Satomi menggerundel dalam hati setelah meninggalkan ruang kerjanya, kening bertaut.
Ia tak habis pikir sang kakek datang jauh-jauh dari Tokyo hanya untuk menyuruhnya menikah. Bulu kuduknya berdiri!
Menjalin hubungan dengan seorang laki-laki adalah hal yang tak ada di daftar keinginannya saat ini. Tiba-tiba ia teringat pernyataan cintanya yang begitu naif dan bodoh pada lelaki seangkatannya sewaktu di bangku SMA.
Kenangan pahit itu seperti sekelebat putaran film yang dipercepat. Sampai saat ini, suara lelaki itu terngiang kuat di telinganya, penuh nada angkuh dan meremehkan, ditambah ekspresi tak pedulinya yang sedingin nada bicaranya membentuk sebuah perpaduan yang membuat hati Satomi ciut dan gentar.
Sosok dingin itu mendengus geli dengan pembawaan tenangnya dalam ingatan Satomi.
Deg!
Perasaannya tidak enak mengingat semua itu.
Rasa sakit yang tajam dan dingin menusuk tepat di jantungnya, menjalar dan merembes kuat di sana hingga membuatnya sulit bernapas. Tangan kanannya mencengkeram kuat dadanya, dan tubuhnya membentur dinding di sampingnya.
Wajah Satomi terlihat pucat penuh derita
Perkataan dari lelaki yang sudah dikaguminya diam-diam selama tiga tahun begitu menghancurkan hatinya. Dipikirnya ia adalah lelaki ramah dan baik hati setelah pernah membantunya membawakan alat peraga di jam istirahat sekolah, apalagi ia selalu menyapa dan mulai sering menolongnya saat semakin sering bersama, tapi ternyata ia menyimpan sosok mengerikan yang membuat hatinya hancur seperti disiram racun, layu kemudian mati.
Bibir indah lelaki itu yang selalu tersenyum pada semua orang,ternyata begitu kasar dan jahat padanya. Kenapa hanya pada dirinya ia berbuat begitu? Apakah ia memang sejelek itu di matanya? Lantas kenapa ia suka membantunya di masa lalu? Selalu bertemu dengannya tanpa sengaja layaknya adegan klise di komik-komik romantis? Apa semua itu hanyalah akting agar mendapat gelar pangeran sekolah? Atau Satomi sendiri yang terlalu di mabuk cinta saat itu hingga berdelusi terlalu berlebihan? Berdelusi jika cintanya bersambut melalui kebaikan sang pujaan hati.
"Menyedihkan..." bisik Satomi dengan bibir bergetar.
Ingin rasanya ia lari dan bersembunyi saat suara lelaki itu bergema di dalam kepalanya, hatinya menjadi dingin dan beku, seolah ada tombol on-off yang hanya bisa dipicu oleh suara lelaki itu. Menghentikan realitanya dalam sedetik, terasa begitu lama dan menyiksa.
Meski jantungnya tak bereaksi pada lelaki mana pun, namun saat ingatan itu muncul, hatinya akan menggeliat resah seperti sedang menaiki roller coaster tak tentu arah.
Dokumen dan tabletnya jatuh ke lantai, membuat sebuah bunyi debam dan 'sruk' yang membuat sepasang mata yang lewat menoleh ke arahnya.
Sudut-sudut mata Satomi mulai memanas, akan tetapi ia tak boleh terlihat lemah di kantor. Tidak! Reputasi berharganya yang sudah dibangun selama bertahun-tahun akan hancur dalam sekejap!
Satomi berusaha mengatur pernapasannya, menutup mata kuat-kuat.
Dulunya ia memang jelek.
Kuno dan kolot.
Pada masa-masa di bangku sekolah, Satomi tak punya waktu untuk mengurus diri dengan perawatan dan bersolek seperti layaknya teman-temannya yang lain. Rambut panjang hitam yang dikuncir dua dan berponi rata, berkacamata tebal, gemuk, dan muka penuh jerawat. Benar-benar hanya memikirkan belajar dan belajar saja.
Semua itu karena ia adalah calon penerus Shimazaki Group yang terkenal, maka mau tak mau, ia pun mati-matian berusaha agar tidak mengecewakan keluarganya setelah sang kakak yang diandalkan memberontak, dan sama sekali tak ada harapan ketika mantap memilih dunia entertainment sebagai karirnya.
Tapi itu dulu!
Sekarang ia memiliki penampilan seorang karyawan wanita profesional nan elit dengan pakaian dan barang bermerk melekat di tubuhnya selama 24 jam seminggu dan 365 hari setahun. Rambut panjangnya dicat pirang orange yang menarik, halus, lurus, dan berkilau. Ia pun rajin ke klinik kecantikan dan berolahraga teratur demi mendapat tubuh yang menarik.
Banyak orang yang menduga jika ia melakukan semua itu agar menarik pria-pria tampan dan kaya raya dalam jeratannya yang seperti laba-laba, sayangnya, setelah waktu berlalu, tak ada satu pun pria yang pernah terlihat jalan bersamanya hingga gosip bahwa ia memiliki kelainan tersebar di telinga seluruh karyawannya, kemudian menjadi gosip murahan yang laris manis.
Sesungguhnya, ia melakukan semua itu semata-mata agar menjaga staminanya kuat menghadapi aktivitas yang tinggi dan menuntut performa yang maksimal.
Penampilan adalah bahasa terkuat seseorang, dan ia yang selalu berurusan dengan banyak orang-orang penting di dunia bisnis membutuhkan kepercayaan yang kuat demi kelancaran dan keberhasilan usahanya.
Penampilan adalah senjata!
Lama baru Satomi menyadari kenyataan ini, tapi semua sudah terlambat, sang lelaki idaman ternyata sudah memiliki wanita idaman lain. Tak perlu heran tipe seperti apa sang pujaan hatinya, hukum sebab-akibat tentu saja masih berlaku. Lelaki tampan untuk perempuan cantik, dan perempun cantik untuk lelaki tampan.
Bahkan paling buruknya, beberapa saat setelah menyatakan cintanya, lelaki itu mencium sang pujaan hati di depan semua orang, dan dengan sengaja melirik ke arahnya sambil berciuman lebih intens dan panas.
Sejak itu ia mulai muak dengan yang namanya laki-laki.
Tak ada yang tahu latar belakang Satomi selama menempuh pendidikan hingga SMA, ia berpura-pura menjadi murid perempuan biasa yang gila belajar, jadi ketika semua kenangan pahit itu berlalu seiring waktu, tak ada yang mengingat sosoknya yang membosankan dan tak menarik itu. Tenggelam bersama cintanya yang kandas.
Berkat masa lalu yang tak pernah diharapkannya itu, sesuatu dalam dirinya terbangun. Monster yang ditakuti oleh para karyawannya dan sosok yang disegani di kalangan para konglongmerat dan pebisnis kelas dunia.
Tak ada yang berani menanyakan kebenaran mengenai kelaianannya, tatapan dingin Satomi saat mode bekerja merupakan hal yang paling menakutkan bagi siapa pun jika tak terbiasa bersamanya.
Di setiap jam makan siang, gosip yang paling ditunggu-tunggu tentu saja adalah tentang dirinya. Ia tak mau ambil pusing, tak ada gunanya menjelaskan. Toh, mereka tetap mempercayai apa yang mereka inginkan. Buang-buang waktu saja. Gosip adalah pekerjaan orang-orang malas, itu keyakinan Satomi.
"Anda tidak apa-apa?"
Sebuah suara lembut, ringan, dan ramah menghampirinya.
Satomi memijat-mijat kepalanya, berpura-pura terlihat kuat.
"Aku tidak apa-apa."
Ia melihat pemilik suara itu memungut dokumen dan tabletnya.
Tangan yang sangat indah dan lentik, batin Satomi tanpa sadar.
"Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya pemilik suara itu lagi.
Satomi berdehem sekali, memejamkan mata kuat-kuat dan menarik napas sekali sebelum menyandarkan tubuhnya ke dinding, perasaan mual tiba-tiba menyerangnya, wajahnya seperti kertas putih polos.
"Aku baik-baik saja, hanya sedikit sakit kepala dan mual. Bukan masalah serius."
Satomi menatap si pemilik suara itu, seorang lelaki ikemen (pria tampan dan seksi) dengan penampilan sederhana yang menarik—kemeja lengan panjang putih polos berpadu dengan dasi biru bergaris, serta celana panjang abu-abu dihiasi ikat pinggang hitam. Rambutnya cokelat gelap pendek, berkacamata tipis, dan dari tubuhnya menebarkan wangi parfum manis yang ringan, sensual, dan menenangkan.
Jika pada umumnya perempuan akan terpesona pada pria ini, lain halnya dengan Satomi.
Ia hanya diam beberapa saat dengan ekspresi datar yang sulit ditebak.
"Wajah anda tampak pucat. Yakin baik-baik saja?"
Satomi berusaha membalas pertanyaan itu dengan tenggorokannya yang mulai sedikit tercekat. "Ya, aku baik-baik saja...."
Tangannya meraih kasar barang-barangnya yang dipungut oleh lelaki itu, tak ada maksud berbuat begitu, tapi jika ia tak segera beranjak dari tempat itu, mungkin ia akan segera ambruk dan menjadi tonton seru para karyawan yang membencinya.
"Terima kasih," ucap Satomi pendek, kakinya hendak meninggalkan tempat itu secepatnya, namun tubuhnya tiba-tiba lemas dan segera ditahan oleh lelaki tadi.
"Sepertinya anda memang tipe yang keras kepala. Tidak heran orang-orang menjuluki anda sebagai pemimpin elit."
"Apa?"
Lelaki itu hanya tersenyum kecil, Satomi tak bisa melanjutkan perkataannya lagi, penglihatannya semakin kabur dan telinganya berdenging.
Wangi parfum lelaki itu membuat dadanya sesak. Rasa tak sukanya menggedor-gedor akal sehatnya.
Lancang sekali dia menyentuhku! batin Satomi.
"Anda ada rapat penting, kan? Saya akan antar anda ke lantai tempat rapat itu diadakan."
Tanpa tedeng aling-aling, lelaki itu mengangkat tubuh Satomi, lalu membopongnya menuju lift.
"Turunkan aku..." gumam Satomi berbisik, tapi suaranya begitu kecil dan lemah tak berdaya hingga lelaki itu tak memberikan reaksi sesuai perintahnya.
Kedua mata Satomi tertutup perlahan seiring mereka memasuki lift.
Di detik-detik kesadarannya yang mulai menghilang, ia berdoa semoga tak ada yang melihat mereka dengan posisi canggung seperti saat ini.
"Kau terlalu keras pada dirimu, Satomi."
Samar-samar, Satomi mendengar nama pemberiannya disebut begitu saja dengan lancangnya oleh lelaki itu, perasaannya yang semakin lemah membuatnya tak punya tenaga untuk mengonfirmasi pendengarannya. Ia jatuh ke dalam kegelapan pekat yang hangat dalam rangkulan sang lelaki.
Senyum tipis dan licik mengembang di wajah tampan itu.
Pintu lift pun menutup sempurna.
***