Semua orang tahu kalau Melvin jadi yang paling berduka atas kematian tiba-tiba Arthur Wiratmaja. Meski ia tidak menangis sebanyak Abby dan Mayana ketika mereka sudah tiba di Indonesia, namun kelihatan jelas bahwa Melvin justru sehancur itu, sebab ia menolak untuk bicara pada siapa-siapa, termasuk istrinya sendiri.
Setelah melihat jasad ayahnya di rumah sakit, menerima kenyataan bahwa beliau benar-benar telah berpulang, Melvin berubah serupa mayat hidup. Yang dilakukannya hanya diam dan melamun, menolak untuk bicara dengan orang-orang, hingga keluarga intinya datang.
Mayana dan Abby sendiri baru datang ketika Arthur sudah dipindahkan ke rumah duka. Dan selama menunggu mereka, Melvin pun merasa harus menghadapi semuanya sendirian, meski ada banyak orang lain yang terus berusaha untuk menemaninya, termasuk Lea. Melvin tetap merasa bahwa ia tidak bisa menumpahkan emosinya pada siapapun kecuali keluarga intinya, serta sedikit pada Savero.
Begitu adik dan ibunya datang, Melvin ikut menumpahkan rasa sakit bersama mereka. Dan perasaannya pun jadi sedikit lebih baik. Hanya sedikit.
Sementara itu, Melvin terus mengabaikan kehadiran Lea yang selalu berusaha untuk berada di dekatnya di depan semua orang, sampai hari pemakaman tiba. Bahkan, disentuh Lea pun Melvin tidak mau. Ia tidak peduli jika orang-orang menyadari itu atau tidak, namun kematian ayahnya membuat rasa muak Melvin pada Lea dan keluarga Sadajiwa semakin menjadi-jadi.
Keluarga Sadajiwa pun hadir sedari awal Arthur diberitahukan meninggal. Namun, Melvin juga menolak untuk berinteraksi dengan mereka, bahkan hanya untuk sekedar menerima ucapan belasungkawa. Ibunya dan Abby mungkin masih bisa bersikap baik pada mereka, tapi Melvin tidak. Bahkan untuk berpura-pura pun ia tidak merasa sampai hati. Dan sekali lagi, Melvin tidak peduli apa yang akan dikatakan orang lain tentang itu.
Hari ini adalah hari pemakaman Arthur Wiratmaja. Semua keluarga, kerabat, teman-teman, dan rekan kerja Arthur berkumpul di rumah duka, sebelum peti mati Arthur di bawa ke lokasi pemakaman. Saat ini, orang-orang yang ingin menyampaikan eulogy atau sanjungan terakhir kali untuk mendiang Arthur, maju satu per satu. Yang pertama kali melakukannya tentu saja Mayana Wiratmaja, sang istri.
Seharusnya, setelah itu dilanjutkan oleh Melvin, namun ia membiarkan om dan tantenya untuk melakukan itu terlebih dulu, karena ia masih mempersiapkan diri. Baru setelah mereka, Melvin maju dengan membawa selembar kertas berisikan eulogy yang sudah ditulisnya sendiri. Sebelum menyampaikan pidatonya, Melvin terlebih dahulu menarik napas dalam, menghembuskannya, lalu sesaat memandang orang-orang di depannya yang hari ini datang secara khusus untuk pemakaman Arthur Wiratmaja.
Orang-orang itu memandangnya prihatin, tapi Melvin tahu bahwa tidak semuanya memang berduka cita secara tulus. Ada yang datang hanya sekedar formalitas, atau datang agar terlihat peduli padahal sebenarnya tidak. Begitu pandangannya tertuju pada seluruh anggota keluarga Sadajiwa, ia pun bertanya-tanya sendiri, mereka ada di bagian yang mana?
"Kalau bicara tentang seorang Arthur Wiratmaja, orang-orang pasti akan setuju kalau Papi itu seseorang yang disiplin, pekerja keras, dihormati, dan cukup keras baik itu di lingkungan kerja maupun keluarga. Aku tau, Papi bukan orang yang sempurna, karena memang nggak ada orang yang sempurna di dunia ini." Melvin memulai pidatonya. "Kadang, ada kalanya aku mempertanyakan kenapa Papi begini? Kenapa Papi begitu? Seringnya juga aku ngerasa capek dengan Papi yang selalu menuntut kesempurnaan dari aku dan Abby. Semua langkah yang kami ambil dalam hidup harus sesuai dengan kemauan Papi, dan kami harus selalu menuruti itu kalau nggak mau ribut dengan Papi yang keras kepala. Tapi...terlepas dari itu semua, aku juga tau kalau Papi menyayangi kami semua dengan sangat dan tanpa syarat. He seeked perfection because he wanted the best for us. Meskipun kadangkala kami nggak merasa apa yang Papi rasa sempurna itu belum tentu sempurna bagi kami, tapi begitu lah cara Papi mengeskpresikan rasa sayangnya. Dan aku ngerasa cukup bersalah, karena nggak bisa mengerti itu dengan lebih baik.
"Mungkin, aku memang jarang mengekspresikan rasa sayangku ke Papi. Dan akhir-akhir ini, seringnya justru kami berdebat akan banyak hal. Bahkan kemungkinannya, memori terakhir yang Papi punya tentang aku, bukan lah memori yang baik. And I'd feel forever sorry for that. Aku, kita semua, sama sekali nggak siap untuk kehilangan Papi setiba-tiba ini. Terutama aku, yang bahkan nggak berkesempatan untuk bilang kalau aku selalu sayang sama Papi, terlepas dari semua ketidak cocokan kami dalam memandang sesuatu. Selamanya, Papi akan selalu jadi pahlawan pertamaku, orang yang mengajariku banyak hal, dan membentuk pribadiku yang sekarang.
"Sebentar lagi, raga Papi memang nggak akan bisa kita lihat lagi, selamanya. Tapi aku tau, jiwanya akan selalu berada di dekat orang-orang yang dia sayang dan menyayanginya. Aku harap, Papi bisa selalu dikenang dengan baik oleh kalian semua, karena aku pun hanya akan mengenang hal-hal baik tentang Papi. Dan meskipun sudah nggak ada di sini lagi, aku nggak akan berhenti berusaha kasih yang terbaik untuk Papi. I promise I'll give him what he deserves, always. Karena saat ini, cuma itu yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahan yang nggak sempat aku lakukan saat Papi masih ada di sini. May he rest in peace."
Dengan ibu jarinya, Melvin menghapus cairan bening yang menghiasi kedua sudut matanya usai eulogy yang dia sampaikan di depan semua orang. Sekali lagi, Melvin memerhatikan sekilas mereka semua yang ada di depannya.
Beberapa di antara mereka ikut menghapus airmata dari wajah mereka, dan lagi-lagi Melvin tidak bisa berprasangka baik jika airmata itu adalah airmata yang tulus. It's hard to tell, di saat Melvin berpikir, mungkin saja salah satu di antara mereka memang menginginkan ayahnya pergi dari dunia ini.
Melvin masih meyakini, kematian ayahnya tidak lah wajar. Ada sesuatu di balik kematian tiba-tiba ini. Seperti yang disampaikan Melvin pada eulogy-nya, untuk menebus rasa bersalah yang menggerogoti, Melvin tidak akan berhenti memberikan yang terbaik untuk sang ayah meski raganya sudah tidak lagi berada di sini.
Dan salah satu hal pertama yang akan Melvin lakukan untuk itu, adalah mencari tahu penyebab asli dari kematian ayahnya.
***
Pemakaman Arthur Wiratmaja sudah dilangsungkan. Melvin tidak menangis lagi ketika prosesi berlangsung, dan ia hanya melihat semua prosesnya dalam diam, sekaligus mencoba menenangkan ibunya yang tidak bisa berhenti menangis selama prosesi pemakaman berlangsung.
Begitu pemakaman selesai, dan orang-orang berangsur pergi, Melvin jadi yang terakhir beranjak dari sana. Bahkan Abby dan ibunya pun telah pergi dan Melvin menolak ketika mereka mengajak Melvin ikut beranjak dari sana.
"Kalian duluan aja, aku masih mau di sini," ujar Melvin.
"Biar aku temenin."
Melvin melirik Lea yang sempat mengatakan itu padanya. Dan ia menggelengkan kepala tegas. "Aku mau sendirian."
Hingga detik ini, Melvin memang masih tidak menginginkan kehadiran Lea di dekatnya. Lea pun tidak memaksa untuk menemani karena Melvin tidak mau, sehingga dibiarkannya saja Melvin sendirian di pusara Arthur yang masih basah. Sementara Lea menemani ibu mertuanya dan juga Abby.
Sebenarnya, Melvin tidak berniat untuk benar-benar sendirian di sana. Ia sengaja jadi yang terakhir menetap di makam itu, bukan untuk bersedih, melainkan karena ia ingin bicara berdua saja dengan Savero. Dan di tengah ramainya orang yang datang untuk pemakaman ini, tempat yang paling aman bagi mereka untuk bicara berdua tanpa ada yang mendengar adalah di depan makam Arthur Wiratmaja yang baru saja ditutup. Agar orang-orang berpikir bahwa Melvin dan Savero bersedih di sini, dan bukannya untuk membicarakan sesuatu yang penting.
