Human Shock

1913 Words
Samudra dikejutkan dengan penampilan Sena ketika dirinya pulang, dia memakai gaun berwarna pink dengan rambut yang diluruskan. “Hallo, Om? Selamat datang? Hari ini Om ada kerjaan gak?” Sejenak, Samudra hanya menatap dari kejauhan. Kenapa dia sudah ada di rumah? Bukankah sebelumnya dia mengatakan kalau akan pulang terlambat? “Aku tadi gak masuk di jam terakhir, soalnya main sama si kembar,” ucapnya seolah tau apa yang ada di dalam pikiran Samudra. “Om ini hari ini ada kerjaan gak? Mama minta kita makan malam di rumahnya. Bisa?” “Memang bisa kalau saya nolak?” Tanya Samudra akhirnya bersuara. “Duh, ya enggak lah. Om sendiri tau gimana Mama Dara tingkahnya. Tadi Adek pikir Om sakit gigi jadi gak ngomong ngomong.” Kemudian Sena menepuk bagian sisi sofa yang diduduki. “Mau duduk di sini dulu? ngobrol dulu?” Sebelum bocah itu mengatakan hal lainnya, Samudra segera pergi ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya. Sesaat dia terdiam, banyak sekali mainan bebek di pinggir bathub. “Tenang, tenang,” ucapnya pada diri sendiri. Tidak boleh marah, nanti dirinya bisa dikutuk oleh Kakeknya sendiri. Setelah selesai mandi, mereka bergegas pergi ke rumah keluarga utama Surawisesa yang jaraknya sekitar 15 menit. Sepanjang perjalanan, Sena tidak berhenti bicara membicarakan tentang bagaimana keseruan dirinya bersama dengan adik dari Samudra. “Mereka itu lebih tua dari aku tapi panggil aku Kakak masa, lucu banget kan, Om?” “Terus? Kamu mau dipanggil Tante gitu?” Tanya Samudra yang sudah merasa pusing dengan ocehan Sena. Namun bukannya marah, Sena malah terpaku dengan apa yang dikatakan oleh Samudra. Itu adalah bentuk kepedulian menurutnya. “Ya ampun, Om. Akhirnya bisa diajakin bercanda. Hahahaha, aku suka,” ucapnya sambil bertepuk tangan. “Ya gak tante juga kali. Panggil adek misalnya, eh, tapi kalau panggilan itu kan panggilan sayang dari Om ya?” Kini Samudra memilih tidak menanggapi, dia menyalakan musik klasik lagi. Berharap Sena tidak mengubah lagu, tapi hal itu hanyalah khayalan belaka. “Takut Om ngantuk akutuh,” ucapnya dengan senyuman yang manis. “Om, Om?” Samudra tidak menjawab. “Om Sam? Om?” “Apa?” “Kapan kita malam pertamaan?” Bertepatan dengan lampu merah dan mobil berhenti, Samudra menoleh pada Sena. “Ya kan kata Om aku itu bukan zona nyaman Om. Makannya mending kita mulai kebiasain deh, Om. Biar lama lama Om terbiasa sama aku,” ucapnya dengan tangan terulur membenarkan rambut sang suami. “Kayak hal kecil gini, benerin rambut Om yang berantakan.” “Tangan kamu bau cabe.” “Oh iya kah?” sena segera mencium tangannya sendiri. “Hehehe, abis makan ayam geprek tadi.” “Jangan melewati batas.” “Tapikan kita suami istri.” “Jangan melewati batas.” “Batasnya apa? Om harus dengan jelas kasih waktu sampe kapan kita harus kayak gini? Kalau terus terusan gak mau ya kapan bisa nyamannya?” tangannya dengan usil mengelus paha Samudra yang membuat pria itu langsung berteriak. “Arrghhh, Sena! Tangan kamu bau cabe!” Membuat Sena tertawa terbahak bahak, selalu suka dengan ekspresi yang dibuat oleh Samudra. Dia bertepuk tangan sendiri. “Bau cabe atau takut tegang?” Samudra memilih mempercepat laju mobil. Bisa bahaya dia terlalu lama dengan makhluk sejenis Sena. Amarahnya bisa meledak. Sementara Sena, dia tau kalau menggoda Samudra akan menjadi bagian paling favorit-nya. “Woaahhh, ini rumah atau istana presiden?” Tanya Sena terpukau. Menikah beberapa hari yang lalu, dia belum pernah ke rumah sang mertua yang layaknya istana presiden, luas dan sangat putih. Samudra turun lebih dulu, disusul oleh Sena yang masih membuka mulutnya karena terpesona. Menutup pintu mobil dengan mata yang terus terpkuau pada bangunan di depannya. “Om, tunggu!” teriaknya bersiap untuk berlari hingga… BRET! BRUK! Ujung gaunnya terjepit pintu mobil hingga membuat Sena terjatuh. “Huaah, gaun baru adek,” ucapnya menatap Samudra yang menarik napasnya di sana. “Om gak mau bantuin gitu?” Baru juga Samudra hendak melangkah, Mama Dara lebih dulu keluar dan panik melihat Sena. “Ya ampun, menantu Mama! kamu kenapa, Nak?!” berlari dan merangkup wajah Sena. “Ada yang sakit? Mana yang sakit bilang sama Mama. Abang kenapa gak bantuin istrinya ini!” “Ditinggal sama Ayang, Ma. Pas Sena mau ngejar, gaunnya kejepit.” “Uhh, gak papa nanti kita beli baju baru ya. ayo bangun, Nak.” Mereka satu spesies, membuat Samudra memilih melangkah lebih dulu meninggalkan tempat itu. *** “Abang lain kali jangan begitu ya. kamu kan punya kaki, kalau Sena jatuh kamu langsung lari bantuin dia ya?” Kehebohan juga terjadi begitu si kembar mengetahui apa yang terjadi dengan kakak iparnya. Makan malam Samudra yang biasanya tenang kini menjadi kacau, berisik karena mereka terus berbicara. Ditatapnya sang Papah yang bisa juga menyukai keheningan, tapi sekarang dia malah tersenyum mendengar gurauan Sena. Bahkan Ajun yang tidak pernah peduli dengan sekitar itu berkata, “Istri kamu lucu ya, Bang. Bangga Papah punya menantu aktif kayak dia.” Dibalas dengan keterdiaman Samudra selama beberapa saat. Ketika makan malam selesai, Samudra langsung pergi ke perpustakaan untuk mencari beberapa buku yang dia butuhkan. Perpustakaan di rumahnya menjadi tempat paling favorite karena begitu hening, sampai akhirnya… BRAK! Pintu terbuka secara kasar diikuti oleh mereka yang tertawa. “Di sini banyak deh buku buku tentang kecantikan! Tentang seni juga!” “Ayo Kak Sena, pasti kakak suka!” Hingga saat koridor buku kedua, tiga perempuan itu berhenti karena melihat keberadaan Samudra. “Eh abang dicariin ternyata di sini toh. Ngapain?” “Kamu pikir ngapain kalau di perpustakaan?” samudra yang sudah tidak mood itu mengambil buku yang ingin dia baca dan membawanya keluar, memilih untuk membacanya di kamar saja. “Bang, nginep aja di sini ya?” “Nggak,” jawab Samudra tanpa menghentikan langkahnya. Dan itu membuat Mama Dara mengepalkan tangannya kesal. “Udah biarin aja,” ucap Ajun menghentikan amarah istrinya. “Dia ada banyak kerjaan, katanya lagi nanganin kasus penganiayaan sama pembantu ituloh. Yang nyampe dilecehkan, Si Abang lagi ambis. Soalnya si pelaku punya bakingan uang yang cukup kuat.” “Haduh, heran Mama tuh. Dia udah punya kerjaan enak sebagai pemimpin rumah sakit malah mau berurusan sama orang jahat.” Sampai sekitar satu jam Samudra membaca di kamar, dia sudah merasa cukup dan waktunya untuk pulang. Saat membuka pintu, dia kaget sudah ada Sena di sana yang hendak masuk. “Eh ampir aja kejedot, Om. Hehehe. Bisa barengan gitu ya? jodoh emang gak kemana.” “Awas,” ucap Samudra saat Sena menghalangi. “Ada Kakek Gani di bawah, mau ketemu katanya.” Ini dia oknum yang membuat Samudra tidak bisa memiliki pacar sejak umurnya 20 tahunan. Masih teringat jelas kalimat yang dikatakan sang Kakek, “Uhuk uhuk uhuk! Kamu tega kalau kakek mati karena kamu gak memenuhi permintaan Kakek? Padahal Kakek Cuma mau kamu nunda punya pacar karena Kakek punya jodoh yang terbaik buat kamu. Kayaknya Kakek bakalan mati sekarang. Uhuk uhuk.” Dan kakek Gani mengatakan itu saat kakinya tidak sengaja menginjak paku payung, berlagak akan mati dan memaksa semua pihak agar Samudra menuruti keinginannya. Bahkan Kakek Gani yang membuat Samudra berjanji tidak akan menyakiti istrinya meskipun dalam bentuk kalimat. “Mau gandengan tangan gak, Om? Biar manis gituh kitanya?” “Gak usah,” ucap Samudra buru buru melangkah menjauh saat melihat wajah genit dari Sena. Perempuan itu malah tersenyum dan segera menyusulnya. “Om tungguin aku ih.” Sesuai dugaaan Samudra. “Abang Samudra, itu istrinya kenapa ditinggalin. Mana jalannya agak pincang gitu, Sena kamu apain, Bang?” Tanya Kakek Gani yang membuat Samudra menoleh ke belakang. Sena tersenyum. “Ini tadi jatuh pas datang ke sini.” Padahal tadi dia baik-baik saja, kenapa sakitnya baru terasa sekarang? Pasti dia sedang berakting. Itu yang ada di dalam pikiran Samudra. “Bantuin, Bang.” Tidak ada pilihan lain selain kembali dan membantu Sena dengan menyodorkan sikunya. “Itu dirangkul istrinya.” Kakek Gani geram.. “Si abang mah emang gitu, denial orangnya kayak bapaknya.” Mama Dara menambahkan. “Tuh, kata Kakek dirangkul, Om.” Lelah sekali menghadapi keluarganya yang memiliki tingah seperti ini, kini istrinya juga sama. Samudra akhirnya membantu Sena sampai duduk di sofa. Bicara dengan Kakek Gani yang baru saja kedatangan tamu di rumahnya hingga tidak bisa bergabung makan malam di sini. Kakek Gani mendesak Samudra untuk mengambil cuti dan melakukan perjalanan bulan madu dalam rangka perkenalan keduanya. Namun Samudra dengan tegas mengatakan, “Untuk satu bulan ini gak bisa diganggu.” “Tapi abis beres kasus ini langsung bulan madu ya, Bang? Kakek udah gak sabar mau habisin duit pensiunan Kakek. Kakek mau dapet cicit.” Yang mana membuat Samudra menghentikan gerakan mengunyah buahnya. Berbeda dengan Sena yang bertepuk tangan dan bertanya, “Kakek cicitnya mau berapa?” yang seketika menyebabkan Samudra terbatuk batuk karenanya. “Hati-hati loh makannya.” Sena berucap dengan lembut, membuat merinding Samudra. Sekitar jam Sembilan malam, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Namun sebuah berita yang mengatakan kalau jalan raya sedang mengalami perbaikan hingga mobil diharuskan memutar ke jalan yang berbeda. “Tuh, liat beritanya, Bang. Mending nginep aja di sini.” “Gak bisa,” ucap Samudra tetap pada pendiriannya. “Tapikan kamu tau kalau mobil kita pendek semua, gak bisa lewat jalan alternative. Kalau mau paling pake motor biar gak muter, mau Mama pesenin gojek?” “Gak usah gojek, Ma. Sena bisa kok naik motor.” Tawaran dari sang istri yang meyakinkan Samudra untuk pulanng naik motor. “Bagus itu, ada motor si Papah tuh di belakang. Tinggal pilih aja.” “Gimana? Mau gak?” Tanya Sena pada sang suami. Samudra berfikir. Jika memakai mobil, jalan memutar dengan kondisi lapangan yang rusak. Ditambah lagi semua mobil lewat jalan sana sehingga kemacetan pasti terjadi. Mungkin membutuhkan sekitar dua jam untuk sampai di rumah. Belum lagi Samudra harus memeriksa lagi berkas penting. Tidak, dia tidak boleh tidur di atas jam 11 malam. Jadi dia mengangguk menyetujui tawaran istrinya. “Jangan ngebut,” ucap Samudra begitu naik ke jok belakang. Mama Dara dan kedua putrinya menahan tawa melihat Samudra yang dibonceng oleh Sena. “Ucul banget ya.” Untuk menit-menit pertama, semuanya aman. Sena berkendara dengan normal dengan sesekali dia berbicara. “Ngerti gak, Om? Apa maksud aku?” Mana Samudra tau, dia tidak mendengarkan sama sekali. “Gak tau, saya gak denger.” “Hah?! Om bilang apa?!” teriaknya mengejutkan. “Om bilang apa tadi?!” Samudra menghela napasnya dalam. “Gak ada, nyetir yang bener.” “Oh iya!” sampai… “Hujan, Om!” teriak Sena dan langsung tanjap gas seketika. Hampir saja Samudra jatuh jika dia tidak reflex memeluk pinggang Sena. “Pelan pelan! Kita berhenti atau pake mantel!” “Gak ada! Tadi udah aku cek! Lagian tanggung bentar lagi nyampe!” Mengambil jalan tikus, ditambah hujan dan kecepatan di atas rata rata. Sisa perjalanan diisi oleh Samudra yang berdoa sambil memejamkan matanya, memeluk pinggang istrinya dengan erat karena takut mati. “Om, Om udah nyampe.” Bahkan Samudra tidak sadar kalau mereka sudah ada di basement. “Hehehe, nanti dilanjut lagi pelukannya ya, Om. Mau?” Samudra segera melepaskannya dan berdiri. “Kamu gak boleh bawa motor kayak gitu.” Sena masih terenyum dan duduk di atas motor sambil menatap sang suami yang basah kuyup. Seksi sekali. “Adek keren kan? Gimana perasaan Om dibonceng Adek?” “Bikin saya mau resign jadi suami kamu,” ucapnya kemudian berjalan lebih dulu. Membuat Sena buru buru turun dari motor dan berlari mengejar sang suami. “Om tunggu!” teriaknya sambil merentangkan tangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD