Pov Arya
Aku bergegas keluar kamar, yang terpikir saat ini adalah anak lelakiku. Saat langkah ini tiba di lantai utama kudapati Ranisa sedang duduk di sebuah sofa sambil menunduk, kedua tangannya menutup wajah, luka ku beri begitu dalam. Bahkan ia sedikitpun tak menoleh ketika langkah ini mendekat.
"Naya kecelakaan, si bungsu kritis."
Ranisa seketika mendongak, matanya bengkak dengan pipi yang basah. Hanya ku tatap dengan nanar wajah teduh itu.
"Aku mau ke rumah sakit sekarang. Kamu mau ikut, Ran."
Ia hanya mengangguk pasrah, tak dapat disembunyikan wajah penuh khawatir, walau kamu hanya diam, Ran. Kamu selalu begitu sejak dulu, mengenyampingkan hatimu sendiri demi orang lain, itu mengapa aku sangat bergantung padamu, tak pernah terpikirkan untuk meninggalkanmu walau hanya sedetik saja.
"Ada yang mau kamu bawa?"
Dia menggelengkan kepala pelan, kemudian kami bergegas meninggalkan tempat ini. Sepanjang perjalanan yang kurasa hanya gusar, tak henti ku lapal doa agar ia bisa selamat.
Kamu anak lelakiku yang bahkan ketika dalam kandungan tak pernah ku lirik sama sekali, ketika kamu berjuang untuk lahir ke dunia tak sama sekali ku dampingi, bahkan aku abai di hari-hari pertama kamu hadir, Nak. Sungguh ... bukan karena ayahmu ini bermaksud memberi luka, tapi ada perasaan sakit di hati ayah yang tak bisa dijelaskan padamu sampai kapanpun.
Lalu ... hari itu. Ku lihat wajahmu untuk pertama kali, kamu tersenyum dalam mata yang terpejam, seolah bahagia ketika akhirnya aku datang untuk menemui. Kamu memiliki hidung, bibir, dan mata yang sama persis denganku. Lalu ketika waktu membawamu tumbuh, aku seperti menemukan aku yang dulu pada tubuh kecilmu. Cara kamu merajuk, cara kamu menangis, sama seperti saat aku di usiamu.
Kuatlah, Nak. Sekali lagi demi ayah, seperti saat kamu lahir dulu harus berjuang di inkubator, beberapa kali masuk rumah sakit, kamu tetap bertahan. Kali ini aku mohon, bertahanlah.
Ku seka air mata di tengah laju mobil ini yang kencang, jalanan tidak begitu ramai, mungkin karena waktu mendekati tengah malam. Sekilas ku lihat Ranisa melirik, namun kami hanya termenung dalam diam, hanyut pada pikiran masing-masing. Hingga akhirnya mobil kami tiba di rumah sakit, segera kami keluar, menyusuri bangsal yang begitu sepi.
Salah satu petugas kami tanyakan, sebuah kamar di ujung lorong tempat Naya dan Almeera kini dirawat. Kami mempercepat langkah, aku tahu aku jahat, tapi sama sekali aku tidak khawatir pada Naya.
Saat tiba di sana, ku dapati Naya sedang mengelus tangan Almeera, gadis kecil itu terlihat lelap. Naya pun beranjak melihat kedatangan kami, wajahnya lebam dan bengkak, jalannya sedikit terseok. Ia menatap kami datang.
"Kamu memang selalu ngeyel dan egois sejak dulu, Nay! Apa susahnya ikut ke mobilku, setidaknya itu jauh lebih aman. Aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau terjadi sesuatu pada Devan!"
Dia diam, aku benar-benar tak sanggup menahan emosi.
"Maaf, Mas!" ucapnya lirih. Ku akui, ia banyak berubah beberapa tahun terakhir ini, ia bahkan tak pernah keluar rumah, sesekali berkumpul saat arisan. Ia tak pernah meminta uang, bahkan saat aku lupa memberi jatah bulanan, tak pernah ia meminta. Ia pun memperlakukanku dengan sangat baik dan penuh hormat, tak pernah sekalipun membantah kecuali sore tadi.
Tapi ... hatiku sudah mati dan dingin padanya. Aku pernah mencoba berdamai dengan kesalahan di masa lalu. Ku tunaikan tugasku sepenuhnya sebagai seorang suami, sehingga Devan lahir. Namun, ketika kami di ranjang pun aku tak bisa sama sekali merasakan setiap sentuhannya, Ranisa yang terbayang. Laki-laki macam apa aku ini.
Beberapa tahun terakhir ini bahkan sudah tak pernah lagi Naya ku sentuh, aku tahu tangisnya di balik bantal ketika selalu penolakan itu ku sampaikan. Aku tak ingin semakin menyakiti dengan membayangkan Ranisa pada setiap desahnya yang terdengar.
"Hanya kata maaf saja sejak dulu yang kamu bisa! Tapi otakmu itu gak pernah dipake!"
"Mas!" Ranisa menghardik. Kemudian ia mendekat pada Naya. "Kondisi Mba gak apa-apa, Kan?" Samar ku dengar pertanyaannya.
"Aku gak apa-apa, Ran," suaranya parau dan bergetar.
Ranisa memapahnya menuju ranjang, sementara emosiku masih begitu meluap, seandainya bisa aku ingin memaki lebih dari itu. Tanpa berpikir panjang, aku keluar dari ruangan ini, pintu sedikit keras ketika aku menutupnya, itu sama sekali tak disengaja.
Devan belum bisa ku temui, ia saat ini berada di bangsal khusus yang baru bisa di lihat esok hari. Saat ini hanya ada petugas di sana, padahal aku ingin memastikan kondisi Devan sekarang. Pikiranku seperti hendak meledak, semua datang beriringan.
***
Semalaman tak bisa ku pejamkan mata ini sama sekali, aku meringkuk di kursi besi membayangkan anak lelakiku yang hingga pagi ini belum ku dengar kabar baiknya, tadi sempat ku lihat ia sebentar, tubuhnya berbaring lemah dengan segala macam alat terpasang.
Hiruk pikuk mulai terasa di rumah sakit ini, tidak sesepi malam tadi. Namun, sedikitpun tak bisa ku alihkan segala rasa cemas dan khawatir. Perasaanku kacau.
"Makan dulu! Kamu belum makan sama sekali sejak kemarin." Ranisa memberiku bungkusan di dalam kresek putih.
Aku mendongak, menatapnya dengan nanar, berharap iba darinya. Sungguh ... ia satu-satunya orang yang saat ini ku butuhkan. Dalam dekapannya dapat kurasakan nyaman begitu menjalar.
"Duduklah! Temani aku makan," ucapku pelan. Dia menurut, namun wajahnya datar, tatapannya kosong, tangisnya masih mereda, walau lukanya masih menganga.
"Kamu selalu menjadi tempat pulang ternyaman, Ran."
Ia menunduk. "Aku tidak bisa hidup dengan laki-laki yang jelas-jelas memiliki dua rumah, Mas. Segala peristiwa yang runut terjadi beberapa waktu ini adalah sebuah isyarat yang jelas untuk aku segera pergi."
Ku hela napas panjang. "Aku tak akan membiarkannya."
"Kamu egois!"
"Apa kamu berpikir aku sejahat itu, Ran? Apa mungkin aku melakukan semua ini tanpa alasan. Aku tahu, aku paham sekali. Semua yang sudah dilakukan ini tak bisa dibenarkan. Aku sudah keliru ketika mencintaimu di atas kebohongan. Tapi semua ini beralasan, aku tak pernah dengan sengaja mendatangkan kamu ke dalam kehidupanku."
"Lalu apa alasannya, Mas? Apa yang membuatmu bersikap demikian pada Naya?"
Sejenak ku diam, meraba kembali kebodohanku sebagai seorang laki-laki. Naya adalah wanita pertama yang membuatku berani mengatakan cinta. Aku pun hanya berani menyentuh tangannya saat itu, tak pernah terpikir sedikitpun untuk merusaknya. Ku pikir, dia terlalu berharga.
Bahkan ketika malam pertama kami, aku yang bodoh ini tak bisa merasakan dengan pasti dia seorang perawan atau tidak. Malam itu benar-benar malam pertama untukku, sebelumnya tak pernah satu kali pun aku menyentuh seorang wanita.
Aku sempat bertanya padanya perihal kecurigaan ibu atas kelahiran anak pertama kami. Namun, ia bersikukuh tak mau mengakui dan justru marah saat itu. Bahkan ia berani bersumpah atas nama Tuhan bila anak yang baru saja dilahirkan adalah anak kami, benih dariku. Sumpah itu yang akhirnya membuatku terdiam kala itu.
Hingga satu waktu, ku dapati sebuah ponsel miliknya yang tak pernah aku ketahui sebelumnya, video panas Naya bergumul dengan seorang laki-laki dengan keterangan waktu tepat dua hari sebelum pernikahan kami.
"Jawab, Mas!"
Aku melihat ke arah Ranisa, ia menatap butuh jawaban.
"Pak Arya!" Aku dan Ranisa mendongak melihat ke arah sumber suara.
Melihat yang memanggil adalah petugas medis, kami berdua pun beranjak.
"Pasien atas nama Devan sudah sadarkan diri."
Kami segera beranjak, aku bernapas lega. Ku lihat Ranisa pun tak henti mengucap syukur, tanpa berpikir panjang aku segera ke sana. Tangan Ranisa ku genggam, ia tak menolak, mungkin karena perasaan lega yang sedang mendera kami.
Ternyata di sana sudah ada Naya dan Almeera dalam kursi roda. Kaki gadis kecil itu terbalut perban karena ternyata patah tulang. Itu tak membuatku khawatir, yang terpenting Devan sudah sadarkan diri.
"Sayang ini ayah, Nak!" Aku mendekat, wajah yang lemah itu tersenyum menyambutku, di sampingnya ada Naya yang juga tak lepas dalam genggaman anak lelakiku.
"Mana yang sakit? Biar ayah obati."
"Ayah kakiku juga sakit." Almira yang menjawab, aku menghiraukannya. Bahkan sama sekali tak ku lirik ia yang ada di belakangku.
"Nanti setelah sembuh kita main ke museum geologi, ya." Aku belai lembut rambutnya, ini adalah permintaan si bungsu sejak lama, namun aku belum sempat mewujudkannya.
"Ayah aku juga mau ke museum geologi." Lagi Almeera menyahut, kembali aku menghiraukannya.
Sejenak ku lihat melalui sudut mata Naya berjalan menghampiri Almeera.
"Bunda, kalau ke museum aku juga di ajak, kan?"
Gadis itu terdengar lebih berisik dari biasanya, aku memang jarang mengajaknya turut serta. Suatu waktu aku pernah menitipkannya ketika Devan memakasa pergi ke tempat wisata. Ia tak ingin bila hanya aku saja yang pergi, Naya pun harus ikut.
Sepanjang menemani Devan berwisata, aku benar-benar kesal pada Naya karena moodnya sangat buruk dan terus berbicara mengapa aku tega tidak membawa Almeera, padahal anaknya itu menangis dan meraung ingin ikut. Dia bilang aku tega, ku rasa dia yang memang tidak sadar diri.