Savero yang semula sudah menjauh dari makam untuk mengantarkan beberapa tamu penting pun kembali menghampiri Melvin yang masih berdiri memandangi makam ayahnya pun kembali tidak lama kemudian.
Melvin menoleh ketika Savero kembali. Tidak dengan tangan kosong, melainkan dengan sebuah map berisikan dokumen di tangannya. Mereka berdua sama-sama mengawasi keadaan sekitar sebelum memulai obrolan mereka ini.
Setelah memastikan tidak ada satu pun orang lain di sekitar mereka yang sekiranya bisa menguping apa yang hendak mereka bicarakan, baru lah Melvin membuka percakapan di antara mereka.
"Gimana?"
Savero menyerahkan dokumen di tangannya pada Melvin. "Kecurigaan lo bener," ujar Savero. "Ada sesuatu yang janggal di kematian Om Arthur."
Melvin pun segera mengambil dokumen yang diserahkan oleh Savero padanya, dan membaca isi di dalamnya. Dokumen itu merupakan hasil autopsi dari jasad ayahnya. Meski pihak rumah sakit waktu itu telah menyatakan bahwa penyebab kematian Arthur Wiratmaja adalah serangan jantung, namun Melvin tidak percaya jika hanya itu penyebabnya karena memang ayahnya tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
Karena itu, Melvin menyuruh Savero untuk menyelidiki penyebab kematian sebenarnya secara diam-diam. Meski saat itu ia menyuruh Savero dalam kondisi dirinya sedang merasa hancur, tapi Melvin serius dengan permintaannya itu. Dan Savero pun langsung melaksanakan tugasnya dengan baik.
Tanpa sepengetahuan orang lain, mereka menyelidiki lokasi pesta tempat Arthur tiba-tiba collapse dan langsung meregang nyawa di sana, lalu diam-diam juga melakukan autopsi terhadap jasad Arthur sebelum pemakaman dilangsungkan. Savero yang meng-handle semua itu atas izin Melvin.
Di dokumen yang Melvin baca, tertera bahwa Arthur Wiratmaja meninggal karena ditemukannya racun cerberin di dalam tubuhnya. Racun itu lah yang menyebabkan serangan jantung, hingga Arthur Wiratmaja meninggal dunia.
"Dan gue baru ingat, Om Arthur collapse nggak lama setelah dia minum wine yang ada di pesta itu. Dan cuma wine itu lah yang dikonsumsi oleh Om Arthur selama di sana, sebelum beliau collapse. Gue rasa, racunnya ada di dalam gelas, sebelum wine-nya dituang. Karena orang lain yang minum wine itu juga nggak kenapa-napa."
Dengan kedua tangannya, Melvin meremukkan dokumen hasil autopsi yang dia genggam. Sekarang, Melvin tidak lagi merasa sedih, melainkan marah. Hasil autopsi itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa ayahnya sengaja diracun. Dan siapa pun yang menaruh racun di gelas wine tersebut, memang berencana untuk membunuhnya.
Someone is trying to mess with his family. Ada musuh dalam selimut, seperti dugaan Melvin. Meski ia tidak tahu siapa, namun firasatnya kuat mengatakan bahwa siapa pun itu yang telah merencanakan pembunuhan ayahnya, hadir di rumah duka dan pemakaman tadi.
Melvin sungguh murka mengetahui informasi ini. Kedua tangannya yang meremukkan dokumen itu pun terkepal erat, akibat amarahnya yang siap meledak.
"Lo udah cari tau tentang racun itu?"
Savero mengangguk. "Gue udah riset, dan ternyata racun cerberin itu asalnta dari tumbuhan cerbera odollam. Atau nama umumnya...suicide tree."
Mendengar nama tumbuhan itu, Melvin tertegun. Ia ingat pernah mendengar nama tumbuhan itu sebelumnya karena seseorang pernah menjelaskannya pada Melvin. Bahkan, Melvin juga sudah melihat bagaimana rupa tumbuhan bernama suicide tree itu sendiri.
"Gue rasa gue tau siapa orang pertama yang harus gue tuduh untuk ini semua?"
"Siapa?"
Melvin tertawa miris. "Mertua gue punya tanaman suicide tree itu di greenhouse-nya, Ro," ujarnya. "Jadi, siapa lagi kalau bukan keluarga Sadajiwa?"