"Sudah dipastikan kamu adalah Akila jenis keempat," ucap sang dokter.
"J-jenis keempat? Bukankah Akila hanya memiliki tiga jenis?" tanyaku heran.
"Sebelumnya memang hanya ada tiga jenis Akila. Namun, setelah saya melakukan riset berdasarkan reaksimu pada pemeriksaan waktu itu, saya menarik kesimpulan bahwa kamu adalah Akila jenis baru. Kamu adalah Akila istimewa dari ketiga jenis Akila yang ada. Ketiga jenis Akila masing-masing cenderung pada satu keahlian, tetapi tidak dengan Akila keempat. Akila keempat dapat cenderung dalam 3 hal, yaitu kekuatan fisik, strategi, dan pemulihan atau regenerasi," jelas sang dokter.
"Akila ... keempat ...," gumamku sembari berpikir.
"Dengar. Saya punya saran untukmu. Akila keempat punya perasaan yang tidak dimiliki Akila lain. Karena itu, jika informasi ini sampai di telinga pemimpin, saya yakin mereka tidak akan tinggal diam. Karena keistimewaanmu ini, sudah seharusnya kamu akan dibuang atau yang lebih buruknya kamu akan dibunuh para pemimpin. Sampai saat ini, kami tidak pernah menemukan jenis Akila keempat sepertimu. Karena itu, kamu sangat berbeda dari Akila yang ada di sangkar," bisik dokter tua tersebut.
Aku terperangah mendengar ucapan sang dokter. Memang apa salahnya diriku sampai harus dibunuh orang-orang berwibawa? batinku. Bagi diriku yang baru beranjak dewasa ini, begitu sulit memahami semua hal yang dikatakan sang dokter. Akan tetapi, aku dapat mengetahui bahwa dokter tersebut tidak berbohong hanya dari menatap matanya yang sangat serius.
"Jika kamu punya kesempatan, kamu lebih baik pergi dari hutan itu. Namun, jika kamu lebih memilih menurut pada para pemimpin, kamu bisa tinggal dan hidup selama mungkin. Jika kamu keberatan mengikuti perintah mereka, kamu harus pergi secepat mungkin. Hiduplah, dan cari tahu apa arti perasaan yang selalu membuatmu bingung. Bebaslah di dunia luar. Pelajarilah segala sesuatu tentang dunia ini."
Perasaan? Apa itu perasaan?
***
Malam itu, aku memutuskan untuk melarikan diri dari hutan. Aku lebih memilih menemukan kebebasanku di dunia luar daripada harus hidup seperti burung dalam sangkar. Aku berjalan menuju pintu keluar hutan. Tidak mudah keluar dari hutan ini. Faktanya, hanya ada satu pintu keluar. Dan pintu itu tidak kecil. Hutan dikelilingi tembok tinggi menjulang, tentu saja gerbangnya juga tinggi dan besar, terlebih lagi paten dan terbuat dari logam. Namun, hanya ada satu cara untuk bisa keluar dari hutan, yaitu dengan membuat kekacauan atau membunuh salah satu penjaga pintu gerbang.
Begitu terlintas di pikiranku cara tersebut, aku mengendap-endap di balik semak-semak. Ada dua penjaga di gerbang bagian dalam, dua lagi di bagian luar. Begitu pelan kulangkahkan kaki, tetapi satu penjaga menyadari keberadaanku. Sebelum ia sempat bersuara, kutebas lehernya dan mati seketika.
Masih ada satu penjaga lagi.
Karena gerbang memang cukup besar, jarak antara penjaga satu dan satunya lagi cukup jauh. Namun, meski penjaga itu menyadari keberadaanku, tidak akan ada yang berubah. Tentu saja, ia akan segera menekan tombol darurat untuk mengumumkan bahwa satu Akila telah memberontak.
"Hei!" teriak si penjaga. Aku mempercepat langkah, lalu meraih lehernya.
Kedua tanganku kini menempel di lehernya dengan erat. Bersiap mematahkannya.
"Satu gerakan saja, kau akan mati. Akan kupatahkan lehermu!" ancamku pada si penjaga.
Tangan si penjaga gerbang dengan perlahan bergerak, tampaknya akan meraih sebuah tombol yang ada di senjatanya. Kubiarkan saja, karena tujuanku memang agar penjaga itu memanggil teman-temannya yang lain. Dengan begitu, pintu gerbang pun terbuka. Kedua penjaga di luar bergeming setelah melihatku menyandera salah satu kawan mereka. Sayang sekali, setelah sedikit berpikir, kedua penjaga itu melepaskan tembakan. Secara lugas kutangkis peluru yang mengarah padaku menggunakan sandera, yang merupakan penjaga gerbang bagian dalam hutan.
Seketika itu juga, aku berlari secepat kilat. Lampu dan bel darurat masih berbunyi berulang kali. Para militer datang setelah aku berhasil melarikan diri dari hutan.
Napasku tersengal-sengal. Aku sudah berlari cukup lama.
Mungkin mereka tidak akan bisa mengejarku.
Mulai letih, kusandarkan tubuh di sebuah batang pohon besar dan terlelap memejamkan mata.
***
Ketika membuka kedua mata, sehelai kain lusuh telah dengan hangat membalut tubuhku. Aku agak bingung dengan situasi tersebut. Siapa yang melakukan ini? pikirku. Aku segera beranjak, meregangkan setiap bagian tubuh yang terasa pegal.
"Jadi, kau sudah bangun?" tanya seseorang, yang ternyata adalah si gadis kumal waktu itu.
"Kau ...!?" Aku terperangah. Sedikit terkejut mengetahui gadis kumal itu ternyata masih hidup dan tidak terluka sedikit pun. Memang sangat tidak mungkin dengan ledakan besar yang terjadi di bangunan itu, dan ternyata dia masih hidup. Memangnya dia semacam makhluk yang memiliki kekuatan luar biasa atau kekuatan penyembuhan seperti ras Akila? Itu tidak mungkin. Bahkan saat tenggorakannya terasa kering, dia terlihat hampir mati.
"Ya, aku berhasil selamat. Sekali lagi terima kasih atas minuman yang sudah kau berikan padaku," ucapnya lagi, kemudian tersenyum manis.
"Tapi ..., bagaimana kau—"
"Saat ledakan itu terjadi aku sudah pergi jauh. Dan di kejauhan, aku melihat ledakan besar yang menghancurkan bangunan itu. Aku bersyukur menuruti kata-katamu. Sekali lagi terima—"
"Ah, sudahlah. Jangan berterima kasih lagi. Aku tidak melakukan apa-apa." Aku menghela napas panjang. "Meski di dunia ini segalanya sudah hancur. Keadilan Dewa masih berlaku. Mungkin."
"Aku pikir kau punya perasaan yang lembut."
"Pe ... rasaan?" gumamku dengan tatapan kosong.
"Iya, perasaan seorang manusia. Karena memiliki hati, manusia itu istimewa. Dan perasaan selalu berperan penting atas segalanya," ucap gadis itu yang lalu menyandarkan tubuh di batang pohon.
Aku terduduk di sampingnya dengan harapan bisa menemukan arti perasaan itu padanya. Setidaknya, aku harus menemukan ap aitu perasaan yang sebenarnya. Bagaimana mungkin diriku tidak mengerti tentang perasaan? Sejak lahir, aku bahkan tidak pernah mendengar kata-kata itu disebutkan teman sebayaku atau pelatih kami.
"Jadi, apa yang dinamakan perasaan?" tanyaku pada si gadis.
"Pertanyaanmu aneh sekali. Memangnya kau tidak tahu apa itu perasaan?"
"Tidak. Aku tidak mengerti, tetapi di dalam pikiran ini, aku terus mendengar kata perasaan. Kemudian, kasih sayang itu seperti apa?"
Si gadis bergeming beberapa saat mendengar pertanyaan-pertanyaanku yang mungkin baginya sangat aneh.
"Aku juga tidak begitu tahu dengan benar apa itu perasaan dan kasih sayang. Bahkan di dunia yang sudah kacau ini, masihkah penting hal seperti itu?" Si gadis mengela napas, "Apakah sewaktu kecil dulu, kau tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang orang tuamu? Ayahmu? Ibumu? Atau siapa pun yang ada di sekekelilingmu."
"Ayah? Ibu? Hah, aku tidak punya hal semacam itu."
"Apa? Jadi kau tidak ... tapi bagaimana mungkin?"
"Kami ras Akila tidak pernah tahu siapa ayah kami. Sejak kecil kami dilatih menjadi senjata bagi orang-orang berwibawa. Entahlah, mungkin semua tetua di ras kami bisa jadi ayah kami," jelasku sembari tertunduk.
"Lalu, bagaimana dengan ibumu?"
"Apalagi ibu. Aku sudah lupa bagaimana rupa ibuku. Setelah berumur genap lima tahun, ibu kami diwajibkan ikutserta dalam perang. Kupikir, dia mati di medan perang."
Tiba-tiba si gadis terdiam. Menatap penuh rasa iba. Simpati.
"Lalu, bagaimana denganmu?" tanyaku kemudian, memecah keheningan.
"Orang tuaku sudah lama mati. Juga akibat perang dan kacaunya dunia. Aku berusaha bertahan hidup di dunia yang fana ini. Kedua orang tuaku sudah memberikan hidup mereka padaku. Mereka rela mati demi menyelamatkanku." Si gadis kumal tertunduk menatap rerumputan.
"Lalu, bagaimana kau bisa terjebak waktu itu di medan perang?"
"Aku juga tidak tahu pasti. Sebenarnya, ketika malam tiba, aku hanya terpejam karena mulai merasa ngantuk. Namun, ketika aku terbangun, aku sudah diselimuti kegelapan. Tubuhku tak dapat bergerak dan mati rasa."
"Itu mungkin karena bangunan yang kau tempati sudah lusuh dan akhirnya runtuh," ucapku, mencoba memberi pendapat.
"Lalu ... kenapa kau bisa ada di sini? Apakah kau tidak berperang lagi? Saling membunuh dengan keji sesama manusia?" tanya si gadis, menatap tajam padaku.
"Tidak. Aku tidak ingin membunuh lagi. Aku ingin tahu apa arti hidup ini sebenarnya." Aku menunduk sambil menatap kedua tangan. "Ras Akila sudah memenangkan banyak perang, tetapi kebebasan itu masih sangat jauh dari pandangan. Menurutku, perang tidak akan pernah berakhir."
"Api tidak akan padam jika kau melawannya dengan api. Api akan terus tersulut dan semakin membesar. Seperti itulah ibaratnya sebuah perang." Gadis kumal tertunduk dan mengeluarkan setitik cairan bening dari kedua matanya. "Aku rindu ... aku rindu keindahan bumi ini. Aku merindukan kedua orang tuaku. Karena perang inilah, mereka harus kehilangan nyawa."
Entah mengapa, melihat si gadis kumal membuatku merasa aneh. Sakit di dadaku, bahkan meskipun tidak terluka sama sekali. Apa ini? Mengapa rasanya seperti ini? Inikah yang dinamakan perasaan? Sakit, tetapi bahkan tak terluka!
"Kenapa? Kenapa kedua matamu mengeluarkan cairan? Apa itu?" tanyaku, sedangkan aku terbalut kebingungan yang tak sanggup kumengerti. Si gadis kumal segera menyapu cairan-cairan bening di pipinya. "Ini ... air mata."
"Air mata?" gumamku, mencoba berpikir keras. Lagi-lagi.
"Apa? Bahkan, kau tidak tahu apa itu air mata? Apa kau benar seorang manusia?" Lantas gadis itu terselimuti rasa heran.
"Aku ... aku tidak tahu hal itu. Kami mungkin manusia dari bentuk luar saja. Namun, kami bahkan lebih buas dan keji daripada binatang. Atau mungkinkah sebenarnya kami memang bukan manusia?"
Sepertinya aku memang harus banyak belajar tentang kehidupan manusia yang sebenarnya. Kami para ras Akila adalah orang yang bodoh. Kami hanya tahu tentang perang dan bagaimana caranya membunuh. Meski ada jenis Akila yang cenderung menggunakan pikiran, tetapi itu hanya sebatas berpikir soal strategi di medan perang. Selebihnya, pikiran itu tidak berguna sama sekali.
Namun, makhluk apa sebenarnya manusia itu?
Dan, apa sebenarnya perasaan kasih sayang itu?
Semua Akila termasuk aku hanya belajar tentang dunia di dalam sangkar. Selebihnya, kami tidak tahu tentang dunia luar. Meski seseorang di dalam mimpiku pernah berkata bahwa dunia itu sangat indah. Namun, aku tak pernah melihat keindahan itu di kedua mataku. Yang pernah kulihat hanya seni-seni membunuh. Tangan berlumur darah. Polusi dan asap dari segala macam senjata. Langit yang kelam. Tanah yang gersang. Dan kehancuran-kehancuran lainnya yang tak enak dipandang.
Saat masih kecil, ada beberapa tim khusus yang mengajari kami tentang istilah-istilah dunia. Namun, itu hanya secuil atau setitik saja dari semua pengetahuan yang ada. Selebihnya, kami lebih fokus diajarkan bagaimana cara bertarung di medan perang yang sesungguhnya. Kami ditanamkan ideologi tentang bagaimana mati secara terhormat. Kami diiming-imingi sebuah gelar yang disebut 'Sang Penakluk' untuk menjadi penerus pemimpin ras Akila. Istilah tentang perasaan dan kasih sayang adalah sesuatu hal yang tidak pernah kami ketahui.
***