Teror brondong. Hahaha.
Karena ketika ia datang pagi ini ke klinik, ada banyak sekali makanan yang datang. Padahal belum jam makan siang. Nama pengirimnya? Sama dengan nama salah satu pasien yang ia periksa semalam. Hahahaha. Hal yang tentu saja membuatnya memaki dalam hati karena orang-orang stau klinik mengolok-oloknya.
"Kirim balik itu makanan."
"Yaah jangan dong, dook. Di mana-mana yang namanya rezeki itu gak boleh ditolak. Apalagi ini sampai pasien aja dapat kok."
Keputusannya jelas didemo lah. Ia akhirnya hanya bisa menghela nafas panjang. Percuma kan? Tak akan didengar. Hahaha. Akhirnya ia kembali masuk ke dalam ruangannya dan lebih baik mengurusi pasien. Dikala jam makan siang, semua staf mendekati mejanya. Untuk apa?
Mendadak banyak yang mempromosikan Aidan padahal Aidan sama sekali tak meminta bantuan. Hahaha. Ini adalah jurus menyogok. Meski harus mengeluarkan banyak uang tapi tak masalah kan? Yang penting jalan bisa menjadi mulus. Hahaha.
"Gak apa-apa kali sama brondong, dok."
Yang lain mengangguk-angguk.
"Artis-artis aja banyak kok yang sama brondong."
Mata Diana menyipit tajam. Mereka menahan tawa. Tentu saja tak takut. Tapi setidaknya, ada satu orang yang tidak setuju. Siapa? Perempuan juga. Hahaha. Walau ia ikut makan pemberian Aidan. Menurutnya, itu tak berpengaruh apapun padanya. Penilaiannya tetap objektif.
"Eh yang terjadi sama artis-artis itu apa coba? Akhirnya cerai kan abis nikah sama brondong. Itu cuma skenario mereka doang buat popularitas kali."
"Yee itu kan yang artisnya emang udah tua banget terus emang gak laku. Ada kali, mbak, artis jadul yang beda usia sama suaminya sekitar 5 tahun tapi langgeng kok. Kalau yang mbak bilang itu kan beda usianya bisa belasan tahun. Lah kalau dokter Diana kan gak akan sejauh itu? Paling tuh cowok sekarang 20 atau 21 tahunan lah--"
"20 tahun lebih tepatnya," potong salah satu perawat. Tentu saja ia tahu karena ia yang mengurus berkas medisnya Aidan. Ia nyengir ketika dipelototi Diana.
"Tuh. Dokter Di kan baru mau 28 ya?"
"Udah 28," sahut si perawat yang tadi. Ia nyengir lagi karena dipelototi. Hahaha
Itu juga belum lama. Tapi ya perbedaan usia itu masih di bawah 10 tahun. Walau gaah setelah dipikir-pikir, cukup jauh juga. Hahaha. Bayangkan, Diana memasuki kelas 3 SD dan Aidan baru saja lahir. Hal itu sih yang menjadi bahan tawa. Hal itu juga yang menjadi alasan utama Diana ogah menerimanya. Ya kali. Hahaha.
"Tapi nih ya, trend sekarang itu berubah tahu. Coba perhatiin deh, cewek yang usianya di atas 25 tahun sekarang banyak yang belum menikah kan?"
Yang lain mengangguk-angguk. Contohnya ada banyak di klinik mereka. Diana juga mengakui itu karena ia adalah salah satu di antaranya.
"Daaaan cowok yang usianya di bawah 25 tahun lebih banyak yang belum menikah atau sudah menikah?"
"Belum sih. Lihat aja di sini. Yang 25 tahun ke bawah masih banyak yang kosong. Yang di atas 25 tahun, udah pada nikah."
"Tuh itu pertandanya apa? Emang trendnya udah berubah. Kalo mau nunggu yang seumuran nikah ya ada. Mau sama yang lebih tua juga ada. Tapi kadang ya yang lebih tua itu yang duda. Kalo pun masih jomblo, kudu dipertanyakan juga, dia ngapain aja kok belum menikah?"
"Kan kalo ngejar karir atau ngehidupin orangtua juga gak masalah. Kalo itu yang jadi alasan belum menikah untuk cowok umur segitu."
Ya memang benar. Ada benarnya sekali.
"Tapi proporsinya sedikit dibandingkan yang 25 tahun ke bawah kan? Nah sementara cewek yang 25 tahun ke atas belum menikah itu kan yaa ngejar karir dan segala macam lah. Gak salah juga. Malah bagus. Karena ada kesibukan. Meski mungkin kesibukan itu agaknya--"
Lengannya disenggol. Diana berdeham. Gadis itu memilih untuk beranjak. Ia tak merasa tersinggung kok. Itu kan untuk mereka yang belum menikah diusia sepertinya. Lah ia?
Ia sudah pernah menikah. Dulu sekali. Pernikahan yang membuatnya trauma. Hingga ia tak mau mengenal cinta lagi. Kegagalan orangtuanya dalam pernikahan bukan menjadi alasan baginya untuk menikah kala itu. Tapi kegagalannya sendiri lah yang ia jadikan alasan kenapa hingga sekarang, ia enggan mencari cinta lagi. Ia takut. Rasa trauma itu saja belum hilang. Ia masih terus berupaya berdamai juga. Rasanya tak mudah juga kan?
"Kamu ngomongnya, mbak, iih. Udah tahu dokter Diana gak kayak yang lain."
Ia mengatupkan mulutnya. Ia memang agak keras sih soal ini. Kadang juga suka menyinggung mereka yang masih jomblo dan sibuk mengejar karir. Padahal mereka juga bahagia dengan kesendirian mereka jadi apa salahnya coba? Gak ada yang salah kan? Masing-masing orang punya tujuan hidup. Menikah itu bukan segalanya. Menikah juga bukan hal yang mudah. Jadi jangan menilai negatif seseorang hanya karena statusnya dong.
Diana memilih menyambung hidupnya untuk terus belajar. Kegagalan bukan akhir segalanya toh ia berusaha keras kok untuk beralih. Karena melupakan? Ia belum bisa. Bukan berarti masih ada rasa cinta juga. Oho. Tentu saja tidak. Tapi ada suatu hal yang membuatnya masih terlalu takut untuk memulai. Apa?
Ia takut mendapatkan orang yang salah. Ia sungguh takut. Makanya ia tak pernah berpikir lagi untuk mencari cinta. Bertemu dengan lelaki yang lebih tua pada kenyataannya tak dewasa juga. Apalagi yang lebih muda? Ia makin sanksi.
"Kamu hubungi cowok itu terus kabari tanggal operasinya."
Itu pesannya sebelum meninggalkan klinik. Jadwal prakteknya di sini sudah selesai. Ia akan menyambung jadwalnya nanti malam di rumah sakit lain. Salah satu staf klinik mengangguk. Ia segera mengirim pesan pada Aidan terkait jadwal operasinya. Diana mengurus itu dengan cepat karena ia juga ingin berlepas diri dari Aidan. Tak mau berurusan lagi dengannya. Ada banyak urusan yang belum ia selesaikan. Ada banyak sekali.
Begitu masuk ke dalam mobil, ponselnya berdering. Itu kakak tirinya.
"Kenapa?"
"Aku kayaknya nyampe tengah malem deh di Jogja. Kamu bisa jemput gak nanti?"
"Jam berapa?"
"Jam duaan sih. Ya kalo kamu gak takut. Aku mau naik kereta sekarang. Tadi ketinggalan pesawat. Mustahil juga kalo baru jalan ke bandara sekarang."
"Jadwal malam gak ada?"
"Udah pada penuh."
"Gak berangkat naik kereta aja sekarang?"
"Baru pesan. Dapatnya yang berangkat malam. Yang sampai sore udah abis semua."
Ia menghela nafas. Caitlyn tentu sadar ketakutannya.
"Takut ya? Ya udah. Aku naik taksi aja. Tapi tungguin ya. Jangan ketiduran."
Diana tampak berpikir. "Nanti aku coba minta temani teman deh. Toh jadwal praktekku juga malam."
Caitlyn tersenyum mendengarnya. Tentu saja ia senang.
"Oke. Nanti aku tunggu di stasiun ya?"
Diana tersenyum tipis.
@@@
Ia bersiul-siul. Tentu saja baru memastikan kalau makanan yang ia pesan dadakan sudah sampai di klinik Diana. Ia sudah punya rencana sih nanti usai operasi, ia akan meminta nomor ponsel Diana apapun caranya. Karena menurutnya, itu adalah alasan terakhirnya untuk tetap berhubungan dengan Diana. Ya walau hanya sebagai seorang pasien sih. Tapi kan namanya juga usaha, yang penting ada perubahan sedikit demi sedikit. Ya kan? Hahaha.
Ia bersiul-siul begitu memasuki fakultasnya. Ya sudah lupa juga sih dengan kasus postingan Nayla yang menjadi bahan konsumsi laki-laki. Walau foto-foto semacam itu sungguh sudah biasa di kampus. Ya apalagi kan untuk beberapa mahasiswi yang memang suka dengan pakaian semacam itu atau yang menjadi finalis untuk kontes kecantikan biasanya mengambil foto dengan pakaian seterbuka itu. Kalau Nayla? Gadis itu aebenarnya manis dan agak-agak mungil. Ia memang tak begitu tinggi tapi karena senyumannya mungkin banyak memikat lelaki.
Beberapa pose Nayla yang menggoda itu lebih banyak dibicarakan di fakultasnya sendiri sih. Lalu Aidan?
Teman-temannya dari kejauhan sudah memanggil. Mereka mengira kalau Aidan belum tahu soal itu. Jadi ya hendak memberitahunya. Tapi begitu melambaikan tangan ke arah Aidan yang baru datang, cowok itu malah dihampiri gadis paling camtik sefakultas mereka.
"Yaah kalo disosor sama Soraya, kelar dah."
Mereka terbahak. Aidan? Ya bersikap seperti biasa. Kan namanya juga ada cewek yang mendekati ya dibawa santai saja. Tak perlu ada perasaan karena ia memang tak merasa tertarik. Gadis itu hanya bertanya beberapa hal sih ya soal dosen dan beberapa mata kuliah. Aidan hanya menjawab seadanya. Karena.....
"Kalau mau lebih dalam sih mending tanya yang lain aja. Kan kamu kenal juga tuh si Aina atai Marlinda. Mereka lebih pinter."
Karena ia sendiri hanya mahasiswa rata-rata di sini. Ya tak masalah juga sih. Ia memang tak berambisi untuk menjadi yang paling pintar atau berprestasi. Ambisinya? Ya bisnis. Mengembangkan bisnisnya sendiri dan nantinya akan mengambil alih perusahaan abinya.
"Udah ya? Aku mau ke kelas."
Soraya mengangguk. Walau respon Aidan belum banyak tapi baginya sih jauh lebih baik dibandingkan didiamkan seperti yang lalu.
"Eh tapi, kakak kuliah sampai jam berapa hari ini?"
Aidan mengerutkan kening. Ia tampak berpikir. Sepertinya jadwalnya sampai sore.
"Sore kayaknya."
Soraya mengangguk. Oke kalau begitu. Ia juga mengecek semua kelas nantinya. Hahaha. Ya biar tak kehilangan jejak Aidan. Aidan baru hendak melewati pintu kelas saat membuka layar ponsel yang ternyata sudah banyak panggilan tak terjawab. Keningnya makin mengerut begitu mendapati panggilan itu berasal dari Ahmad. Ia segera mengangkatnya begitu ada panggilan yang masuk lagi.
"Oh sorry baru diangkat, mas. Kalau nanti aja gimana? Soalnya aku mau masuk kelas nih, mas."
"Ya udah. Nanti solat jumat di masjid kampus bisa?"
"Ya bisa. Ketemu di sana?"
"Ya, abis solat aja."
Aidan mengiyakan. Ada yang mau dibicarakan katanya dan penting. Ahmad jarang sih bicara begini. Kalau urusan kafe? Biasanya cowok itu sering booking kafenya untuk membuat acara ulang tahun anak panti asuhan. Tapi biasanya akan langsung bicara. Yang ini soal apa? Apa pekerjaannya sebagai intel? Ia tak yakin juga sih. Namun mungkin memang ada hal yang benar-benar penting.
Ia penasaran tapi tak mau ambil pusing. Ia ingin fokus pada kuliahnya jadi ia tak berpikir lagi soal apa yang hendak Ahmad katakan. Usai kelas, ia makan siang dullu bersama teman-teman satu gengnya. Ya di warung biasa yang menjadi langganan. Tentunya bukan di kantin fakultas. Mereka mengambil tempat yang tak begitu jauh kalau harus berangkat ke masjid kampus.
"Menurutku nih, Dan, dicoba aja dulu itu sama si Soraya."
Itu saran dari Warno. Angga dan Zayn kompak mengangguk. Menurut mereka juga tak ada salahnya. Toh Soraya tampaknya baik. Apalagi kan cantik banget tuh. Namun sayangnya, perasaan berkata lain. Aidan bukan tipkal cowok yang bisa jalan dengan siapa saja meski tak ada ketertarikan. Ia tak bisa. Karena ia tahu, hubungan semacam itu hanya akan membuang waktu.
"Soraya menarik menurut kalian?"
"Iya lah. Cakep begitu!"
Angga tak menolak asumsi itu. Hahaha.
"Ya udah. Buat kalian aja begitu," ujarnya lantas beranjak karena ia sudah selesai makan. Ketiga sahabatnya jelas tergagap lah. Kok malah begini? Hahaha. Bukan ini yang mereka mau. Tapi Aidan malah sudah pergi dengan mobilnya. Ketuga cowok itu menyusul me masjid kampus dengan motor. Percuma juga bicara dengan Aidan soal Soraya, tak akan didengar. Usai solat jumat, mereka kehikangan jejak Aidan yang sednag bersama Ahmad untuk membicarakan soal....
"Nay, Dan."
Ya sungguh sesuatu yang tak dapat Aidan duga. Kenapa malah Nayla?
"Ada sesuatu yang terjadi sama Nay semalam, Dan."
Ia memperjelas. Aidan agak terkesiap ketika mendengar itu. Ya meskipu hubungan mereka telah berakhir tapi bukan berarti semuanya harus berakhir. Bagaimana pun kan sebelum berpacaran, mereka adalah teman. Jadi ya apapun yang berhubungan dengan Nayla, namanya mungkin bukan lagi rasa cinta. Lalu apa? Ya rasa sayang. Sayang sebagai teman.
"Apa yang terjadi, mas?"
Ia jelas penasaran. Parah kah?
"Sesuatu yang buruk."
"Siapa yang ngelakuin?"
"Ya Peter lah."
Ahmad menghela nafas. Aidan terdiam dalam sesaat.
"Aku tahu kalo kalian memang udah gak ada hubungan apapun untuk saat ini. Tapi, Dan, bagaimana pun, kalian pernah dekat. Nay butuh bantuanmu."
Ia bingung sebenarnya masalah apa. Tapi kalau sesuayu yang buruk, ia mungkin akan membantu. Tapi masalah apakah? Yang terointas di dalam pikirannya hanya satu, ya k*******n.
"Parah ya, mas?"
Ia memgira kalau Nayla mungkin terluka parah karena k*******n itu. Ahmad hanya merespon dengan helaan nafas.
"Kamu bisa bujuk dia buat ngelaporin hal itu, Dan? Sebetulnya, aku memang pengennya Nay ngelaporin apa yang dilakukan sama Peter ke polisi karena ya.....," ia menghela nafas lagi. "Tapi dia gak mau. Aku paham juga posisinya sih, pasti gak gampang."
Ya. Mungkin benar-benar parah. Aidan terdiam. Ahmad menepuk bahunya. Sungguh berharap ia bisa membantu.
"Kalau gak bisa bujuk, seenggaknya kamu bisa jaga dia dari Peter, Dan. Aku khawatir. Aku gak yakin dia berani jauh dari Peter setelah masalah ini. Mungkin ada alasan juga dia gak berani putus dari Peter."
Aidan masih diam. Ia bingung harus bagaimana meresponnya. Ia tak pernah mengikuti perkembangan Nayla lagi setelahntersadar dari patah hati.
"Itu aja sih. Ya tolong bantuin lah biar gak ke ulang lagi."
Aidan mengangguk. "Makasih banyak, mas, udah ngasih tahu."
Dan mungkin Ahmad juga menolong Nayla semalam? Karena tak mungkin ia tak mendengar kabar itu kalau Ahmad sudah tahu. Itu pastinya hanya Ahmad yang mungkin menjadi saksi.
"Aku yang makasih, Dan. Yang paling penting sekarang adalah aku harap kamu bisa bantuin Nay, Dan."
Aidan mengangguk. Ia menarik nafas panjang. Ahmad sudah pergi ke parkiran sementara ia tampak berpikir lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Harus kah ia menghubungi Nayla? Tapi akan aneh juga rasanya kalau ia tiba-tiba menghubungi. Meski mungkin Nayla akan tahu kenapa ia mendadak menghubunginya.
Begitu ia mengetik pesan, ia merasa ada yang salah. Ya selain akrena memang kata-kata itu tampak canggung. Aneh juga. Akhirnya?
Ia kembali ke mobil dan memilih untuk menghubungi sahabatnya Nayla. Ya sekaligus teman satu jurusan gadis itu. Hanya perempuan itu yang terpikir olehnya sekarang.
"Gie, sorry, lagi sama Nay?"
Angie berdeham. Ia berlagak kalau bukan Aidan yang menelepon.
"Ya, kenapa?"
"Bisa ngomong nanti? Kuliah kelar jam berapa?"
"Soal apa?"
"Nayla."
"Oke, tapi eung....chat aja ya?"
Ia susah kalau harus berbicara langsung apalagi kan ada Nayla di depan mata. Aidan mengiyakan. Lalu menunggu balasan pesan dari Angie.
Malem aja gimana? Aku kebetulan mau main ke kosnya Nay sih abis kuliah. Sekalian jemput gimana? Tapi jangan pas di depan kosnya Nay banget.
Oke. Kira-kira jam berapa?"
Jam delapan atau paking lama jam sembilan sih. Gimana?
Oke.
Mau ngomong soal Nay ya?
Ya begitu lah. Thanks, Gie.
Angie mengiyakan. Sementara Aidan membelokan mobilnya menuju fakultasnya sendiri. Ia sungguh penasaran apa yang terjadi. Tapi ya di dalam kepalanya hanya k*******n. Kenapa ia berpikir seperti itu? Karena kasarnya Peter itu sudah dapat dilihat dari wajahnya kok. Itu sungguh jelas. Jadi ya dalam pikirannya itu. Dan lagi, ia kengikhlaskan Nayla bukan untuk jatuh ke tangan cowok yang seperti itu. Kenapa tak memilih lelaki lain? Maka jawabannya akan sulit. Karena semua memang sudah terjadi. Ia bisa apa? Ya tak bisa apa-apa juga.
Ia masuk ke dalam kelas dengan pikiran yang tentu saja semrawut. Ia khawatir tentunya pada Nayla. Lantas bagaimana dengan gadis itu?
Ia sungguh ketakutan. Ia sungguh parno. Ia selalu was-was. Tadi tentu ada Peter. Tapi ia berlindung di belakang Angie. Itu juga kenapa Angie nanti akan ikut ke kosannya. Karena Nayla tak mau sendiri. Ia hanya berpikir kalau Nayla dan Peter bertengkar biasa. Karena memang bukan hanya sekali, Nayla enggan berhadapan dengan Peter disaat mereka sedang bertengkar. Jadi ia tak merasa ganjil dengan hal itu.
Tahu kan apa akibatnya kalau nolak?
Tentu saja Peter akan terus mengancamnya. Meski kini lebih berani karena melalui pesan. Biasanya cowok itu enggan meninggalkan jejak. Namun sekarang mungkin ia merasa kalau ini adalah hal yang sangat biasa. Jadi ya semakin berani karena tahu kalau ia tak akan berani melapornya. Ya kan?
Ia memang tak berani. Ia sungguh takut. Karena Peter juga tak pernah bermain-main dengan semua perkataannya. Cowok itu sungguh konsisten. Konsisten untuk hal-hal yang berbau negatif? Ya bisa dibilang begitu. Itu adalah hal yang menurutnya paling mudah dan menyenangkan untuk dilakukan. Sesuatu yang buruk memang terasa selalu kenyenangkan. Ia tahu sekali soal itu.
"Ksnapa lagi sama Peter?"
Angie tentu saja bertanya. Tapi Nayla tak pernah mau jujur akan apa yang terjadi selama berhubungan dengan Peter. Ia memang tak pernah membahasnya karena takut ini akan menyebar. Kalau teman-teman Peter?
Mereka tentu saja lebih dari tahu. Bahkan mungkin saksi mata atas segala perlakuan Peter padanya yang semena-mena. Tak menganggapnya sebagai manusia. Ia hanya b***k gratis yang akhirnya terjebak dan tak bisa keluar. Menyedihkan bukan?
Ya memang. Ia semenyedihkan itu. Tapi tak bisa berbuat apa-apa juga.
