"Jadi lo suka sama Ellery gitu?"
Darren mengangguk polos. Ferril menahan tawa. Entah kenapa ia mau-mau saja diajak ke sini. Ya bukan apa-apa sih. Membantu mencarikan jodoh untuk Arya, Darren, dan Juna adalah hal yang sangat lucu bagi mereka sih. Mereka? Ya bagi mereka yang udah gak jomblo. Hahaha. Jadi saksi atas kegagalan asmara adalah hal yang biasa juga.
"Ellery tuh sebetulnya ya suka yang maskulin gitu."
Ia langsung memperbaiki cara duduknya. Vania terbahak. Bukan karena Darren duduk agak feminim sih. Jennie tertawa. Maksudnya bukan itu. Ia tahu kalau Darren bukan cowok lembek. Yang dimaksud olehnya di sini adalah Ellery lebih suka yang maskulin berkulit cokelat dan tinggi. Wajah kayak koko-koko begini sih gak masuk kriterianya sama sekali. Hahahaa.
"Maksud gue, yang Indo banget lah. Yang kulitnya kecoklatan yang yaaah manis gitu deh."
Darren berkecil hati mendengarnya. Hahaha. Vania menepuk-nepuk bahunya. Lalu apa katanya?
"Ketertarikan emang penting sih. Apalagi kan referensi orang berbeda-beda."
Ferril terbahak. Darren ingin sekali menjitak kepalanya. Bukannya malah mendukungnya eeh malah semakin memojokkannya. Kan sebal ya. Jennie terkekeh.
"Ya emang sih. Tapi kan kita gak tahu ya. Siapa tahu gitu Ellery tertarik bukan karena visual look-nya gitu. Kan elo......," ia menatap Darren. "Bukan yang jelek juga lah."
Mereka tertawa. Tapi Darren memang ganteng sih. Kayak artis jadul banget kalau katanya Vania. Siapa? Itu loh Roger Danuarta. Nah iya, mukanya memang seperti itu. Koko-koko banget. Jadi menurut Jennie ya masih ada kesempatan lah. Jangan patah semangat dulu. Kan kita tak pernah tahu ya. Jodoh itu tak bisa diperhitungkan dengan cara manusia. Ya gak sih?
"Kira-kira lo mau kenalan atau gimana?"
"Dia biasanya kalo kenalan sama cowok itu gimana?"
Darren bertanya balik. Ia kan ingin tahu. Jennie tampak berpikir. Ya ia tahu sih kalau lelaki ini mualaf. Tapi ia kan tak tahu bagaimana pergaulannya. Ia juga tak begitu mengenal Ferril dan yang lain kan. Maksudnya tak dekat-dekat amat. Kalau bertemu paling sekedar menyapa hai begitu saja.
"Kalo El sih ya kencan buta gitu. Blind date. Paham kan? Jadi ketemu di mana gith sama si cowok. Kalo oke ya pendekatan."
"Ada berapa mantannya?"
"Gue tanya balik nih. Mantan lo ada berapa?"
Darren berdeham. Ferril tertawa bersama Vania.
"Ya kalo lo ngomongnya sebelum gue mualaf sih emang ada banyak. Tapi setelah gue mualaf, gue gak nyari pacar."
Jennie mengangguk-angguk. Ia paham. "El sebetulnya juga gitu sih. Mungkin lu bisa jadi pilihan. Tapi dia tuh pernah patah hati banget gitu loh sama cowok."
"Patah hati kenapa?"
Jennie berdeham. Karena ia melihat sepertinya Darren ini baik dan punya niat yang baik untuk mendekati Ellery ya akhirnya ia ceritakan saja.
"El itu pernah pacaran lama sama cowok. Ya temen SMA-nya gitu deh. Dulu emang pernah suka tapi gak sampai jadian karena waktu itu, si cowok masih punya pacar juga. Nah setelah beberapa tahun kerja, dia ketemu lagi sama tuh cowoj. Ya suka lah. Katanya juga lagi jomblo. Terus ya pacaran deh. Lumayan lama sampai dua tahun lalu mau nikah gak jadi."
"Kenapa?"
"Ternyata selama mereka pacaran itu ya kirang lebih 4 atau 5 tahun begitu lah, tuh cowok sebenarnya jadiin dia selingkuhan. Sebenarnya tuh cowok masih pacaran sama cewek yang sama dengan pacarnya waktu SMA. Jadi waktu ketemu lagi sama Ellery diawal-awal El meniti karir itu, tuh cowok cuma yaa biasa lah yang namanya hubungan tuh putus-nyambung."
"Tapi dia deketin El tetep?"
"Iya. Makanya bisa sampai pacaran dan itu terjadi bertahun-tahun. El gak pernah tahu kalau dijadiin selingkuhan."
"Kok bisa gak tahu?"
"El gak pernah main medsos. Gak pernah curiga juga. Kan mereka bertahun-tahun itu LDR. El kan di sini, di perantauan. Tuh cowok ya do kampung halamannya El. Jadi jarang keremu juga."
"Batal nikahnya karena El tahu semua itu?"
"Ya. Tuh cowok jujur. Minta maaf. Katanya gak akan mengulangi kesalahan itu. Makanya mau serius nikahin El setelah satu tahun bener-bener putus dari mantannya itu. Karena mantannya juga udah nikah sama cowok lain yang mebih mapan lah dibandingkan dengan dia. Dia tuh pengusaha tapi ya pengusaha yang belum gede banget usahanya. El juga mau gitu pulang kampung kalau jadi nikah sama cowok itu dan ninggalin karirnya. Eeh pas jujur, dia sakit hati lah. Lebih baik batal nikah. Karena orang yang selingkuh akan ada kesempatan untuk selingkuh lagi."
Darren mengangguk-angguk. Informasi ini jelas sangat membantunya sih. Terutama untuk mendekati El kan? Ia jadi tahu. Meski bingung juga. Bagaimana ia bisa masuk ke dalam hatinya? Ia sedang berpikir caranya untuk bisa ke sana.
"Kalo sekarang, kak El mau buka hati, kak?"
Kali ini Vania yang bertanya. Persoalan masa lalu kan sudah selesai. Harusnya sekarang ada kesempatan untuk yang ingin masuk.
"Ya sebenarnya pasti ad akeinginan untuk menikah. Tapi dia tuh lebih gede takutnya. Dia selalu ngomong, ngapain gue nikah kalo hidup gue lebih kacau dibandingkan saat sendiri." Ya bener juga."
Jennie sih bisa merasakan bagaimana perasaan Ellery. Karena ia juga baru mulai berdamai dengan hal itu kan? Apa kabar mantannya? Ya persetan lah ya. Hahahaha. Kayak gak ada hal lain yang patut dan sesuai untuk dibicarakan saja.
@@@
Diana jelas mendongak karena tahu-tahu ada yang menaruh bunga di depannya. Si perawat yang menemaninya hanya menahan tawa di belakang pintu. Ya gak kaget sih. Karena ia masih ingat muka Aidan. Jadwal check-up-nya kan memang hari ini. Kalau sudah membaik infeksinya dan sudah kering ya bisa operasi kecil nantinya. Tentunya untuk mengobati gendang telinganya yang bolong itu.
Tapi Diana tak berkata apapun sih soal bunga itu. Ia mengalihkan perhatiannya pada hal yang menurutnya jauh lebih penting dari pada menanggapi Aidan.
"Telinga kamu masih berdarah?"
"Kalau darah sih sudah enggak, dok."
"Kalau nanahnya gimana?:
"Udah gak juga."
Diana mengangguk-angguk. Tapi ia tetap perlu tindakan untuk menghilangkan kotoran telinga. Ya sekaligus meliaht perkembangannya bagaimana. Ia diminta untuk segera duduk di kursi yang sama ketika ia datang satu minggu yang lain. Aidan merinding ketika ada alat yang masuk ke telinganya. Kemudian layar menunjukan kondisi gendang telinganya yang bolong. Diana menjelaskan kalau nanti akan ada operasi ini.
"Operasinya gak lama. Cuma beberapa jam dan gak perlu nginep juga. Bisa langsung pulang. Hanya saja jangan terbang dulu naik pesawat untuk yaa setidaknya 3 bulanan ke depan lah."
Aidan mengangguk-angguk. Baginya tak penting yang itu. Hahaha. Lalu yang penting yang mana?
"Yang mengoperasi dokter kan?"
Diana mengangguk. Karena Aidan memang pasiennya. Ia membuatkan resep untuknya tebus. Tentu masih ada obat-obatan yang harus ia konsumsi sembari menjadwalkan operasi.
"Untuk operasi, saya harap sih ada wali. Kalau orangtua kamu terlalu jauh--"
"Orangtua saya ada kok, dok. Tenang saja," ia mengulum senyum. Meski iya tak tahu juga sih bagaimana respon ummi dan abinya kalau ia naksir dokter yang satu ini. Hahahaha.
Perbedaan usia sudah jelas jauh sih. Aidan yang yah lihat lah. Kuliah lulus saja belum kok. Diana malah sudah menyelesaikan spesialisnya. Ia sih masih belum dapat apapun informasi yang membuatnya dapat mengenal lebih jauh soal Diana. Bahkan usia pun masih tak tahu. Ia hanha bisa menebak ya paling tua mungkin 32 tahun? Hahahaha. Karena pendidikan spesialisnya itu loh yang meragukannya. Bahkan bisa jadi lebih tua dibandingkan dengan perkiraannya. Ya kan? Ya memang tak mudah sih menjadi dokter. Ia tahu sekali. Umminya saja hanya sampai dokter umum kok. Kan sudah sibuk mengurus anak setelahnya.
"Kalau awal bulam depan untuk operasi bagaimana? Saya sepertinya baru bisa."
Ya kesibukannya kan banyak. Tentu saja Aidan mengangguk. Ia tak masalah selagi bisa bertemu lagi. Hahahaha.
"Kalau begitu untuk harinya, akan diinformasikan lagi. Yang penting kamu harus pastikan bisa dihubungi."
Ia mengangguk. Ohooo. Tentu saja. Lalu Diana memberikan resep untuk ia tebus. Ia mengambilnya dengan senang hati. Lalu segera beranjak karena urusan sudah selesai. Sebetulnya ingin mengobrol sih. Tapi ia tadi tahu kalau antriannya panjang. Hahaha.
"Ah ya, barang kamu ketinggalan."
Ia menoleh. Aidan meraba saku celananya dan barang lainnya. Sepertinya ponsel dan dompetnya ada. Lalu apa yang ketinggalan? Ia membalik badannya. Si perawat tadi benar-benar menyemburkan tawa. Tentu saja bunga yang dimaksud kan?
"Gak ada, dok."
Diana tak menunjuk apalagi menoleh. Ia bagai tak bergerak dan menatap ke arah layar komputer dengan sangat serius.
"Itu. Bawa pulang barang kamu. Dokter di sini tidak terima sogokan atau apapun."
"Itu bukan sogokan kali, dok. Kalo sogokan itu berupa duit--"
"Ambil sekarang atau saya panggil satpam."
Hahahahaa. Aidan takut? Enggak sih. Alih-alih mengambil lagi bunganya, ia malah buru-buru lari sambil nyengir. Udah susah payah ia beli bunga kok diambil lagi. Hahahaha.
Si perawat terbahak melihat Aidan berlari begitu saja. Diana menggelengkan kepala.
"Buang ke tempat sampah."
"Yaaah kok dibuang sih, dok. Cantik loh bunganya ini."
"Kamu aja yang ambil kalo begitu."
"Yaaah dokter. Sama brondong kan lumayan, dok."
Ia dipelototi oleh Diana. Tapi ia malah terbahak. Ia suka sekali menggoda dokter muda yang satu ini.
@@@
Ia tak sengaja keluar. Tadinya sih enggan. Tapi perutnya lapar. Begitu keluar, ia malah bertemu Peter yang sudah menunggu diam-diam di depan kosnya. Ya jelas kaget lah. Mau lari tapi gak bisa. Cowok itu justru akan semakin mengejarnya.
"Ayo naik. Laper kan?"
Mau tak mau ia naik meski tahu kalau firasatnya selalu buruk jika berhubungan dengan Peter di malam hari begini. Awalnya memang diajak makan. Tapi setelahnya, ia belum tentu bisa pulang. Cowok ini akan melakukan apa saja dan pasti akan selalu memaksanya.
Benar saja. Usai makan, ia memang tak selamat. Peter tentu saja melajukan motornya dengan agak kencang lalu berhenti di depan sebuah lahan yang penuh ilalang dan di dalamnya ad a gazebo yang sudah tua. Tapi setidaknya masih bisa digunakan.
Nayla jelas ketakutan. Mau berlari tapi Peter selalu mengeluarkan kata-kata ancamannya.
"Kamu tahu kan apa jadinya kalo kamu pergi?"
Semua foto dan video itu akan ia sebar. Tanpa ampun. Nayla jelas menangis lah. Tapi tak bisa melawan. Ya akhirnya memang pasrah. Peter memaksanya duduk di atas pangkuan lelaki itu. Ia setidaknya masih berani melakukan perlawanan.
"Kamu kenapa sih?"
Ia kesal sih. Karena biasanya Nayla tak pernah berani melawannya seperti ini. Biasanya kan hanya pasrah meski ya tentunya sambil menangis.
"Aku lagi haid, Peeeeeet!"
Ia tak ingin disentuh. Meski tangan itu juga sudah tak sopan. Peter jelas tak bisa percaya begitu saja akan kata-katanya.
"Aku lihat dulu makanya! Kamu akhir-akhir ini sering banget bohongin aku!"
Ia kesal. Ia berusaha membuka celana yang Nayla kenakan. Tapi Nayla terus menolak. Terus berusaha untuk menjauhkan tangannya.
"Diem gak?"
Suara bisikan tajam itu tepat terdengar di telinganya. Ia terisak-isak pelan. Perlawanannya langsung berhenti. Peter menurunkan risletingnya begitu saja. Tangan kirinya menyusup ke dalam bajunya. Nayla menangis pelan. Ia tentu tahu kalau Nayla sedang tidak haid. Ia tahu perbedaannya.
"Bohong kan kamu.....," bisiknya tajam.
Bertepatan dengan itu, seseorang yang sedari tadi sudah berdiri di belakangnya langsung menarik kerah belakang Peter hingga cowok itu jatuh terjengkang ke belakang. Nayla buru-buru berdiri. Ia menarik celananya ke atas dengan cepat lalu mengunci kancing bajunya. Ia bisa mendengar ada seseorang yang menghajar Peter sekarang tapi ia tak berani menoleh. Ia hanya bisa berjongkok sambil menutup wajahnya sendiri. Hanya bisa menangis.
Ia bisa mendengar betapa murkanya orang itu hingga terus memukul Peter tanpa ampun. Meski ia juga bisa mendengar makian yang keliar dari mulut Peter. Hingga tak lama ia mendengar suara perempuan yang berteriak ada polisi.
"Nay! Nay! Nay!"
Peter mencoba memanggilnya. Ia tak tahu kalau cowok itu berusaha menggapainya hingga ia mendengar suara yang tak asing. Sebenarnya ia sudah menduga. Namun masih tak begitu yakin.
"Kalo kamu berani bawa dia, saya aduin ke polisi!"
Peter jelas langsung memakinya. Marah sekali. Tapi ia sedang dalam kondisi terpojok. Percuma juga ia mengancam Nayla sekarang, kalau polisi itu benar-benar datang bagaimana? Ia panik. Akhirnya ya hanya bisa mengirim tatapan marahnya ke arah Ahmad. Cowok itu juga balas menatapnya dengan tak kalah tajam dan berani. Peter mengendarai motornya dengan cepat dan meninggalkan area itu. Lihat saja urusan ini akan panjang. Ia tak benar-benar tak berhenti memaki Ahmad di sepanjang jalan. Ia akan perhitungkan balas dendam pada lelaki yang satu itu. Selama ini, ia sudah sabar karena tak pernah membalasnya. Ia tentu marah karena cowok itu selalu menganggunya dan Nayla.
"Kamu juga, Nay. Kamu abaikan aku tadi."
Ia tentu tak akan diam saja. Bahkan pacarnya sendiri akan ia berikan pelajaran yang jauh lebih parah dari ini.
Nayla mendengar suara kaki yang melangkah mendekat ke arahnya. Ya tak begitu jauh. Namanya dipanggil.
"Kamu mau ke kantor polisi?"
Satu perempuan lagi yang meneriakan ada polisi hanya diam. Nayla?
Hanya bisa menangis kencang. Ia sebenarnya terlalu malu untuk berhadapan dengan Ahmad dan satu orang lagi yang tak ia tahu siapa. Mau mengucapkan terima kasih pun terlalu malu. Apalagi harus menatap Ahmad? Ia kehilangan keberaniannya. Lalu apa tadinya? Ke polisi?
Iaa sudah pernah ingin melakukannya dulu sekali. Tapi ketahuan Peter dan tentu saja cowok itu malah mengancamnya. Mana mungkin lah ia berani melaporkannya. Karena kalau melapor artinya semua orang akan tahu kalau ia....dilecehkan. Ah bahakn diperkosa begitu?
Tapi ia tak punya bukti kuat. Meski sekedar menyebut itu sebagai sebuah paksaan. Karena selama ini ia dan Peter juga kerap melakukannya atas dasar suka sama suka?
Sebetulnya dibujuk. Ya tentu saja dengan berbagai rayuan setelah tragedi p*********n dikali pertama. Hal yang awalnya asing lama-lama menjadi tak asing. Akhirnya ya terbiasa melakukan. Namun tentu saja ia selalu menyesal. Selalu dipenuhi rasa takut. Bagaimana kalau ia hamil? Ia tak mau. Ia masih ingin kuliah. Ia juga tak sudi mengandung anak Peter. Lantas mau melapor ke polisi?
Peter pasti akan menganggap kalau ini adalah sesuatu yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Bukan karena paksaan satu pihak. Ia juga tak punya bukti yang kuat kan? Kalau hanya berdasarkan pesan-pesan dari Peter, itu yak akan pernah cukup. Cowok itu selalu meneleponnya. Kalau mau mengancam ya pasti melalui telepon. Sekalipun ada bukti dari telepon itu, ia tak yakin. Ia tahu kalau keluarga Peter itu adalah orang-orang yang sangat berpengaruh di manapun. Orangtuanya sangat punya kuasa. Yang ada? Ia yang terpojok.
Meski sekarang, Ahmad masih berusaha untuk membujuknya agar mau melaporkan ini ke polisi. Ia tentu saja menggeleng ketakutan sambil menangis. Ia memberanikan diri untuk menatap Ahmad yang sudah ada di depannya.
"Aku mau pulang aja, maaaas."
Ia sungguh hanya butuh pulang. Ahmad menghela nafas. Tentu saja lelaki ini masih ingin menegosiasikannya. Tapi ia tetap menggeleng. Ia hanya berpikir tentang banyak konsekuensinya. Mungkin Peter akan melakukan hal yang lebih buruk dari ini.
"Pulang aja, mas. Please....."
Ia memohon. Ia terlalu malu untuk berlama di sini.
"Oke kita pulang aja."
Ahmad mengalah. Ia tak bisa apa-apa kalau itu maunya Nayla.
"Tapi kalau ada apa-apa, kamu bisa telepon saya, Nay."
Ia hanya bisa mengangguk. Maka ia dibawa pulang oleh kedua orang ini. Tentu saja berboncengan dengan perempuan yang tak ia kenal dan tiba-tiba ada di sini. Ia tak tahu siapa. Tak mau tahu. Ia justru sedang sangat malu. Berbicara pun tak berani. Tapi setidaknya ia bersyukur karena perempuan ini pun tak bertanya apapun padanya.
"Pegangan aja ya, mbak. Takutnya nanti bisa jatuh."
Ia hanya mengiyakan dengan tangisnya. Tubuhnya terasa lemas. Meski ini bukan akhir. Ia tak tahu harus bagaimana menjumpai hari esok. Ia tak berani bahkan sekedar untuk memikirkannya. Ia harus bagaimana coba?
Ia hanya mengarahkan sesekali jalan menuju kosnya. Begitu lega saat tiba di sana dan tentu saja tak ada Peter.
Ia turun dari motor. Setidaknya sempat mengucapkan terima kasih untuk perempuan yang telah mau mengantarnya pulang ini.
"Masuk aja, Nay."
Ahmad menyuruhnya untuk segera masuk. Berada di dalam kamar kos jauh lebih aman. Mungkin begitu. Ya kalau Peter tak menerobos. Tapi tak akan berani juga sih. Ia memeluk dirinya sendiri begitu berada di dalam kamar lalu menangis dalam diamnya. Menangis sejadi-jadinya. Karena hal yang mengerikan tadi.
@@@
Aidan justru bersiul-siul. Ye lah baru bertemu gebetan. Hahaha. Meski belum tahu apa-apa tentangnya. Baru begini saja ia sudah bahagia setengah mati. Lalu mengendarai mobilnya menuju apartemen. Tadi sih sempat mencoba merayu salah satu staf di klinik untuk memdapatkan nomor ponsel Diana tapi tentu saja tak berhasil. Yang ada malah jadi bahan gosipan di klinik. Ya kan kalau mereka bilangnya bocah yang mengejar Dina.
"Kayaknya masih muda banget itu masnya."
"Tapi mobilnya keren!"
Tentu saja yang gagal fokus dengan mobil mahalnya. Ya kini mobil mahal itu sudah sampai di depan apartemen. Ia bersiul-siul begitu turun dari mobil. Jangan lupa dibawa obat-obatannya. Itu kan diresepkan dengan penuh cinta. Hahahaha. Lalu mampir dulu ke minimarket dan membeli beberapa jajanan. Baru kemudian berjalan menuju lobi dan masuk ke dalam lift.
Tiba di lantai di mana apartemennya berada, ia melihat Jovan dan teman-teman satu jurusannya sedang duduk-duduk di sofa. Kelihatannya sih sednag mengerjakan tugas. Tadinya ia mau langsung berjalan saja menuju apartemennya. Tapi Jovan malah memanggilnya. Yeah si Jovan, cowok berandal yang suka meminjam mobilnya dan terakhir kali merusaknya. Tak ada niatan untuk mengganti sekalipun karena Aidan juga sudah hapal sih dengan perilakunya.
"Mantan lu nih!"
Ia memamerkan layar ponselnya ke arah Aidan. Aidan mengerutkan kening. Ya tak paham. Ada apa dengan mantannya? Eeh Nayla maksudnya? Mantannya sih memang hanya ada satu itu.
"Manis juga ya pakai kayak gini."
Ia berjalan mendekat. Ya tak begitu dekat juga, ia sudah menangkap apa yang dipamerkan. Ia berdeham. Ternyata foto Nayla dengan bikini. Ia tak pernah tahu sih. Kan Nayla tak pernah memakai semacam itu. Tapi ia segera mundur. Tak tertarik. Ya sebisa mungkin nih ya meski ia bukan yang lurus-lurus amat, ia tentu menghargai perempuan. Tak mau menatap yang semacam itu. Tak berkomentar pula. Malah langsung pergi dan rasanya ada yang aneh. Kenapa aneh?
Ya kalau dulu sih ia memang sering melihat Nayla misalnya nih mengenakan celana pendek atau baju yang bahunya terbuka. Tapi hanya sebatas itu. Kalau pun mereka pergi berenamg bersama teman-teman, Nayla tak pernah seperti itu deh. Maksudnya berpakaian semacam itu. Dengan bikini pula. Tapi bukan hanya kali ini sih. Kabar miring soal pakaian Nayla yang semakin terbuka memang sudah lama ia dengar sejak gadis itu beroacaran dengan Peter. Ia kira itu juga urusan mereka. Walau baginya juga ada yang memgganjil.
Ia menarik nafas dalam lantas memilih masuk ke dalam apartemennya sendiri. Sementara Jovan masih asyik tuh dengan postingan terbaru Nayla yang tentu saja bukan Nayla yang mempostingnya. Melainkan Jovan. Itu foto mereka liburan semester lalu ketika menginap di salah satu villa. Foto itu tentu saja bersama teman-teman yang lain. Yang berbikini juga bukan hanya Nayla. Tapi disaat itu, Nayla memang dipaksa Peter untuk menggunakan itu. Ya kalau tidak, Nayla tentu tahu resikonya bukan?
Itu adalah peringatan dari Peger tentunya.
@@@