Dalam perjalanannya pulang ke rumah bersama Lea, Melvin masih tidak bicara sama sekali. Dan sepertinya, Lea pun juga sudah menyerah untuk mengajaknya bicara setelah Melvin terus mengabaikannya dari kemarin.
Di mobil, keduanya duduk bersebelahan di kursi penumpang belakang, namun duduk dalam posisi saling menjauh dan sama-sama memilih melihat ke luar jendela. Melvin tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Lea, tapi Melvin jelas memikirkan pembicaraannya dengan Savero ketika di pemakaman tadi. Tentang racun ceberin, serta tumbuhan suicide tree yang merupakan sumber dari racun tersebut.
Melvin benar-benar tidak bisa memandang Lea dengan cara yang sama lagi usai ia tahu bahwa tumbuhan suicide tree itu ada di green house milik Hermadi Sadajiwa. Sulit sekali bagi Melvin untuk menahan dirinya untuk tidak mengonfrontasi Lea secara langsung setelah mengetahui semua yang diberitahukan oleh Savero padanya. Namun, mereka sendiri sudah sepakat untuk tidak membicarakan ini dulu di depan orang lain. Setidaknya, jika memang Melvin ingin mengatakan hal ini pada Lea, ia harus menunggu ketika mereka hanya berdua saja di rumah.
Keduanya sendiri sudah tidak pulang ke rumah selama tiga hari sejak Arthur Wiratmaja meninggal, sebab mereka menginap di rumah utama keluarga Wiratmaja. Mereka baru pulang setelah pemakaman selesai dilakukan, dan Mayana memang meminta keduanya untuk pulang ke rumah dulu hari ini. Terutama Melvin harus beristirahat. Setelah beberapa hari ini tidak bisa beristirahat dengan baik, kantung mata Melvin jelas sekali jadi terlihat lebih menghitam dan tebal.
Namun, siapa bilang Melvin bisa beristirahat dengan baik setelah pulang ke rumah? Beban pikirannya justru bertambah sekarang. Dan yang ingin dilakukannya pertama kali sesampainya di rumah adalah bicara empat mata dengan Lea.
"Kamu langsung bersih-bersih sama istirahat dulu aja, nanti aku minta Bibi untuk siapin makan malam. Kalau udah, aku panggil kamu. Dari siang kamu belum makan, kan?"
Oh, Melvin ingin tertawa sekali rasanya.
"Kenapa kok tiba-tiba berubah jadi istri perhatian?" Sindir Melvin.
Lea tidak terlihat tersinggung sama sekali dan hanya menghela napas.
"Just do it. Aku tau kamu capek karena kurang istirahat selama beberapa hari ini."
Melvin hanya mencibir, merasa muak dengan sikap Lea yang tiba-tiba saja jadi berubah perhatian. Dan bukannya merasa Lea tulus perhatian padanya, Melvin justru merasa kalau istrinya itu sedang melancarkan aksi bermuka duanya.
Lalu, tanpa bilang apa-apa lagi, Melvin langsung beranjak pergi menuju kamarnya, dan meninggalkan Lea begitu saja. Hanya untuk sebentar.
Melvin sendiri sama sekali tidak ada niatan untuk menuruti kata-kata Lea tadi. Ia tidak pergi menuju kamarnya untuk membersihkan diri, apa lagi istirahat. Didorong oleh rasa marahnya yang kembali muncul, Melvin justru melakukan sesuatu yang tidak ia sangka-sangka akan dilakukannya.
Begitu masuk ke dalam kamarnya, Melvin langsung pergi menuju brankasnya, dan mengambil sesuatu dari sana. Lalu, setelah benda itu aman berada di genggamannya, Melvin kembali turun ke bawah untuk mencari Lea.
Ternyata Lea sudah berada di dalam kamarnya sehingga Melvin pun bergerak ke sana. Tanpa merasa perlu mengetuk pintu, ia langsung membuka pintu kamar Lea yang kebetulan tidak dikunci. Lea yang kelihatannya juga belum lama masuk ke dalam kamarnya pun jadi terkejut karena melihat Melvin yang tiba-tiba masuk tanpa permisi.
Belum sempat Lea bertanya apa tujuan Melvin datang, laki-laki itu sudah terlanjur menutup pintu di belakangnya, dan menutupnya rapat-rapat.
"Kamu mau ngapain?" Tanya Lea penuh selidik, setelah Melvin selesai mengunci pintu.
Melvin tidak menjawab, dan langsung berjalan mendekati Lea. Lalu, tanpa diduga Lea sama sekali, dari balik tubuhnya Melvin menunjukkan pistol yang sedari tadi memang berada di genggamannya. Di depan wajah Lea, Melvin mengokang senjata api yang sudah terisi penuh itu, lalu mengarahkan moncongnya tepat di depan wajah Lea.
Tentu saja Lea terkejut dengan tindakan suaminya yang begitu mengerikan sekarang. Namun, Lea masih bisa bersikap begitu tenang.
"What the hell, Melvin?"
Omongan Ella waktu itu tiba-tiba saja terlintas di benak keduanya. Ella bilang, Melvin tidak boleh menggunakan senjata yang diberikan oleh ayah mertuanya itu untuk menyakiti Lea. Tapi lihat lah sekarang, Melvin justru menodongkan senjata api itu di depan wajah sang istri.
Padahal, Melvin bukan lah seseorang yang anarkis, dan bukan juga seorang laki-laki yang tega menyakiti perempuan. Tapi, amarah sudah terlanjur menguasainya hingga ia tega melakukan apa yang dilakukannya sekarang. Ia pun tidak merasa punya rasa iba pada Lea lagi. Membayangkan jika memang keluarga Sadajiwa lah yang merupakan dalang di balik kematian ayahnya, tidak bisa membuat Melvin berpikir logis lagi.
"Di hari Papi meninggal, kamu bilang kamu extend sehari lagi di Singapura. Tapi, kayaknya kamu udah emang udah balik ke Indo ya hari itu? Karena nggak mungkin kan kamu bisa datang secepat itu waktu tau Papi meninggal? So, where were you, Azalea?"
Lea menatap Melvin lurus-lurus, tanpa mengindikasikan bahwa ia takut sama sekali. Bahkan, Lea juga tidak mau repot-repot mengangkat tangan sebagai gestur agar Melvin tidak menembaknya.
"Apa nggak bisa ngomong baik-baik tanpa nodongin senjata di depan muka aku?" Tanya Lea. "Aku dan Kak Ella ngajarin kamu nembak, dan Papi ngasih kamu pistol itu, bukan untuk kamu nembak aku, Melvin..."
Melvin tersenyum. "Oh, I don't care. Aku cuma mau tau kamu ke mana aja malam itu. Dan pistol ini." Melvin menggoyangkan senjata di tangannya itu. "Aku cuma iseng aja, supaya kamu bisa jawab jujur."
"Ini sudah masuk kategori KDRT, kamu tau, kan?"
"Aku nggak peduli, yang aku mau sekarang, kamu jawab pertanyaanku tadi."
Lea merapatkan bibirnya dan menggertakan gigi. Jelas sekali, Lea kesal bukan main atas sikap Melvin saat ini, walau ia masih mencoba untuk mengendalikan emosinya.
"Aku tau, kamu lagi berkabung sekarang karena kematian papi kamu. Tapi, bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya begini untuk melampiaskan kekacauan yang lagi kamu rasain itu. Kamu tau kan seberbahaya apa benda yang ada di tangan kamu itu?"
Melvin semakin mendekatkan moncong senjatanya pada wajah Lea.
"Just answer my question, Azalea."
Lea berdecak, lantas menjawab dengan berani, "Bukan urusan kamu."
Melvin tertawa sarkastik. "Seriously? Kamu masih berani jawab begitu?"
"Iya. Karena aku tau, kamu nggak akan berani nembak aku. Setidaknya nggak di sini," jawab Lea lagi. "Quit the drama deh, Melvin. Kamu tuh kenapa sebenernya?"
"Aku kenapa?" Tanya Melvin retoris seraya masih tertawa. "Oh, aku nggak apa-apa banget, Sayang. Aku cuma baru ditinggal Papi meninggal secara tiba-tiba aja, dan aku sadar kalau Papi mustahil meninggal hanya karena serangan jantung, di saat Papi sendiri sama sekali nggak punya riwayat penyakit itu. Papi super sehat, masih sangat bugar, dan nggak punya riwayat penyakit serius apa-apa. Jadi, jelas aku nggak kenapa-napa sama sekali karena tau Papi tiba-tiba meninggal."
"Aku tau kamu lagi sarkastik sekarang. Maksud kamu ngomong begitu apa, Melvin?"
Melvin terkekeh, sebelum tatapannya pada Lea jadi menajam dan senyuman pun menghilang dari bibirnya.
"Dokter di rumah sakit menyatakan kalau kematian Papi murni karena serangan jantung, tanpa adanya indikasi pembunuhan atau kematian yang disengaja. Aku sama sekali nggak percaya itu, jadi diam-diam aku nyuruh orang-orangku untuk menyelidiki penyebab kematian Papi yang sebenarnya. And guess what? Kecurigaanku benar . Ditemukan tanda kalau kematian Papi nggak wajar. Papi meninggal karena diracun."
Penjelasan dari Melvin itu sukses membuat Lea tertegun. Ia sama sekali tidak mengekspektasikan penjelasan itu. Semula, Lea berpikir kalau Melvin bersikap seperti ini sebagai wujud tantrumnya karena berduka ditinggal oleh sosok sang ayah. Nyatanya, Melvin justru mengetahui sesuatu.
Melvin pun menyadari jika di kedua sisi tubuhnya, tangan Lea terkepal dengan begitu erat. Sorot tajam dan dingin dari kedua mata Melvin masih tertuju pada Lea, sementara moncong pistolnya pun masih ia tujukan pada perempuan itu, sementara Melvin memajukan wajahnya agar bisa lebih dekat lagi dengan Lea.
"Cerberin," bisik Melvin pada istrinya. "Itu racun yang ditemukan di tubuh Papi dan di dalam wine yang semalam Papi minum. Dan nggak hanya itu, mereka bilang kalau racun itu berasal dari tanaman cerbera odollam or we can call it suicide tree, yang sepertinya ada di wine yang Papi minum di pesta itu."
Lea masih tidak terlihat gentar. Ia justru memberikan Melvin tatapan menantang. "Dan kenapa kamu ngasih tau aku itu?"
"Oh, jelas karena aku ingat kalau papa kamu punya hobi aneh mengoleksi banyak tumbuhan beracun di green house-nya. Wolf's bane, water hemlock, deadly nightshade, bahkan suice tree. Semua itu, ada di green house milik Papa kamu. Aku punya ingatan yang sangat bagus, dan aku nggak lupa soal itu."
"Terus, maksud kamu apa?"
"Bukannya udah jelas?"
"Kamu nuduh keluarga aku yang bunuh papi kamu?"
Melvin tidak mengatakan apa-apa, namun dari ekspresi wajahnya sekarang, sudah jelas sekali bahwa ia mengiyakan pertanyaan Lea itu.
Kini, ganti Lea yang tertawa sarkastik. Ia menggelengkan kepala, tidak terima dengan tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh suaminya sendiri.
"You're out of your mind, Melvin."
"Azalea, sedari awal perjodohan kita ada, aku udah naruh curiga sama keluarga kamu. Dan sebelum kita nikah, keluargaku sama sekali nggak pernah dapat ancaman apapun, nggak punya musuh, apalagi orang yang nyoba untuk ngebunuh kami. Tapi, sekarang apa? Baru berapa bulan kita menikah, Papi meninggal karena diracun."
"Dan atas dasar apa kamu mencurigai keluarga aku?" tanya Lea tidak terima. Matanya berkilat marah. "Nggak masuk akal banget kalau kamu cuma nuduh kami yang bunuh papi kamu, cuma karena di green house Papa ada tumbuhan suicide tree itu!"
"Isn't it obvious? Keluarga kamu jelas punya tujuan terselubung lewat pernikahan kita ini. And I heard rumors too about your family."
"Apa tuduhan kamu itu terbukti?"
"Untuk sekarang memang belum. Tapi aku jelas tau kalau kalian mencurigakan. Keluarga kamu jelas-jelas punya bisnis lain yang disembunyikan dan kamu," Melvin menuding Lea, kemudian ia berjalan cepat menuju walk in closet di kamar ini, semata hanya untuk mengambil koper yang dibukanya tempo hari. Kali ini, Melvin membuka koper tersebut di hadapan Lea dan berujar dengan nada marah, "Dengan semua pistol dan senjata lain yang kamu simpan di kamar, kamu nggak berekspektasi kalau aku nggak bakal berprasangka buruk ke kamu, kan?"
Lea jelas saja terkejut.
"Kamu diam-diam masuk ke kamar aku selama aku pergi?! Bongkar-bongkar barang aku?!" seru Lea marah.
Melvin tidak tahu saja betapa seorang Azalea Sadajiwa benar-benar menghargai apa yang namanya privasi. Lea pun merasa begitu dikhianati, hingga kepalan tangannya pun kian mengerat karena menahan marah.
"Kamu terlalu mencurigakan untuk nggak diselidiki, Azalea Sadajiwa."
Tepat setelah Melvin mengatakan itu, tangan Lea melayang untuk memberikan satu tamparan keras di pipinya. Persetan dengan duka yang dirasakan oleh Melvin, atau senjata di tangannya yang bisa kapan saja ia ditembakkanya pada Lea. Amarah Lea sudah terlalu besar hingg ia tidak ingin memusingkan hal itu lagi.
"Sebaiknya, kamu belajar untuk nepatin omongan sendiri," ujar Lea tajam.
Melvin mengusap sudut bibirnya yang ternyata berdarah akibat tamparan keras Lea tadi. That woman surely gets power. Melvin mendelik padanya.
"Kalau gitu, sebaiknya kamu dan keluarga kamu belajar untuk lari mulai dari sekarang," balas Melvin tak kalah tajamnya. "Karena kalau sampai kalian terbukti terlibat dengan kematian Papi, aku nggak akan tinggal diam. Aku bakal pastikan kalau kalian dapat balasan yang setimpal."
Ancaman tersebut sama sekali tidak membuat Lea.
"Good luck with that," ujarnya. "Dan semoga, nanti kamu nggak akan nyesel karena udah bicara seburuk itu tentang keluargaku. I'm so done with you."
Lalu, setelah mengatakan itu, Lea melangkah menjauhi Melvin dan keluar dari kamarnya. Meninggalkan Melvin sendirian di sana, dengan satu pistol di tangannya, dan koper senjata Lea yang terbuka di bawah kakinya.
Malam itu, Lea pergi entah ke mana, dan memutuskan untuk tidak kembali lagi ke rumah itu. Sementara Melvin, masih tetap berpikir kalau Lea dan keluarganya bersalah.