Nayla tentu saja tak akan meniawab pertanyaan apapun dari Peter. Ia ingin outus tapi bingung bagaimana caranya agar tak terjebak lagi. Jujur memang, ia sangat trauma dengan pernikahan itu. Mungkin saking banyknya orang yang terliba.
@@@
Juna menatap jalanan dari ruangannya. Ya bagaimana ya? Urusan patah hati ini memang belum selesai. Tapi ia dipaksa untuk melupakannya. Ini jelas sesuatu yang sangat mustahil bisa ia lakukan dalam waktu singkat. Ia menarik nafas panjang lantas kembali duduk. Namun matanya masih menatao ke arah kamera yang besar itu. Ia tak seharusnyanmelewatkan bagian iu. Tapi ya memang sesuai kebutuhan lah. Tak terlalu berlebihan ayau apapun. Ia bergaya sesuai usia.
Menjelang jam pulang, ia masuk ke dalam lift. Tentu saja untuk pulang ke rumah. Ia sudah jarang berada di apartemen. Ya karena ia lebih memilih untuk menyenangkan kedua orangnya. Tiba di parkiran, ia malah tak sengaja melihat mobil perempuan itu. Ya kalau suka sama orangnya sih tak perlu ditanya. Namun ia buru-buru melangkah menuju mobilnya. Ya tak mau bertemu dengan gadis itu. Ia memang ingin menghindarinya untuk sekarang. Mungkin juga sampai nanti. Meski ia juga masih tak paham. Apa yang membuatnya begitu ingin menghindari? Eeh tapi jawabannya sudah jelas karena ditolak sih. Itu memang menyedihkan. Tapi orangtuanya tak membatasi kok. Itu terserah padanya. Bukan kah itu cukup?
Sayangnya sih memang tidak. Ia akhirnya masuk ke dalam mobil lalu apa?
Ya tidur. Ia kurang tidur. Bair satpan yang menyetir. Ia memang jarang mengebdaeai mobik untuk waktu-waktu tertentu.
"Itu nona Serena, pak."
Salah aatu asistennya menegurnya.
"Mau mati?"
Mereka malah terbahak. Bagian menyenangkannya memang mengolok bos jomblo seperti Juna ini. Siapa bilang jurnal bisa mendaoatkan rasa sakit hati hanya akan membuat diri sendiri belum bisa lepas.
@@@
"Lo ngapain ngikutin gue sih?"
Ia heran karena ini cowok selalu mendadak muncul. Seperti sekarang. Ya lihat lah. Tanpa ia minta, tahu-tahu ada di depannya. Itu terjadi tiap ia hendak pergi atau pulang dari suatu tempat. Kejadian pertama? Ia sudah lupa. Yang jelas saat di Singapura itu pun bukan yang pertama kalinya. Ia ta pernah menghitungnya pula berapa kali hal semacam ini terjadi. Buat apa juga dihitung kan tidak penting. Ya kan?
"Naik kereta malam kayak gini bahaya buat kamu, Cait. Untung ada aku yang nemenin."
Ia berbangga hati. Ia tak paham bagaimana Arya bisa sampai di sini lalu bangkunya bisa sebelahan dengannya. Hahaha. Bagaimana caranya? Ohook tentu saja tak mungkin kalau tak ada hubungannya dengan Ferril dan para detektif bukan?
Walau ini bisa disebut sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Hahaha. Tapi ya setidaknya masih memilih kekuasaan meski terbatas. Memang yang namanya hal semacam ini adalah hal yang biasa.
Kini Arya duduk di sebelahnya. Ya masih dengan stelan kantor. Tentunya tak membawa apa-apa kecuali mengantongi dompet dan ponsel. Setidaknya dompetnya tak ketinggalan.
"Kamu mau ke Jogja kan?"
Caitlyn mendengus. Kaget juga sih. Tapi kaget itu ia simpan dalam-dalam. Yang menjadi pertanyaan besar baginya ya hanya urusan bagaimana cowok ini tahu ia akan ke mana? Sementara ia bahkan tak memberitahu apapun pada pihak rumah sakit di mana ia bekerja maupun teman-teman dekatnya. Ia justru hanya memberitahu Diana karena memang hendak ke sana. Ya kan janjinya setelah pulang dari Singapura memang hendak bertemu dengan Diana.
@@@