dengan wajah bodoh yang melongo.
Zia dibuat heran oleh Anindira sampai memundurkan kepalanya, karena Anindira langsung menghampiri Zia melihatnya dengan sangat serius, ''Ada apa?... Kenapa?" tanya Zia dengan wajah mengernyit, mata Zia tampak sedikit takut melihat reaksi Anindira yang terkesan aneh.
''Lalu bagaimana dengan ayahmu?!'' sahut Anindira masih dengan nada tingginya, ''Dia tinggal bersamamu kan?! Di sini, tepat di bawah rumah ibumu bersama siapa itu...?''
''Ruvi...'' jawab Zia masih menyimak ucapan Anindira yang membuatnya bingung.
''Iya, Ruvi!''
''Tidak, ayah Ruvi ada di bawah!'' sahut Zia dengan segera, ''Ayah yang pertama, makanya rumahnya berada tepat di bawah rumah ibu.''
''Apa?... Tunggu, tadi #pasangan-pasangan... lalu sekarang pertama?!... Jadi siapa sebenarnya Ruvi itu...''
''Ayahku...''
''Lalu, Paman Mischa?!''
''Ayahku...''
''Keduanya ayahmu?!''
''Iya...''
''Lalu... Ayahmu?!'' seru Anindira bertanya dengan wajah lebih heran lagi, ''Yang mana satu jadinya...'' tambah Anindira dengan suara pelan dan ragu-ragu.
''Apa maksudmu?!''
''Ayahmu Zia, ayah kan-dung...?! Tunggu, apa bilangnya di sini?'' Dan lagi, apa tidak apa-apa aku menanyakannya?''
''Aku tidak mengerti, kau itu mau bilang apa Anindira. Bukan hanya dialekmu yang aneh tapi kau juga suka bicara hal yang aku tidak mengerti...''
''Maksudku, tidak mungkin 'kan kalau keduanya ayahmu?!''
''Keduanya ayahku, aku punya lima ayah...''
''Ha?!''
''Ada apa dengan wajahmu, kau aneh...'' Zia mulai tidak nyaman dengan sikap dan pertanyaan-pertanyaan aneh yang diajukan Anindira, ''Anindira, mungkin kita harus menemui Hans. Aku rasa ada masalah denganmu yang tidak diketahui Halvir saat dia menyelamatkanmu.''
''Apa, Hans?! Aku sudah menemuinya, kemarin saat aku tiba di sini.''
''Dia tidak bilang apa-apa mengenai kesehatanmu?''
''Biasa saja. Dia bilang aku sehat, tidak ada masalah...''
''Apa dia tidak memperhatikan kepalamu?!''
Mengernyit dahi Anindira dengan mata melirik menyelidik maksud ucapan Zia.
''Aku takut ada masalah dengan kepalamu makanya kau jadi seaneh ini...''
''Apa?! Itu mksudmu! Tidak... kepalaku tidak apa-apa.''
''Tapi kau aneh!''
''Tidak, kau yang aneh!'' pekik Anindira di dalam hati, ''Lima ayah! Yang benar saja... Tunggu... Sial! Aku lupa... kenapa aku bersikeras dengan pemikiranku?! Dunia ini adalah dunia yang berbeda... bodoh, ikuti saja! Kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya...''
''Ehm,'' Anindira berdehem setelah mengambil nafas, ''Kau akrab dengan kelima ayahmu?'' tanya Anindira yang penasaran. Karena sikap Zia yang sangat terbuka membuat Anindira nyaman. Dia tidak peduli lagi dengan keragu-raguannya untuk mencari tahu hal yang awalnya dia pikir cukup sensitif untuk di bicarakan.
''Tentu saja. Mereka sangat menyanyangiku...''
Zia seolah tidak peduli dengan sikap negatif Anindira dalam menyikapi ucapannya. Itu semua karena konsep yang di kepala Anindira dan konsep yang di kepala Zia jauh berbeda tentunya.
''Kau juga... menyanyangi mereka?!''
''Tentu saja. Itu tidak perlu di tanyakan!''