Air Mata Tanpa Tangis

1701 Words
“Hei! Dia ada di sini!” Salah satu militer menemukan keberadaanku. Ketika aku tersadar, kuraih tangan si gadis kumal, kemudian berlari bersamanya. “Hei! Lepaskan aku! Kau mau membawaku ke mana?” tanya si gadis kumal, sembari mencoba melepaskan tangannya dari genggamanku. “Ikuti aku jika kau masih ingin hidup! Mereka bisa saja membunuhmu karena mengetahui kau bersamaku.” Si gadis kumal terdiam. Ia mengurungkan niatnya untuk melepaskan genggamanku. Sekelompok militer bersenjata tentunya berada di belakang kami dengan jarak beberapa meter. Sesekali mereka melepaskan amunisi, mencoba melumpuhkan kami, tetapi tak satu pun dari mereka dapat mengenai kami. Kami berhasil keluar dari hutan dan harus terus berlari melewati tanah gersang yang mungkin dulunya adalah sebuah kota. Di tempat tersebut banyak reruntuhan gedung dan menara yang menjulang. “Hei! Aku sudah lelah. Tidakkah seharusnya kita berhenti sejenak?” saran gadis kumal. Napasnya tersengal, menahan lelah. “Baiklah!” Di sebuah menara tinggi lusuh kami bersembunyi. Aku tetap waspada mengawasi keberadaan para anjing peliharaan orang-orang berwibawa. “Sepertinya mereka mengira kami masih berusaha lari,” gumamku. Sebuah menara tinggi lusuh, terdapat beberapa lantai di dalamnya. Banyak bangkai manusia berserakan. Sepertinya bangkai-bangkai tersebut belum terlalu lama, sehingga baunya pun masih belum terlalu menyengat. Di dalam menara memang sangat gelap, tetapi karena sudah cukup lama berada di dalam, mataku sudah terbiasa dengan kegelapan tersebut. Aku dan gadis kumal melangkah perlahan, menyelidiki sekitar menara. “Coba kita ke atas saja,” kataku, kemudian menaiki tangga dengan bentuk melingkar. Si gadis kumal mengikuti dari belakang, tangannya masih kugenggam erat. Tanpa sadar. “Hei! Lepaskan tanganku! Aku bisa berjalan sendirian,” katanya, setengah berbisik. Dengan lugas kulepaskan tangan si gadis. “M-maaf.” “Jadi, apa kau tahu ini dulunya tempat apa?” tanyaku pada si gadis, kemudian duduk melepaskan letih di sebuah kursi berdebu. “Ini dulu adalah pusat pemerintahan negara ini. Karena perang semakin merajalela, mungkin tempat ini sudah lama ditinggalkan,” jelas si gadis kumal, lalu ikut duduk. Ia masih tersengal, sebab letih karena berlarian cukup lama. Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari lantai bawah menara. Si gadis kumal mulai panik, mendekatiku. Kuletakkan jari telunjuk di depan bibir, mengisyaratkan si gadis kumal untuk tak menghasilkan suara apa pun. Aku menyelidiki ke bawah menara, menyorotkan pandangan ke lantai bawah. Suara langkah kaki itu sudah tak terdengar lagi. Menghilang. Namun, untuk memastikan sekali lagi, aku menuruni anak tangga. Kutolehkan pandangan ke kiri dan kanan. Tak ada apa pun. Kutatap si gadis kumal, ia terperangah entah apa yang dilihatnya. Namun, begitu kutolehkan pandangan ke belakang, grip sebuah senapan melayang di depan mataku. Begitu benda tersebut hampir mendarat di dahiku, dengan lugas kuhalau, kemudian menarik sebuah tangan dan segera memelintirnya. Senapan tadi terjatuh dan tergeletak di atas lantai. Segera kutendang, menjauhkannya. “Aaarrrggghh!” Seseorang dari pemilik tangan itu memekik kesakitan. “Siapa kau?!” tanyaku, tegas, sembari mengeratkan kuncian tangannya. “Ampun! Maafkan saya. Ampun!” “Siapa kau?!” tanyaku lagi, mengunci tangannya semakin erat. “S-saya bukan siapa-siapa. Saya tidak bermaksud jahat. Ampun. Maafkan saya, Tuan!” “Siapa atasanmu?” “Tidak ada, Tuan. Saya hanya seorang pengembara yang mencoba bertahan hidup,” jawabnya memelas. Karena merasa bahwa memang bukanlah ancaman, kulepaskan tangan pria gemuk tersebut. Tentu saja, aku masih berwaspada dan menjaga jarak darinya. “Maaf. Maaf. Saya tidak akan melakukan apa-apa, Tuan,” ucapnya, kemudian berdiri tegap. “Sekarang, katakan! Apa tujuanmu datang kemari?” “Saya hanya ingin beristirahat, Tuan. Dan tempat ini sudah biasa saya jadikan markas. Lihat, itu adalah peralatan-peralatan saya!” Si lelaki gemuk menunjuk beberapa peralatan memasak di samping tangga menuju lantai dua menara. “Baiklah. Aku percaya,” balasku, singkat. “Oh, iya. Apakah Tuan tidak merasa lapar? Saya mendapat beberapa hewan untuk dimasak.” Kutengadahkan kepala. “Hei! Kau, turunlah! Di sini baik-baik saja!” ujarku kepada si gadis kumal yang sedari tadi curi-curi pandang dari lantai dua menara. Ia segera melangkah, menuruni anak tangga. “S-saya pikir Tuan sendirian,” ucap lelaki gemuk itu, tampak sedikit terkejut. “Jadi, apakah dia adalah istri Anda, Tuan?” tanya lelaki berjenggot lebat itu. “Istri? Apa itu?” tanyaku, tak mengerti istilah yang disebutkan si lelaki gemuk. “Ah, sudahlah. Lupakan saja. Mari, kita olah binatang yang sudah kau dapatkan dari hasil berburu itu.” *** Di dunia yang sudah dipenuhi perang ini sangat sulit mencari sesuatu untuk dimakan. Faktanya, dunia sudah krisis. Krisis bahan pangan. Setiap ladang dan kebun untuk bercocok tanam telah berubah menjadi medan perang. Hanya ada satu hutan yang tersisa, di mana seseorang dapat berburu hewan untuk dijadikan santapan. Hutan itu berada di sekitar sangkar ras Akila. Hutan yang merupakan tempat persembunyianku saat melarikan diri dari anjing peliharaan orang berwibawa. Namun, hutan itu tidak bebas digunakan siapa saja. Orang-orang berwibawa sudah mengakui hutan itu sebagai milik mereka. Karenanya, semua sumber pangan yang mereka hasilkan sebagian besar dari hutan tersebut. “Dari mana kau mendapatkan hewan-hewan ini?” tanyaku pada si gemuk, sembari terus menjejali mulut dengan daging rusa yang telah dibakar tanpa bumbu. “Saya berburu, Tuan,” jawab si gemuk, sembari terus mengunyah dengan binal. “Saya tahu itu, tetapi kau berburu di mana? Di dunia yang sudah hancur ini, hewan-hewan lezat yang dijadikan makanan ini sudah cukup langka.” “Anda pasti sudah tahu, kan, Tuan? Di sini terdapat sebuah hutan yang masih begitu subur di mana masih terdapat banyak buah dan hewan hidup di hutan itu.” “Sudah kuduga. Namun, apa kau senekat itu? Hutan itu dijaga ketat para militer. Jika kau ketahuan, maka pasti kau akan dibunuh dengan keji.” “Iya, Tuan. Tapi, kali ini saya beruntung, karena para militer tidak ada yang menjaga hutan saat ini.” Ini aneh sekali. Kenapa bisa seperti ini? batinku. “Aaahhh, saya sudah kenyang, Tuan. Kalau begitu, saya mau tidur dulu,” ucap si gemuk, lalu berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sementara itu, si gadis kumal masih asyik mengunyah begitu santai. Semenjak si gemuk itu datang, si gadis kumal tidak pernah berkata sepatah kata pun. Ia selalu bisu. Terkadang menggeleng dan mengangguk hanya untuk menjawab pertanyaanku. “Hei. Jika sudah selesai, kau tidurlah. Aku akan berjaga di luar,” ucapku pada si gadis kumal, kemudian melangkah keluar dari menara. Meski dunia telah hancur oleh ulah manusia, tetapi rembulan tetap bersinar terang. Terasa hangat. Setidaknya, di tanah gersang ini aku masih dapat melihat bagaimana indahnya dunia. Meski ketika lahir aku sudah menemukan dunia seperti ini, tetapi menurut cerita yang pernah kudengar, dunia katanya sangat indah. Keindahan itu ada ketika perang ini belum terjadi. Ratusan tahun yang lalu, ras Akila adalah ras yang paling disegani di dunia. Dan sekarang, mereka hanya anjing-anjing yang harus menurut pada orang-orang berwibawa. Untuk kesekian kalinya, di dalam pikiranku selalu terlintas sebuah pertanyaan, kapankah perang ini akan berakhir? Jika seseorang tak menghentikan perang, maka mungkin perang akan menghentikan manusia, kemudian akan mengalami kepunahan. Jadi, untuk apa dunia ini diciptakan? Dan siapa yang menciptakan maha karya indah ini? Manusia itu apa? Perasaan itu apa? Kenapa terasa sakit di dadaku, meski tak terluka? Masih banyak yang tidak kumengerti tentang segala sesuatu yang ada di dunia ini. Ada satu hal yang menjadi pertanyaan besar di kepalaku selama ini. Kenapa perang ini bisa terjadi? Aku duduk sambil menyangga punggung pada pilar-pilar tinggi menara di pintu masuk. Menatap rembulan dengan pikiran dipenuhi banyak sekali pertanyaan. Hingga akhirnya, kedua mataku terkantuk-kantuk, akhirnya terpejam dalam beberapa menit. “Tidak! Jangan! Biadab!” Terdengar suara pekikan seorang wanita. Kedua mataku kini terbuka lebar. Terdengar lagi suara itu, menusuk di telinga. Tidak salah lagi, itu adalah suara si gadis kumal. Segera aku berlari ke dalam menara. Namun, aku tak berhasil menemukan gadis kumal itu. Dan lelaki gemuk berjenggot lebat itu telah tiada. Hening. Pekikannya tak terdengar lagi. Tidak. Firasatku mengatakan bahwa mereka masih ada di dalam menara. Tidak mungkin mereka berlari di tanah gersang yang luas ini dengan hanya hitungan menit. Aku berjalan pelan menuju lantai dua menara. Langkahku hampir tak bersuara. “Tida—” Sepertinya di lantai dua menara terdapat sebuah pintu besi kecil. Aku mencoba membuka pintu itu. Namun, terkunci rapat. “Tolo—” Tidak salah lagi! Sumber suaranya ada di dalam! Jangan meremehkan ras Akila. Kami adalah ras terkuat di muka bumi. Tentu saja sebuah pintu besi kecil tak dapat menghalangi jalanku. Dengan sedikit tendangan saja, pintu itu terbuka. Kudapati si pria gemuk sedang berposisi menindih si gadis kumal dan membekapnya erat. Pakaian lusuhnya tampak compang-camping. Ya, sepertinya ini adalah tindakan dari nafsu kebiadaban manusia yang dinamakan berahi. “Biadab!” Segera kuambil sebuah kursi dan membenturkannya pada si lelaki gemuk. Ia terpental, kemudian terempas pada dinding. “Tidak! Ampuni saya. Tidak!” ucap si lelaki gemuk, memohon. Tak kuhiraukan permohonan maafnya. Wajahnya terus kujejali dengan tinjuku sekuat tenaga. Darah bergelimang di sekitar wajahnya. Setelah kesekian kalinya, tengkoraknya melebur dan memuncratkan banyak darah, sehingga mengotori tubuhku dan tubuh si gadis. “Hei! Sudah! Hentikan! Dia sudah mati! Dia sudah mati!” pekik si gadis kumal, seraya berusaha menarik dan menghentikanku, lalu menjauhkanku dari mayat si pria gemuk. Aku tersadar kembali. Terkejut mendapati diriku telah berlumur darah milik si lelaki gemuk. Tidak. Aku membunuh lagi. Kutatap si gadis kumal, ia sedikit berwaspada. Menjauh beberapa jarak dariku. Kutolehkan pandangan pada mayat si lelaki gemuk. Wajahnya sudah hancur lebur. Hampir tak dapat dikenali lagi. Kepalanya sekarang lebih mirip roti kukus yang telah berkali-kali diinjak ribuan orang. Tatapanku semakin tajam, tetapi sebenarnya taka da yang dapat aku pikirkan selain amarah. Yang ada kini hanya pertanyaan-pertanyaan aneh yang terus menusuk di telingaku. Apakah aku salah telah membunuh lelaki gemuk itu, sementara ia sedang mengancam hidup seseorang? “Hei, katakan padaku! Apakah aku salah telah membunuhnya?” tanyaku pada si gadis kumal. “Seharusnya kau tidak membunuhnya begitu kejam. Lihatlah, wajahnya hampir tak dapat dikenali. Tengkoraknya hancur lebur.” Si gadis kumal menangis, terisak. Kutolehkan pandangan pada si gadis kumal. “Cairan itu ... kenapa? Kenapa itu keluar lagi dari matamu?” Tiba-tiba si gadis kumal menghentikan tangisannya, lalu menatapku, tampak menyadari sesuatu. Aku pun sadar bahwa mata kiriku kini mengeluarkan cairan yang sama dengan si gadis kumal. Kuusapkan tangan, kemudian melihat beningnya cairan itu. Jadi, inikah akibat dari rasa sakit di dadaku? Tak lama kemudian, cairan itu terus mengalir tanpa henti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD