Kepala Satomi terasa sedikit pusing.
Perlahan ia membuka matanya, ruangan itu terlihat kabur pada awalnya kemudian menjadi jernih.
"Anda sudah sadar?"
Tanya sebuah suara, tapi Satomi tak yakin jika itu ditujukan padanya.
Kepalanya dimiringkan ke arah sumber suara, sosok itu duduk bersandar di tepi meja dengan tangan dan kaki dilipat, tersenyum tipis.
"Aku di mana?" Satomi memijat-mijat keningnya.
"Anda pingsan saat hendak menuju lift. Saya ingin membawa anda ke rumah sakit, tapi saya rasa itu akan menimbulkan kehebohan di perusahaan. Ini ruangan yang jarang dipakai, jadi tenang saja,"
"Oh... ya..." Satomi mengerang pelan, masih berusaha mengumpulkan tenaga. Ia bangkit perlahan dan duduk seraya memegangi kepalanya, "kau siapa?"
"Araki Ryuhei, dari bagian departemen pemasaran."
"Ah... terima kasih, Araki-san."
"Jangan sungkan. Anda sudah tak apa-apa? Mau minum?" tangannya meraih air mineral dari atas meja di belakangnya, berjalan pelan dan menyodorkannya pada Satomi.
"Terima kasih sekali lagi," ia meraih air mineral itu dan meminumnya.
"Sepertinya anda kurang sehat, apa sebaiknya anda pulang lebih cepat saja? Lagi pula rapatnya bisa diwakilkan, bukan?"
Seketika juga bola mata perempuan itu membesar.
"Aku lupa dengan rapatnya!"
Ia bergegas berdiri, memeriksa sekelilingnya dengan mata penuh tanda tanya.
"Mencari ini, Shimazaki-san!" Ryuhei mengeluarkan barang-barang Satomi dari laci dan mengembalikannya, matanya terlihat ramah.
"Ah, iya."
Dengan perasaan waspada dan tak nyaman, Satomi menerima barang-barang itu.
"Rapatnya benar-benar bisa diwakilkan, apa anda sungguh tak ingin istirahat?"
Kening Satomi mengeryit, lelaki asing itu sepertinya terlalu ikut campur pada urusannya.
"Aku baik-baik saja. Ini rapat senilai 200 juta yen (kira-kira 24,8 milyar rupiah), mana bisa aku menyerahkannya pada orang tak berkemampuan," Satomi memperbaiki bajunya yang sedikit berantakan.
"Tak berkemampuan, ya?" Ryuhei terkekeh pelan.
Satomi memiringkan kepalanya, heran.
"Kenapa reaksimu begitu? Apanya yang lucu?"
Lelaki itu tersenyum kecil, "anda kurang mempercayai orang lain rupanya."
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
Ryuhei melipat tangan di d**a, menggeleng pelan.
"Lupakan saja perkataanku tadi. Rapat anda akan dimulai 10 menit lagi. Yakin ingin mengikuti rapat itu dengan keadaan seperti ini? Apa anda bisa memaksimalkan 'kemampuan' anda?"
Satomi merasa tersinggung mendengarnya, apa perkataan itu sengaja ditujukan padanya dengan nada dingin dan merendahkan? Akhir kalimatnya bernada sarkasme yang membuat kuping panas.
Apa-apaan lelaki ini! batinnya.
"Aku rasa ini bukan urusanmu," ia berjalan menuju pintu melewati lelaki tadi.
"Ini urusan saya juga," ia mencegat lengan Satomi, "saya bagian pemasaran. Sukses tidaknya proyek ini tak bisa diukur dari kemampuan anda memenangkan hati para investor. Kami bekerja keras mengumpulan data untuk diolah kemudian anda menyampaikannya dengan 'kemampuan' anda itu. Menurut anda, siapa yang lebih 'berkemampuan'?"
"Lancang sekali kau! Lepaskan!" Satomi menyentakkan tubuhnya agar terlepas dari cengkeran lengannya.
"Galak sekali," Ryuhei terkekeh pelan.
"Apa yang kauinginkan? Promosi? Uang? Katakan! Berhenti bertingkah aneh!"
Ryuhei terkejut mendengar hal ini, ketidaksukaannya disembunyikan di balik senyum tipisnya yang misterius.
"Aku tidak keberatan mendapat promosi, atau pun uang. Saya suka semuanya. Menjilat atasan tidak buruk juga, apalagi mengancamnya," kalimat terakhir dibisikkan di telinga Satomi dengan nada sensual.
"Hentikan! Kurang ajar!"
Satomi hendak menamparnya, tapi keburu ditahan oleh lelaki itu.
"Apa ini balas budi anda pada orang yang telah menolong anda?" ia meraih pinggang Satomi, merapatkannya pada tubuhnya.
"Apa maumu sebenarnya?" perempuan itu mencoba berontak dari cengkeraman kuat Ryuhei, tapi tetap saja nihil.
"Menurut anda?"
"Berhenti berbicara yang aneh-aneh! Ucapan terima kasih sudah kuucapkan. Jika kau ingin promosi, tinggal bilang! Jangan berbuat rendah begini! Ini pelecehan namanya! Aku bisa menuntutmu!"
Ryuhei tertawa geli mendengarnya, ia menyentak tubuh Satomi hingga lebih merapat padanya. Matanya berubah dingin, namun senyum khasnya masih terpasang di wajahnya yang tampan.
"Orang kaya memang beda, ya?! Semua bisa diselesaikan dengan kekuasaan dan uang."
"Lepaskan! Jika sampai ada yang melihat kita, aku akan memecatmu!"
Ryuhei mendengus geli.
"Saya hanya menolong anda, ini bukan pelecehan," matanya melirik ke arah lantai di depan pintu. "Masih licin. Belum dibersihkan dengan baik. Beberapa saat lalu seseorang yang sedang makan di sini menumpahkan makanan berminyaknya gara-gara kaget melihat saya membopong anda ke ruangan ini."
Mata Satomi melirik cepat ke arah lantai, dan memang di lantai tegel cokelat bermotif itu terlihat samar-samar sedikit buram oleh sapuan pel yang asal gosok.
"Rupanya benar anda ini kurang mempercayai orang lain, bagaimana bisa anda berbisnis selama ini tanpa kepercayaan?" lanjutnya dengan tatapan mengejek.
Walau dijelaskan begitu, Satomi mengabaikannya. Yang ada di benaknya kini adalah seseorang yang dibicarakan oleh Ryuhei.
"Kau bilang ada yang sedang makan di sini dan melihat kita? Apa kau tahu siapa dia?" nada suaranya terdengar gelisah.
Ryuhei yang menangkap sikap aneh Satomi, kembali tersenyum dan berkata dengan santai, "apa anda takut terkena gosip baru?"
"Jangan macam-macam! Sekarang juga lepaskan aku!"
"Baiklah!" Ryuhei tersenyum lebar seraya melepas tubuh Satomi dari pelukannya, "bukankah lebih baik terkena gosip bersama saya daripada terkena gosip menjadi seorang lesbian?"
Deg!
Jantung Satomi mendadak seolah ditusuk pisau es.
Perkataan lelaki itu begitu memalukan di telinganya, bibirnya tak bisa membalas perkataan itu. Selama ini, ia memang mendengar bermacam-macam gosip tentangnya secara tidak langsung, namun ketika seseorang mengatakan hal itu tepat di wajahnya, ia seolah ditelanjangi.
"Loh? Kenapa? Anda seolah baru pertama kali mendengarnya. Bukankah gosip ini sudah lama beredar?" sebelah kening Ryuhei naik. Lelaki itu menunggu reaksi Satomi, tapi perempuan itu tampak terlihat seperti batu, statis.
Satomi terlihat kebingungan, wajahnya memerah antara marah dan malu.
"Shimazaki-san?" tegur Ryuhei.
"Siapa orang yang telah melihat kita?" tiba-tiba Satomi menjadi tegas, matanya berkilat.
Ryuhei diam, matanya memperhatikan reaksi Satomi lekat-lekat.
"Kenapa kau diam? Katakan! Cepat! Aku tak punya banyak waktu!"
Ryuhei memperbaiki letak kacamatanya, tertawa kecil. "Jangan takut! Orang itu tidak akan menyebarkan gosip tentang kita."
"Enteng sekali kau berbicara!"
"Aku bisa jamin itu, Shimazaki-san. Bukankah anda akan menghadiri rapat penting? Biar saya yang urus masalah itu."
Satomi memandangnya curiga, ia tampak berpikir sejenak. "Jika kau bisa membuatnya tutup mulut, aku akan memberikan rekomendasi untuk menaikkan jabatanmu."
"Menarik sekali," ucap Ryuhei dengan nada suara seksinya, berbisik pada dirinya sendiri. Kilatan matanya seolah merencanakan sesuatu.
"Aku harus pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih sudah menolongku meski malah mungkin akan membuatku mendapat masalah baru. Aku akan menghubungimu untuk mengetahui perkembangan selanjutnya."
Satomi memperbaiki penampilannya, memeriksa kelengkapan dokumennya sejenak, dan menundukkan kepalanya sebagai pernyataan sopan santun.
"Serahkan semuanya padaku."
"Araki Ryuhei. Aku mengandalkanmu. Kalau begitu, sampai jumpa!" ucap Satomi dingin, jauh dari nada layak dari seseorang yang telah ditolong, lebih seperti nada orang yang memerintah tanpa bisa diinterupsi.
"Baik. Sampai jumpa, Shimazaki-san!" Ryuhei menundukkan kepalanya ke arah sosok Satomi yang kini semakin menjauh dari ruangan itu.
Ryuhei menengakkan tubuhnya, bibir merahnya tersenyum licik.
"Araki Ryuhei. Ia baru mendengar namaku sekali hari ini, tapi sudah hafal? Atau ia masih ingat?"
Lelaki berkacamata tipis itu tertawa geli, bersandar pada rangka pintu dan meregangkan ikatan dasinya.
"Kejam sekali jika ia melupakanku setelah malam itu."
Kedua bola mata Ryuhei berkilat tajam berbahaya.
***