Bab 11

2420 Words
Sampai di bandara, hal yang pertama kali Mesya lakukan adalah menghubungi nomor Dira. Tadi, saat masih dalam perjalanan, Dira sempat mengirim pesan jika dia sudah sampai. Jadi nanti ketika Mesya juga sudah sampai, mereka tidak perlu saling menunggu. Setelah dering pertama terdengar, Dira langsung mengangkat teleponnya. Dengan segera Mesya bertanya di mana kakaknya saat ini. tapi sayang sekali Mesya tidak benar-benar memperhatikan sekitar. Padahal, orang dia cari sejak tadi berdiri tidak jauh dari dirinya. “Mesya?” Sambil memegang ponsel yang masih menempel di telinganya, Mesya melihat Dira yang berjalan mendekatinya. Entah kenapa Mesya merasa jika matanya mulai memanas. Seperti ada letupan emosi yang tidak bisa dia tahan. Bertahun-tahu tidak saling bicara ataupun bertemu, melihat kakaknya sedang berdiri di depannya seperti saat ini membuat Mesya jadi ingin menangis. Ah, dia benci pada air matanya yang rasanya sangat mudah untuk mengalir begitu saja. “Mbak Dira..” Pada akhirnya, sama seperti pertemuan emosional lainnya, Mesya memeluk kakaknya dengan erat. Sedikit merasakan jika Dira juga terisak dalam pelukannya. Entah karena kakaknya itu juga merasakan emosi yang sama dengan dirinya, atau memang karena saat ini dia sedang ada masalah dan tidak pernah ada yang memeluknya, jadi ketika bertemu dengan Mesya dia merasa ingin menangis. Entahlah, yang pasti Mesya merasakan jika saat ini kakaknya sendang menangis. Pada akhirnya, karena tidak bisa lagi menahan dirinya, Mesya juga merasakan hal yang sama. Jika sudah seperti ini, ingatan Mesya akan bergerak di masa saat mereka masih kecil. Berdua dan saling berpelukan ketika selesai bertengkar. Beberapa saat saling melepas rindu, pada akhirnya Mesya tertawa pelan ketika mereka sama-sama melepaskan pelukan masing-masing. Astaga, mereka benar-benar terlihat seperti anak kecil yang sudah lama saling terpisah. Tapi memang beginilah saudara, mau bagaimanapun keadaan sebelum bertemu, nanti kalau sudah benar-benar melihat satu sama lain, pasti responnya berbeda. Untuk sekarang, Mesya bersyukur karena dia mengikuti kata hatinya. Membiarkan Dira datang ke sini untuk memperbaiki semuanya. “Lama sekali nggak ketemu, Mbak..” Sekalipun sebenarnya Adrel seumuran dengan Dira, sejak mulai menjalin hubungan dengan Mesya pria itu selalu memanggil Dira sama seperti Mesya. Entah pria itu memang sudah memprediksi akan menjadi adik ipar Dira atau bagaimana, tapi memang begitulah kenyataannya. Adrel memperlakukan Dira seperti kakaknya sendiri. Sudah tidak berbicara seperti saat mereka masih berteman dulu. Mereka memang masih akrab, setidaknya sebelum masalah tiga tahun lalu terjadi. “Iya..” Dira mendekati Adrel dan memeluknya sekilas. Lalu kembali menatap Mesya yang sedang berusaha menghentikan laju air matanya. Ya ampun, Mesya sungguh tidak menyukai ini semua. Dia selalu saja menangis di segala situasi. “Sudah jangan menangis, ini Mbak Dira sudah di sini..” Adrel berjalan mendekat untuk membawa Mesya ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan Mesya yang masih saja sulit mengatur napasnya. Jika di depan Adrel, Mesya mungkin merasa biasa saja. Tapi menangis di depan orang yang sudah sangat asing baginya, itu.. sangat memalukan. “Kita sebaiknya langsung pulang. Mbak Dira pasti sudah kelelahan” Mesya lebih setuju dengan opsi itu. *** Di dalam mobil ternyata suasana masih sangat canggung. Sebenarnya ini hanya berlaku untuk Mesya saja. Sejak tadi Adrel dengan lancar menanyakan beberapa hal ke Dira yang juga direspon sangat baik oleh kakaknya itu. Sekarang, Mesya jadi semakin bingung. Bagaimana cara dia mengatasi suasana canggung ini ketika tidak ada Adrel. Tangan Adrel bergerak untuk menggenggam tangan Mesya. Mencoba untuk membuat Mesya jadi sedikit lebih tenang. “Bagaimana kabar kalian?” Tanya Dira. Ini bukan pertanyaan basa-basi yang biasa ditanyakan orang ketika mereka baru bertemu. Ini adalah pertanyaan yang benar-benar menanyakan keadaan Mesya. Untuk sesaat Mesya memang menunggu Adrel menjawab pertanyaan itu. tapi selang beberapa detik, Adrel tidak terlihat ingin menjawab. Pada akhirnya Mesya yang membuka mulut. Ada banyak hal yang tidak bisa dia ceritakan dengan mudah. Selain karena kakaknya juga sedang mengalami banyak masalah, Mesya tentu saja juga belum bisa terbuka sepenuhnya setelah mereka sama-sama menjadi orang asing selama beberapa tahun ini. “Sebenernya kami baik-baik aja, Mbak. Cuma ada satu masalah yang masih sama sejak bertahun-tahun lalu.. kami belum punya anak” Karena memang begitulah adanya. Mesya tidak ingin nanti kakaknya bertanya-tanya ketika mereka nanti sampai di rumah. Kenyataannya seperti itu.. “Nggak masalah. Kalian juga belum terlalu lama berumah tangga.. terus berusaha sama berdoa aja..” Memang benar, yang hanya bisa mereka lakukan adalah berusaha dan terus berdoa. Karena sesungguhnya tidak ada cara lain selain meminta pada sang kuasa. “Mbak Dira sendiri bagaimana?” Dari kaca yang terletak di depan mobil, Mesya bisa melihat jika kakaknya tersenyum samar. Tampak berusaha untuk tetap baik-baik saja sekalipun pada akhirnya dia meneteskan air mata. Berbicara seperti ini memang tidak seharusnya dilakukan di dalam mobil. “Nggak ada yang baik-baik saja jika berbicara tentang perceraian. Mbak peringatkan pada kalian berdua, jangan sampai kalian mengambil langkah yang salah” Mesya tahu jika ini adalah salah satu cara Dira untuk menjelaskan betapa menakutkannya perceraian. Dia juga memperingatkan Mesya dan Adrel agar tidak sampai mengalami hal yang sama. Jujur saja, Mesya juga takut pada apa yang dikatakan oleh kakaknya. Perceraian tidak akan serta merta menyelesaikan masalah yang terjadi. Dua orang yang sudah disatukan lalu dipisahkan dengan sengaja. Rasanya seperti memotong bagian tubuh yang melekat pada diri kita. Menyakitkan tapi juga tidak bisa dihentikan. Ada banyak hal yang sudah dilalui bersama, bertahun-tahun selalu berbagi hal yang sama, perceraian tentu bukan keputusan yang mudah untuk diambil. Pada dasarnya, kalaupun memaksa bertahan, rumah tangga juga tidak akan baik-baik saja. Pasti ada satu orang yang harus terus-menerus terluka, atau bahkan keduanya sama-sama terluka karena mempertahankan sesuatu yang sudah tidak mampu bertahan. Tapi perceraian juga tidak membuat luka itu langsung sembuh. Perceraian hanya memotong satu masalah agar selesai sampai di siti. Agar kedepannya tidak timbul masalah lain. Masalahnya, luka juga tetap akan terasa ketika perceraian sudah terjadi. Sebagai orang yang sudah lama menjalani hubungan rumah tangga, Mesya tentu tahu bagaimana sulitnya ketika harus mengambil keputusan untuk berpisah padahal keduanya juga sebenarnya masih saling mencintai. Kadang, seiring berjalannya waktu, cinta yang awalnya saling membahagiakan bisa berubah menjadi saling menyakiti. Dalam pernikahan, cinta saja tidak cukup untuk tetap bertahan. “Doakan kami supaya tetep baik-baik saja sampai selamanya..” Adrel yang malah menjawab. Untuk beberapa saat mobil kembali dilanda dengan keheningan. Mesya tidak tahu harus mengatakan apa lagi. dia takut jika ada perkataannya yang mungkin saja bisa menyakiti hati kakaknya. Sangat tidak baik jika di saat seperti ini Mesya berbicara tentang perceraian kakaknya. Ya, sampai kapanpun Mesya juga tidak akan menyinggung masalah itu kecuali jika Dira sendiri yang bercerita. Untuk sekarang, mereka bisa duduk bersama di mobil yang sama saja sudah baik. Mungkin nanti seiring berjalannya waktu Mesya dan Dira akan menjadi sedikit lebih dekat. Mereka adalah dua orang saudara. Mana mungkin hanya karena masalah uang mereka bertengkar seperti beberapa tahun ini? Sebenarnya baik Mesya dan Dira tidak benar-benar bertengkar. Mereka berdua hanya saling menghilangkan jejak sama lain. Mencoba untuk saling melupakan hubungan persaudaraan mereka. Tinggal di kota lain membuat Mesya merasa enggan mengingat beberapa kenangan buruk di tempat kelahirannya. Termasuk masalah dengan Dira. Untuk sekarang, mereka mungkin memang diberi kesempatan untuk sedikit memperbaiki hubungan mereka. “Kerjaan kamu gimana, Rel? Masih fokus sama mimpi atau jadi ikutan orang tua buat kuliah dokter?” Terakhir kali mereka bertemu, sekitar tiga tahun lalu, Adrel memang masih bingung dengan dirinya sendiri. Hidup sebagai seorang anak yang kedua orang tuanya adalah dokter, membuat Adrel menerima banyak tekanan. Apalagi kakek dan neneknya dulu juga adalah seorang dokter. Sejak kecil semua orang selalu mengarahkan Adrel untuk belajar kedokteran juga. Dulu orang tuanya juga begitu. Oleh sebab itu, saat Adrel akan sekolah SMA, dia memutuskan untuk ikut nenek dari pihak ibunya yang tinggal di desa. Kehidupan di kota memang jauh lebih mudah. Adrel selalu mendapat fasilitas yang dia inginkan. Tapi saat itu Adrel merasa tidak sanggup. Nenek dan kakek dari pihak papanya adalah seorang dokter, mereka semua selalu memaksa Adrel untuk meneruskan pekerjaan mereka karena Adrel adalah anak satu-satunya. Untungnya saat itu Mamanya memiliki jalan keluar. Adrel diperbolehkan untuk kabur ke desa, hidup bersama dengan neneknya di sana. Sekalipun memang pendidikan di desa tidak terlalu memadai, Adrel jauh lebih senang ketika dia ada di desa. Banyak hal yang tidak pernah dia ketahui akhirnya didapatkan ketika dia berada di desa. Hidup seadanya sekalipun sebenarnya neneknya juga orang yang berada. Neneknya mendidik Adrel dengan cara yang sangat berbeda dengan yang selama ini Adrel dapatkan. Kehidupan di desa sangat berbeda, ada banyak sekali kebiasaan yang harus Adrel hilangkan dalam hidupnya termasuk Adrel yang sangat suka nongkrong di cafe. Tapi itu adalah salah satu tahun terbaik di kehidupan Adrel. Dia bisa menjadi dirinya sendiri.. Tidak ada lagi yang bisa memaksanya menjadi dokter karena masa depan adalah pilihan kita sendiri. “Sekarang keluarga udah bisa nerima keputusanku, Mbak..” Adrel menjawab dengan tenang. Sedikit banyak juga Dira mengetahui tentang keadaan Adrel. Karena sejujurnya, sebelum dekat dengan Mesya, Adrel sudah lebih dulu berteman dengan Dira. Hanya setelah menikah dengan Mesya, Mesya sendiri melihat jika Adrel mulai menjaga sikapnya pada Dira. Pria itu mulai membiasakan diri memanggil Dira dengan panggilan yang sama dengan yang digunakan oleh Mesya. Juga tidak lagi bercanda dalam taraf berlebihan seperti dulu. Mesya memang tidak mengingat apapun yang terjadi selama dia ‘katanya’ berpacaran dengan Adrel. Mesya baru bisa benar-benar sadar akan keberadaan Adrel ketika mereka sudah lamaran. Jujur saja, sesaat setelah Adrel dan Mesya lamaran, Adrel masih bersikap biasa saja dengan Dira. Mereka masih saling tertawa akrab seperti saat berteman dulu. Padahal saat itu Dira sudah menikah dengan suaminya. Karena suaminya Dira juga adalah teman sekelas Adrel, Dira dan Adrel jadi semakin dekat. Saat itu, pernah ada rasa ragu untuk meneruskan hubungan dengan Adrel. Jujur saja dibanding dengan Mesya, Dira sepertinya jauh lebih dekat dengan Adrel. Tapi untunglah keraguan itu tidak membuat Mesya menyerah begitu saja. Di desa, seorang gadis yang sudah dilamar melambangkan kalau dia sudah terikat dengan pria yang melamarkan. Hubungan mereka sudah serius dan sama-sama sudah direstui oleh keluarga. Mesya tidak mungkin bisa dengan mudah merasa bimbang dan membatalkan hubungan baik mereka begitu saja. Oleh karena itu Mesya bertahan, berharap agar keraguannya pergi. Dan benar, beberapa saat setelah itu Mesya mulai merasa jika Adrel memang benar-benar mencintainya. Hubungan Adrel dan Dira hanya sebatas teman saja. Itu semua karena Dira memang teman sekolahnya dan suaminya Dira adalah teman sekelasnya. Oleh karena itu mereka jadi dekat. “Syukurlah kalau begitu. Sesuatu yang dipaksa itu nggak akan baik.. akhirnya bakal hancur begitu saja..” Entah kenapa sesaat setelah Dira mengatakan kalimat itu, Adrel malah menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Membuat mobil mereka jadi berhenti begitu saja. Untung saja jalan sedang sedikit sepi dan pengemudi yang ada di belakang mereka bisa langsung menghentikan mobil juga. Jika tidak, saat ini pasti akan terjadi kecelakaan. Mesya menatap Adrel dengan pandangan terkejut. Tapi pria itu tampaknya juga tidak kalah terkejut dengan apa yang baru saja dia lakukan. Untuk sesaat beberapa suara ribut dari arah belakang mulai terdengar, beberapa kendaraan yang memprotes kelakuan Adrel. “Kenapa?” Adrel meminggirkan mobilnya. Berhenti di bahu jalan ketika beberapa kendaraan mulai melaju begitu saja, beberapa juga ada yang sempak memprotes tindakan Adrel tadi. “Maaf.. lagi nggak konsen aja..” Adrel menjawab sambil menerima uluran air mineral yang juga baru saja diminum oleh Mesya. Sebenarnya Adrel tidak terlalu kaget. Dia juga bisa langsung melanjutkan perjalanan begitu saja, tapi ketika melihat Mesya yang wajahnya memucat, Adrel lebih memilih untuk menepikan mobilnya sebentar. Padahal Mesya yang terlihat sangat terkejut, tapi malah wanita itu yang mengkhawatirkan Adrel. “Mbak Dira nggak pa-pa?” Tanya Mesya sambil menolehkan kepalanya ke jok belakang. Tempat Dira dudu sejak tadi. Melihat Dira yang tampaknya juga terkejut, akhirnya Mesya mengeluarkan satu lagi air mineral yang ada di dalam tas miliknya. Untung saja Mesya sempat membawa air itu karena menyadari satu dus air meneral gelas yang biasanya ada di dalam mobil sudah habis. Dan Adrel juga belum membeli. “Iya, aku nggak pa-pa..” Mesya menghela napas pelan. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Mesya menatap Adrel, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi karena jujur saja, tidak ada apappun di depan mobil mereka yang bisa menjadi penyebab Adrel harus menghentikan mobil dengan tiba-tiba. “Kamu nggak pa-pa?” Adrel menyentuh Mesya, mencoba untuk melihat Mesya dengan baik-baik. “Iya, Aku baik. Tadi.. tadi kenapa?” Mesya menatap Adrel, mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan Adrel mengambil keputusan yang bisa saja membahayakan mereka. Sungguh, jika di belakangnya ada mobil yang melaju dengan kencang, mereka pasti akan mengalami kecelakaan. “Enggak, aku Cuma nggak fokus aja..” Sesaat kemudian, ketika keadaan sudah lebih tenang, Adrel memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka. Mencoba untuk tetap fokus menatap jalan dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Ada sesuatu yang mungkin hanya Adrel saja yang bisa merasakan. Entah kenapa sekarang Adrel merasa sedikit cemas. “Pelan-pelan aja. Kamu emang masih ngantuk, ya?” Tanya Mesya sambil mengusap pundak Adrel dengan pelan. Sejujurnya tadi Mesya juga merasa sangat kaget. Dia tidak menyangka jika Adrel sampai menghentikan mobilnya dengan tiba-tiba seperti itu. Tapi daripada membuat siasana jadi semkain keruh, Mesya lebih memilih untuk menutupi rasa terkejutnya. Dan satu hal lagi yang terasa sangat mencurigakan, Adrel menghentikan mobilnya tepat ketika Dira baru saja selesai mengatakan kalimat yang sebenarnya bagi Mesya sama sekali tidak berarti. Tapi, apa memang benar jika kalimat itu berhubungan dengan Adrel? Sudahlah, Mesya tidak seharusnya menghubungkan sesuatu yang mungkin saja hanya kebetulan. Mungkin memang benar jika Darel sempat tidak fokus. Astaga, padahal Adrel tidak pernah melakukan semua ini. Ketika sedang mengemudi, Adrel tidak pernah kehilangan fokusnya. Hidup bersama dengan Adrel selama 5 tahun, Mesya tentu tahu apa saja yang menjadi kebiasaan suaminya itu. Tapi mungkin memang benar, Adrel mungkin hanya sedikit tidak fokus saja. “Enggak kok, Sya. Aku juga nggak tahu tadi aku kenapa sampai menginjak rem kaya begitu” Adrel tertawa pelan. Tawa yang tentu saja semakin mengundang tanda tanya bagi Mesya. Seperti ada yang berusaha Adrel tutupi darinya. Tidak, mereka tidak biasa seperti ini. Apapun yang menjadi kecemasan Adrel, pria itu akan selalu memberi tahu Mesya. Begitu juga sebaliknya. Mereka selalu menjaga komunikasi agar tidak ada salah paham yang terjadi. Selama ini memang begitu sehingga Mesya selalu merasa terbiasa. Sekarang, melihat Adrel tampak mengernyitkan dahinya sambil terus berusaha fokus menatap jalan raya, semua itu semakin membuat Mesya merasa bingung. Baiklah, mungkin memang tidak saat ini karena Mesya tentu tidak akan bisa membicarakan masalah pribadinya dengan Adrel mengenai keterbukaan satu sama lain di hadapan Dira. Tidak, Mesya memang terbiasa berbicara dengan Adrel secara terbuka dimanapun mereka berada karena selama ini, mereka hanya hidup berdua saja. Sekarang ada Dira di jok belakang, Mesya tidak akan mungkin membicarakan masalah ini di hadapan Dira. Mesya cukup tahu batasan. Apalagi ketika melihat keadaan Dira yang baru saja bercerai. Mesya ingat, dulu ketika ibu dan bapak baru saja meninggal, setiap kali Mesya melihat seorang anak kecil yang berjalan bersama dengan kedua orang tuanya, d**a Mesya selalu merasa sesak. Seperti ada yang hilang dalam hatinya. Jadi sekarang, karena Dira sedang dalam tahap merelakan pernikahannya yang hancur begitu saja, Mesya tidak ingin wanita itu merasakan hal yang sama seperti yang Mesya rasakan ketika kehilangan orang tuanya beberapa tahun lalu. “Tapi kamu beneran nggak pa-pa, kan?” Tanya Adrel. Terlihat jelas kekhawatiran yang tergambar di wajah suaminya. Mesya tersenyum lalu mengangguk. Jika dia memiliki suami seperti Adrel, mana bisa Mesya melepaskannya begitu saja? Mereka baru 5 tahun bersama dan Mesya sudah merasa seperti Adrel adalah dunianya. Tidak, di depan sana mungkin akan ada banyak sekali masalah, tapi apapun keadaannya, Mesya tidak akan pernah melepaskan Adrel. Mereka diciptakan untuk bersama, selamanya akan begitu..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD