Tahapan ke dunia luar

1168 Words
Hari demi hari dilewati oleh Samudra dengan kacau. Tidak pada tempatnya lagi. Ketika dia seharusnya tidur pukul 11, kini bergeser melebihi pukul 12, padahal saat itu Sena tidak melakukan apapun. Hanya tidur terlentang dengan wajah yang tidak dapat dikondisikan. Karena makan malam dan sarapannya berubah menu, itu juga mempengaruhi pencenaan Samudra. Pagi hari biasanya dia minum kopi dan makan roti. Ketika malam hari, dia memakan sayur-sayuran yang dimasak Mamanya ataupun membeli. Untuk sekarang, banyak sekali kolestrol yang dimakan Samudra. Padahal banyak juga sayur sayuran yang dimasak oleh Sena, tapi daging yang berminyak itu terlalu menggoda untuk dia tinggalkan. Mungkin hanya makan siang saja yang masih terjaga, itupun tidak dengan pikirannya karena dia terus digoda oleh beberapa orang di kantornya dengan kalimat, “Pak, istrinya cantik banget. Ajakin ke sini kapan kapan, yang lain sering dianterin makan siang, masa bapak enggak.” Kebiasaan Samudra setelah pulang bekerja, dia akan makan malam sampai akhirnya menghabiskan waktu di perpustakaan ataupun di ruangan kerjanya. Pola kegiatan yang sama di setiap harinya, yang mana membuat Sena menghela napasnya dalam. “Itu gunanya kolam renang outdoor buat apa? Balkon yang luas buat apa? Terus itu televisi buat apa? Pajangan doang?” Sena tidak habis pikir, pasti akan membosankan memiliki pola hidup yang sama terus menerus setiap harinya. Ketika selesai jam makan malam dan Samudra menghabiskan waktunya untuk bekerja ataupun membaca, waktu waktu itu selalu dijadikan timing yang tepat untuk Sena menggoda Samudra, mengajaknya melakukan hal yang lainnya dan berakhir dengan Samudra yang merasa pusing. Terganggu sekali. Menyebabkannya selalu bergerak mencari ruangan lain supaya bisa mendapatkan ketenangan. Namun sepertinya, Samudra tidak akan bisa mendapatkannya. Membuatnya frustasi seperti sekarang dirinya dalam perjalanan pulang ke apartemen. Dia menarik napasnya dalam saat berada dalam lift. “Haruskah pergi ke café dulu?” kemudian menatap jam di tangannya. “Tapi ini waktu yang sempurna untuk makan malam.” Samudra hanya bisa mempersiapkan dirinya. Sesuai dugaan ketika dia membuka pintu, Sena yang sedang memasak itu langsung merentangkan tangannya. “Wellcome home, Om!” teriakan yang dia dengar selama satu minggu terakhir ini, mungkin sudah membuat Samudra terbiasa hingga dia tidak menyuruh Sena untuk lebih tenang. “Om! Hari ini aku bikin banyak makanan buat Om. Tapi buat besok habis, Mama juga gak ngirim lagi karena Mama mau keluar kota sama si kembar. Jadinya aku mau minta temenin sama Om buat pergi ke swalayan. Ya?” Langkah kakinya terhenti saat hendak masuk ke kamar. “Yes! Cepetan mandi, aku mau siapin baju Om yang keren buat keluar,” ucap Sena menarik tangan Samudra untuk masuk ke kamar mereka, memilihkan baju dan berkata, “Biar kayak ABG. Mau lanjut masak dulu ya. ih, Om ganteng banget, padahal rambutnya lepek gitu.” Sebelum akhirnya pergi meninggalkan Samudra yang menghela napasnya dalam. Dia tidak suka seseorang memegang pakaiannya yang masih bersih, termasuk Sena. Ingin sekali kembali mencucinya, tapi kasihan dan takut menyinggung. Ya sudah, Samudra memakai pakaian itu. Namun sepertinya itu pilihan yang salah, karena Sena langsung besar kepala dan berkata, “Woaaahhh! Pilihan aku dipake dong! Keren banget tau, Om. Besok besok aku pilihin lagi baju buat Om ya.” Menyesal semenyesal menyesalnya apalagi saat Sena mengatakan, “Sekalian kita nyari baju juga buat Om. Bosen pake kemeja mulu, pake kaos sama jaket denim kan keren tuh. Gak kayak Om Om.” *** Pada akhirnya, Samudra harus melewatkan jam favoritenya saat pulang bekerja, dimana dia selalu membaca dan mencari cari jawaban akan kecurigaaaannya. Pekerjaannya sebagai jaksa bukan hanya menuntut saja, dia juga melakukan penyelidikan bersama rekannya untuk mengetahui lebih dalam kasus yang sedang dipegang. Dulu otaknya dipenuhi dengan undang-undang, dan strategi supaya menghukum terdakwa dengan hukuman seberat beratnya. Namun kini, Samudra berfikir bagaimana caranya dia segera mengakhiri kegiatan ini. sedari tadi dia mendorong troli, mendengarkan Sena yang mengoceh. “Om, susunya mau yang mana?” Samudra menoleh. “Mau yang ini, atau ini?” menunjuk dua s**u berbeda merk dengan rasa yang sama. Sampai dia menunjuk dadanya sendiri. “Atau yang ini?” Wajah Samudra yang memerah langsung berpaling yang mana membuat Sena tertawa melihatnya. “Ini serius deh, Om. Mau yang mana?” “bebas.” “Yang ini deh, yang paling banyak diskonnya. Sama kopinya juga ya?” Ketika Sena hendak memasukannya ke dalam troli, Samudra menahannya. Dia membaca beberapa kandungan yang ada di dalam s**u itu, dan membandingkannya dengan yang lain hingga dia memilih yang lebih mahal. “Jangan mentang mentang diskon.” “Orang tadi sama aku ditanya gak dijawab.” “Kalau kamu bisa manage uang dengan baik, saya bakalan tambah uang bulanannya.” Yang mana membuat mata Sena membulat, semua kekayaan keluarga Suraawisesa memang tidak perlu dipertanyaan. “Manage uang dalam aspek apa dimana? Jangan ambigu. Misalnya harus nyisa banyak, ya kita makan tiap hari aja sama tempe,” ucap Sena sembari melangkah lagi. “Atau misalnya harus makanan yang enak enak.” “Makanannya enak dan bergizi tanpa minta tambahan uang.” “Ih, itumah mudah banget. Janji ya kalau nanti aku bisa manage uang, ditambah uang bulanan.” “Iya,” jawab Samudra kembali mendorong troli. Matanya melihat stan buah buahan. Ada banyak sekali di sana yang membuatnya penasaran. “Mau ke sana, Om?” “Boleh.” Sena senang tatkala Samudra mulai menikmati, pria itu bahkan memilih buah yang akan dia bawa pulang. Untuk Samudra sendiri, ternyata hal ini lumayan menyenangkan, banyak sekali pilihan di sini. “Ngapain, Om?” Tanya Sena saat Samudra mengetuk ngetuk semangka. “Nyari yang manis.” “Gak usah diketuk ketuk, liat aja bunderan kuningnya. Kalau gak ada, itu sempurna,” ucap Sena. Kemudian dia menunjukan beberapa cara membeli sayur dan buah yang baik. “Ini bukannya jelek, tapi dimakan ulat. Bagus ini karena gak pake bahan kimia. Coba liat yang ini, mulus banget, daunnya pasti udah disemprot.” “Tapi masa kita makan yang jelek gini?” “Kan yang jelek bisa dibuang, ini sisanya bagus.” “Murah,” ucap Samudra yang memegang prinsip lebih mahal lebih bagus. “Oke kita beli dua duanya. Nanti adek masak makanan yang sama dan Om yang nilai, gimana?” “Boleh.” Karena Samudra sendiri penasaran. Karena sena yang memegang keuangan untuk itu, maka dia yang membayar. “Om, makan makan dulu yuk. Tadi adek liat ada makanan korea di sana.” Samudra menatap jam di tangannya. Ini sudah lewat jam 8 malam. “Om, masa mau pulang, nanti kalau keseringan di rumah, Om gak tau perkembangan di dunia luar. Ya, mau ya?” “Saya tau lebih banyak tentang dunia luar dari pada kamu.” “Om,” rengek Sena ketika mereka masih dalam proses perhitungan barang. Suaranya yang manja membuat Samudra melihat ke sekitar, disebut Om dengan nada manja membuatnya berdehem. “Mana kita belum beli baju juga, masa langsung pulang ih. Jangan dulu ya, Om?” “Iya iya,” ucap Samudra dengan nada suara yang pelan. “Tapi abis itu, kita ke perpustakaan.” “Okey siap.” Sena tersenyum penuh kemenangan. Dia akan pelan pelan membawa Samudra melangkah ke dunia luar yang menakjubkan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD