Bab 6. Mimpi Buruk

1527 Words
Malam berlalu berganti pagi, Sofie masih berbaring menyamping dengan mata terbuka di sisi ranjang. Ia mengabaikan panggilan dari Stevani dan Jessica yang mengkhawatirkan keadaannya. Stevani bahkan memesan tiket pagi untuk terbang ke dari Singapura ke Jakarta. Sedangkan Jessica yang sedang menemani suaminya dinas ke luar kota, juga ikut-ikutan pulang untuk melihat keadaan Sofie. Mereka sudah memberitahukan perihal kedatangan via chat tapi Sofie bahkan tidak membacanya. Perasaan Sofie begitu gamang dan aneh. Berkali-kali ia memejamkan mata berharap yang terjadi selama dua hari ini adalah mimpi belaka. Tetapi semuanya nyata terjadi. Air mata Sofie seolah mengering setelah semalaman menangis, ia bingung harus mengerjakan apa sekarang. Bunyi ketukan pintu lantas mengenyakkan Sofie dari berbaring. Matanya membesar dan langsung berlari ke arah pintu. “Mas Revan ....” Pintu segera terbuka dan Sofie terdiam kecewa. Seorang pembantunya datang membawakan nampan berisi sarapan. Sarapan pagi itu terbilang banyak bahkan dengan bunga. Kening Sofie sampai mengernyit. “Selamat pagi, Nyonya. Saya mengantarkan sarapan untuk Nyonya!” ujar pembantu bernama Surti itu dengan senyum ramah pada Sofie yang masih kusut dan bahkan belum mandi. Sofie jadi kebingungan dan cukup lama berpikir. Sebelah tangannya mengurut kepala dan ia masih bolak balik tidak jelas. Pembantu itu mencoba masuk tapi Sofie menghalanginya. “Tunggu dulu! Siapa yang pesan sarapan, saya gak pesan apa pun!” tukas Sofie kebingungan. “Tapi kan Nyonya belum makan.” Surti masih lembut menyanggah Nyonyanya itu. Ia tahu jika Sofie sedang dilanda kesedihan. Sedikit banyak ia melihat apa yang sudah terjadi selama beberapa hari ini. “Aku sedang gak mau makan, Sur. Bawa aja di dapur,” tolak Sofie kembali merendahkan suaranya. Surti masih ragu untuk maju tapi ia tidak mau mundur. Ia pun membujuk sekali lagi. “Ini ada ngirimin makanan buat Nyonya sarapan lho. Ada bunganya lagi. Dicoba dulu, Nya. Kali aja bisa bikin berselera makan,” bujuk Surti lagi. Ia tetap masuk ke dalam dan meletakkan nampan makanan tersebut. Sofie masih diam saja memperhatikan. Ia tidak punya mood untuk melarang Surti memperhatikannya. Kepala Sofie sakit sama seperti hatinya sekarang. Dengan senyuman lebar, Surti memberikan sebuah kartu pada Sofie berisi pemesan dan pesan untuknya. Sofie mengambil dan membaca kartu tersebut. Keningnya mengernyit kala mengetahui jika yang mengirimkan sarapan itu ternyata adalah Jericho Danish, pria yang kemarin malam menolongnya di klub. “Nyonya mau cobain gak? Biar saya siapkan di meja?” tawar Surti pada Sofie yang masih terlalu bingung untuk berpikir saat ini jadi dia mengangguk saja dan membiarkan Surti menyiapkan meja makan dadakan untuknya di kamar. Sofie masih sedikit terperangah melihat nampan besar berisi makanan tersebut dihidangkan di meja makan kamar. Setangkai mawar merah dan segar diletakkan sebagai pemanis untuk sarapan pagi dari orang yang tak begitu dikenal oleh Sofie. “Silakan dicoba dulu, Nyonya. Nanti kalau sudah selesai, panggil saya ya?” Sofie hanya mengangguk pelan pada Surti yang tersenyum keluar dari kamar Sofie. Setelah Surti keluar, Sofie kembali duduk termenung menatap meja dengan sarapan pagi untuknya. Matanya terpaku pada mawar merah yang diletakkan di dalam sebuah vas kecil. Mawar itu mengingatkan Sofie pada saat Revan dulu menyatakan cinta untuknya. Revan adalah kakak kelasnya saat masih kuliah dulu di salah satu Universitas di Jakarta. Kedekatan keduanya membuahkan benih-benih cinta yang kemudian membawa pada jenjang pernikahan. Terlebih Sofie sudah bekerja di perusahaan orang tuanya saat masih kuliah. Hal itu menjadikan Revan begitu gencar mendekati. Air mata Sofie tak sadar menetes satu persatu di atas hatinya yang perih. Ia kembali menangis tak tahu harus berbuat apa sekarang. Revan pergi begitu saja dan bahkan belum kembali sama sekali ke rumah. Rasanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung selesai. Sofie menangis di atas lipatan kedua lengannya di depan sarapan pagi romantis dan manis yang dikirimkan oleh Jericho Danish untuknya. Hati Sofie hancur memikirkan cintanya dibuang oleh Revan. Satu jam kemudian, pintu kamar Sofie kembali diketuk dari luar. Entah siapa lagi sekarang, tapi Sofie masih dalam kondisi yang sama. Ia masih memandang kosong dengan sisa air mata di pipinya. Sofie kembali berdiri untuk membuka pintu kamar yang terkunci. “Sofie!” pekik Stevie langsung memeluknya begitu pintu kamarnya dibuka. Sofie akhirnya menangis lagi. Stevie pun langsung membawa Sofie masuk untuk mencari tahu yang terjadi. Sahabatnya yang lain yaitu Jessica ikut masuk setelah memeluk Sofie dan membelai kepalanya. “Ya Tuhan, lo kok bisa begini sih, Sof? Ya ampun.” Jessica terus membelai rambut dan kepala Sofie ingin ikut menangis juga. “Gue hubungin lo dari semalam tapi lo gak angkat sama sekali. Sofie, apa yang terjadi? Kenapa lo bisa ancur kayak gini?” Stevie juga masih sama hebohnya memekik protes pada Sofie yang sudah tidak punya tenaga untuk bercerita atau melakukan apa pun. Penampilannya begitu semarawut dengan maskara yang make up yang luntur. Sofie malah kembali menangis tanpa bisa menjawab satu persatu pertanyaan dua sahabatnya. “Sofie ....” Stevie dan Jessica sama-sama meringis pilu serempak. “Gue ... kenapa jadi kayak gini, Stev!? Gue gak tahu salah gue apa.” Sofie kembali terisak saat bicara. “Ayo kita duduk dulu.” Stevie dan Jessica sama-sama membawa Sofie ke sofa kamar sambil terus menenangkannya. Sofie pasrah menyandarkan punggung di sisi belakang sofa kamar. Sofie duduk di tengah diapit oleh Jessica dan Stevie. Stevie sempat melirik sekilas ke arah meja makan yang masih rapi dan makanannya tidak tersentuh sama sekali. Tetapi kemudian pandangannya kembali pada Sofie. “Sofie, lo harus cerita sama gue apa yang terjadi sebenarnya? Lo ketemu sama Revan?” Sofie memejamkan mata dan bayangan kejadian horor dua malam lalu tidak mau hilang dari kepalanya sama sekali. Stevie yang cemas melihat wajah Sofie yang pucat dengan air mata yang terus menetes lantas mendekat lalu mengelus sisi lengan Sofie mencoba menguatkannya. “Cerita, Sayang. Lo jangan mendemin semuanya sendiri. Kita datang buat bantuin lo kok,” sahut Jessica sudah ikut meneteskan air mata. Ia memeluk Sofie dan menyandarkan kepalanya dengan lembut pada kepala Sofie. “Mas Revan memang sudah berselingkuh dengan teman bisnisnya itu. Habis Stevie telepon, gue langsung ke klub. Gue pergokin mereka ciuman di pesta ulang tahun. Dan dia ternyata ....” Sofie mulai sesenggukan kembali. Stevie dan Jessica juga mulai terbawa suasana sedih juga terluka dengan apa yang terjadi pada Sofie. “Gue marah dan terjadi pertengkaran. Mas Revan malah nampar gue ....” “Apa?” sahut Stevie dan Jessica berbarengan. Sofie pun menundukkan kepalanya. “Dia lebih memilih perempuan itu! Dan yang paling menyakitkan ....” isak Sofie makin terluka. “Dia hamil ....” Stevie makin kaget sampai membuka mulutnya. Sedangkan tangis Jessica akhirnya pecah. Ia langsung memeluk Sofie yang makin kuat menangis. Sofie menumpahkan semua ke pelukan Jessica. Rasanya seperti ingin mati saat itu juga. Sofie tidak bisa menjelaskan rasa sakitnya dikhianati oleh suami yang ia cintai. “Lo harus tenang, oke! Pasti ada jalan keluarnya. Sabar ya, Sof! Sabar!” ucap Stevia mencoba menenangkan sahabatnya. “Lo harus kuat menghadapi ini. Gue tahu ini sangat berat dan menyakitkan, tapi gue yakin, Revan bakalan nyesel udah bikin lo kayak gini!” tukas Jessica membesarkan suaranya karena emosi. Sofie hanya diam tidak tahu harus menjawab apa. “Atau sekarang lo ganti baju kita keluar jalan-jalan! Ga ada gunanya lo ngedekem di kamar terus, Sof.” Sofie masih diam saja. Jessica lalu menarik Sofie perlahan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Sofie tidak membantah dan berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci wajahnya dengan air. Sementara Sofie merapikan dirinya, Stevie berjalan ke arah meja makan dan melihat makanan yang terhidang di atas meja. “Sofie, lo belum makan ya?” tanya Stevie pada Sofie yang baru saja keluar kamar mandi. Sofie menggeleng dengan raut lemah. “Gak, gue gak pengen makan.” Jessica juga ikut mendekat dan ikut mengernyit. “Tapi ini kayak sarapan dari resto, deh ....” celetuk Jessica ikut melihat bunga yang diletakkan di tengah hidangan. “Bukan gue yang pesen tapi Mas Richo!” sontak Jessica dan Stevie menoleh pada Sofie. “Lho, siapa itu Mas Richo?” *** Sementara itu, Revan dan Astrid memilih berjalan-jalan ke mal untuk melepaskan kebosanan Daripada peduli pada istrinya, Revan memilih meninggalkan Sofie. Ia sudah membuat keputusan setelah semalam berdiskusi dengan Astrid dan Ibunya via telepon. “Kamu beneran bakalan cerain istri kamu itu, kan?” tanya Astrid saat menggandeng mesra Revan. Revan yang merangkul Astrid dengan mesra menoleh sembari tersenyum. “Ya kalo dia gak mau, dia bisa jadi tetap jadi istri. Aku tinggal nikah lagi, bereskan!” Astrid mencubit manja sisi perut Revan sampai ia terkekeh kegelian. “Kamu itu maunya punya istri dua!” protes Astrid pura-pura mengambek. “Ya, gak dong! Kalau dia mau pergi ya pergi aja. Aku uda bosen kalau harus terus berantem sama dia soal punya anak. Dia pikir aku mandul apa! yang mandul itu malah dia. Buktinya, kamu hamil kan?” Astrid tersenyum saja dan tidak menjawab. Dari kejauhan, mata-mata Richo berhasil menemukan keberadaan Revan dan merekamnya ke dalam ponsel. Video itu dikirimkan langsung untuk Jericho. Jericho mengeraskan rahang melihat kekasihnya Astrid lebih memilih pria beristri dan tidak malu lagi menyembunyikan hubungan mereka. “Dasar orang bodoh! Dia pikir dia hebat, huh!” olok Jericho mendengus kesal. Jericho mematikan sambungan video itu dengan kesal lalu mengusap separuh wajahnya. Ia baru saja memastikan kiriman sarapan untuk Sofie telah sampai dengan baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD