Pov Arya
Kedatangan Naya dalam acara ini jujur saja membuatku tercengang. Atas undangan siapa dia datang? bahkan Tania dan Ibu bersumpah tidak mengundangnya. Rasanya aku ingin memaki.
Kemudian sikap dingin yang beberapa waktu ini Ranisa tunjukkan memberiku sebuah kesimpulan bila ia sudah mengenal Naya, terlihat dari sikap yang ditunjukkan tadi saat di acara.
Aarggh!
Kemudi setir ini selalu menjadi korban bila kemarahan datang. Mengapa wanita itu terus bersikukuh tidak mau pulang bersama, hingga akhirnya meluapkan kemarahan Ranisa yang memilih pulang sendirian. Tak hanya itu, mengapa tak pernah sekalipun ia jera dan pergi saja dari hidupku. Andai bisa, sudah ku ceraikan ia sejak dulu, namun sebuah janji gila membuatku tertahan pada pusara ini.
Naya selalu menjadi bayangan ketakutan akan hubungan yang sudah ku rajut dengan Ranisa selama enam tahun ini.
Aku memang bersalah, menanam sebuah ikatan atas dasar kebohongan. Namun sama sekali semua ini tak pernah direncanakan, tak pernah aku niatkan, bahkan setelah Naya menghancurkan semuanya, tak pernah sedikitpun aku berpikir untuk membalas. Tapi tiba-tiba Ranisa datang, seperti penyejuk di tengah kemarau.
Ku lajukan lebih cepat mobil ini, berharap sekali saja dapat ku perjuangkan kembali Ranisa ke dalam pelukan.
Langit sudah gelap ketika aku memarkirkan mobil di halaman rumah. Segera aku turun sekadar memastikan Ranisa ada di dalam.
Benar saja! Ia berada di kamar sedang tergugu di bawah ranjang. Aku hanya mampu menatap nanar sambil mencoba mendekat dengan sisa tenaga seadanya, tak pernah sedikitpun terpikir untuk melukainya sedikit saja, walau itu sudah ku lakukan sejak awal.
"Jangan sentuh aku!" Ia berteriak sambil menepis tanganku yang bahkan belum benar-benar sampai di pundaknya.
"Pergi kamu, Mas! Pergi!" Air matanya berderai memenuhi pipi yang memerah.
"Sayang ...." Sekali lagi aku mencoba untuk menyentuhnya. Ia semakin berontak, bahkan lampu tidur kami sampai jatuh ke lantai.
"Kamu jahat, Mas! Kamu Jahat!"
Aku dapat merasakan sakit hatinya, sumpah atas bumi dan langit, aku akan menebus semua kesalahan ini, asal tidak berpisah dengannya.
"Aku salah, Ran! Aku tidak memiliki keberanian untuk bicara dari awal. Aku takut kehilanganmu!"
"Persetan semua itu! Kamu manusia paling jahat yang ada di dunia ini. Bagaimana bisa kamu lukai hatiku, Mas? Apa salahku? Tidak hanya aku! Ada tiga nyawa lainnya." Ia masih tergugu, napasnya pendek karena menahan tangis.
"Izinkan aku menceritakan semuanya dari awal, Ran. Setelah itu pahamilah kondisiku, walau tak bisa dimaafkan."
"Aku tidak ingin mendengar Apa pun alasannya, yang kamu lakukan itu jahat, Mas!"
Aku terdiam, hanya mampu menatap nanar. Melihatmu seperti ini seperti ribuan peluru ditembakkan ke jantung. Semesta pun seolah ikut menghantamku bertubi-tubi.
Sungguh ... Aku akan terima, sejuta hujatan, timbunan rasa marah dan segala makian yang ingin kamu berikan padaku. Sungguh, Ran! Apa pun jenis kemarahanmu akan ku terima, asal jangan tinggalkan aku, aku tak bisa berjalan tanpamu. Semua yang ku lakukan selama enam tahun ini sudah terbiasa dengan adanya kamu.
Bahumu berguncang-guncang, isakmu kian terdengar, ku merasakan sakit di dadamu yang dalam.
Maafkan aku, Ran. Maaf! Laki-laki macam apa aku ini yang bisa melukai wanita sebaik kamu sampai begini.
Aku benar-benar kehilangan keseimbangan. Masalah yang kini mendera nyaris membuat limbung. Aku ingin memelukmu dan menemukan ketenangan di sana. Aku sungguh tak bisa bila kamu tidak ada, Ran.
"Selesaikan aku dan kembalilah padanya!"
Aku menggeleng pelan, membayangkanmu pergi adalah sebuah mimpi buruk.
"Aku akan memilih mengusaikan Naya!"
"Gila kamu, Mas! Aku ini bahkan tidak bisa memberimu anak! Kita tidak akan bahagia, kamu akan kesepian saat tua nanti."
"Aku tak peduli!"
Kamu terengah-engah, menatapku penuh amarah. Kemudian melangkah menjauh, semakin jauh dan hilang di balik pintu, ingin rasanya aku mengejarmu, menghampiri dan mungkin berlutut untuk mendapatkan pengampunanmu. Tapi seketika aku kehilangan nyali, sama seperti enam tahun ini yang melewati hari sebagai seorang pecundang.
Kau Ranisa-ku. Sosok lembut dan tulus mencintaiku, tak pernah banyak bicara apalagi sekadar omong kosong. Meski saat ini tak sedikitpun kamu menyentuhku sebagai tanda kemarahan. Tapi aku merasa sakit yang luar biasa.
Tubuh mulai limbung, aku tersungkur di sisi ranjang, untuk kedua kalinya dalam hidup ku menangis karena seorang wanita, tapi ini jauh lebih sakit, karena akulah penyebab luka itu. Aku memang lemah urusan mencintai seseorang, ku kerahkan segenap jiwa ketika seluruh rasa itu hadir. Sama ketika aku berikan semua ini pada Naya, sebelum semuanya berubah tak menyisakan apa pun.
Masih terekam jelas peristiwa hari itu, dimana aku begitu bahagia akan menjadi seorang ayah. Naya mengabarkan kehamilan anak pertama kami, aku mengecupnya berkali-kali, membopong tubuhnya pada kasur usang tempat kami b******a. Rumah petak ini menjadi saksi betapa dalam cintaku pada seorang Naya.
Aku akan bekerja lebih giat, tak akan pernah ku biarkan ia hidup dalam kesusahan bersamaku. Akan ku berikan seluruhnya yang aku punya untuknya juga untuk anakku yang kini sedang dalam kandungan.
"Mas ... sebetulnya aku hamil seperti ini antara bahagia dan takut," ucapmu waktu itu. Kamu memelukku lalu bersandar manja di dalam dadaku yang bidang.
"Takut kenapa, Sayang?" Aku membelai lembut rambut yang hitam dan panjang milikmu.
"Gak tahu juga, sih. Mungkin karena kehamilan pertama."
Yang dapat ku lakukan saat itu hanya mendekap lebih dalam tubuhmu, sambil ku bisikan beberapa kata cinta berharap menjadi penguat atas segala keresahan itu. Aku sangat mencintaimu kala itu, Nay.
Kamu wanita tulus di mataku, dengan kecantikan yang kamu punya, kamu tolak cinta juragan tanah itu dan memilih hidup sederhana bersamaku di rumah petak. Bahkan aku hanya membawa tikar saat pertama kali masuk, kemudian kita mendapatkan lungsuran rice cooker dan kompor gas dari Teguh yang saat itu memang sudah menjadi orang berada.
Kamu tidak mengeluh sekalipun hari itu kita hanya makan nasi bungkus satu kali untuk berdua, padahal saat itu kamu tengah hamil. Kebahagiaanku semakin membuncah saat bayi kita mulai bergerak, aku rasa tidak ada laki-laki seberuntung aku di muka bumi ini. Kamu adalah satu paket sempurna yang dikirim Tuhan untukku, Nay.
Pada suatu malam, kamu ketakutan ketika mendapati cairan bening terus mengalir, lalu setelahnya perutmu mulai sakit. Segera ku bawa ke klinik terdekat, aku rasa kamu akan melahirkan, walau bila sesuai perhitungan belum tiba di waktunya.
Ku temani kamu dengan sabar melewati proses terbaik dalam hidupmu untuk menjadi seorang ibu. Rintihan dan suara tangis kesakitan ku anggap sebagai tanda cinta terindah yang mau sematkan untuk berjuang melahirkan anak kita. Ku kecup keningmu yang basah berkali-kali, kamu pegang tangan ini dengan kuat ketika kontraksi itu muncul semakin sering, hingga anak pertama kita lahir, dia menangis kencang memecahkan ruangan bersalin ini.
Aku kembali menangis dan sujud syukur, dia anak yang sangat cantik, ku beri nama Almeera Putri Aryani, sebagai satu bukti yang ingin ku tunjukkan pada dunia.
Perjuanganmu ternyata tak sampai di sana, Nay. Kali ini kamu berteriak saat menerima jahitan bertubi-tubi karena sobekan yang cukup besar setelah ternyata anak kita lahir dengan berat yang cukup besar.
"Anakmu itu kok kaya bukan anak prematur, melahirkan di usia tujuh bulan kok beratnya sampai 3.6 kg," ucap ibu yang kala itu menengok.
"Memang bayinya besar saja, Bu. Kan ada yang begitu."
"Ya ... tapi tidak sebesar ini. Memang hasil USG tidak dijelaskan berapa Minggu?"
"Kami tidak pernah melakukan USG."
"Lah ... Kok bisa?"
"Naya selalu menolak melakukan itu, Bu. Katanya biar kejutan saja."
"Lah ... aneh-aneh wae, masa gak USG."
Saat itu aku sama sekali tidak paham tentang kehamilan atau seberapa pentingnya memeriksakan rutin setiap bulannya. Tapi Naya selalu rutin memeriksa ke bidan tanpa ku antar, ia bilang tidak ingin merepotkan aku yang sedang kerja.
Hingga ... lamunanku sejenak terhenti, kejadian yang tiba-tiba saja terulang kembali ketika melihat kehancuran Ranisa sejenak terjeda. Ponselku berbunyi, sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Aku mengangkatnya ragu.
"Hallo," ucapku dengan mulut bergetar.
"Selamat malam, betul dengan Pak Arya?"
"Iya, saya sendiri."
"Mobil Dengan plat nomor B 1234 DC mengalami kecelakaan, ada tiga orang di sana, seorang ibu bernama Naya dan anak perempuan bernama Almeera luka tidak terlalu parah, sementara anak laki-laki yang ada ada di bangku belakang saat ini kritis."
Tanganku bergetar, mulut ini rasanya tak bisa banyak berkata lagi, anak laki-laki yang disebutkan itu adalah anak lelakiku. Pria dalam telepon menyebutkan dimana keberadaan Naya dan anak-anak di rumah sakit.
Dengan sisa tenaga yang tersisa, aku berdiri. Meski begitu limbung, sekuat tenaga aku melangkah, memastikan kondisi anak lelaki yang selalu tanpa henti menyebut namaku ketika kami bersama.