Menikah?

1543 Words
Suara ketukan heels mengalihkan perhatian mereka, terutama staf pria. Mereka merapihkan penampilan lalu mendekati arah suara. "Pagi, Nidya." "Pagi," sahut Nidya. Mereka mengikuti Nidya, membantu membawakan berkas yang ia bawa. "Tidak usah, biar aku saja." "Enggak apa-apa, kami bantu," ucap empat staf pria yang mengikuti Nidya lalu masuk ke dalam lift. Nidya menyunggingkan tersenyum termanisnya, meski telinganya bisa mendengar jelas jika para staf wanita membicarakannya. "Sok cantik," ucap wanita berambut pendek. "Lihat pakaiannya saja branded, pasti simpanan bos," ujar wanita berambut panjang yang sedang membicarakan Nidya saat akan masuk ke dalam lift. "Dasar, orang-orang bermuka dua yang bisanya hanya nyinyir," gumam Nidya. "Kenapa?" tanya pria yang berdiri tepat di samping Nidya. "Tidak apa-apa. Maaf sepertinya kalian hanya boleh mengantarku sampai disini." terlihat raut wajah kecewa para staf yang ingin lebih dekat dengan Nidya. "Maaf, aku tidak enak dengan staf wanita yang lain. sepertinya mereka tidak suka jika kalian dekat denganku. Kalau begitu, aku permisi." Nidya menekan tombol tutup, lalu menekan lantai 10. Ia sama sekali tak berniat berurusan dengan para staf yang bekerja di sana. Nidya melangkahkan kakinya saat pintu lift terbuka, ia berjalan ke ruangan Leo yang berada di ujung koridor. "Permisi," sapa Nidya sembari mengetuk pintu ruangan Leo. "Masuk." Nidya masuk ke dalam ruangan Leo yang sedang sibuk dengan komputernya. "Nidya, kamu datang." Nidya tak membuka mulutnya kemudian menyimpan berkas yang diminta oleh Leo. "Semua sudah di tandatangani oleh Pak Mat." "Mat bilang kamu masih dibutuhkan di sana?" "Bukannya kamu senang aku disini?" sela Nidya. Leo mengangguk, kemudian berjalan mendekati Nidya. "Entah apa yang kamu pikirkan tentang Mat. Tapi aku harap kamu tidak menggangu hubungan dia dengan istrinya." Nidya tertawa mendengar penuturan Leo lalu berucap, "Harusnya kamu memberitahu atasanmu itu untuk tidak memperlakukanku seperti wanita simpanannya tak seperti karyawannya." Leo berjalan mendekati Nidya. "Aku tau kamu orang yang baik. Aku tahu kamu tidak akan menjadi duri di rumah tangga orang lain. Jadi ... pertahankan kegigihanmu untuk tidak menerima Mat lagi." "Maksudmu?" "Aku tahu, kalau kamu sadar jika Mat menyukaimu. Dia akan terus mengejarmu meski aku larang." "Aku tahu dan aku tidak akan menyia-nyiakan hal itu," batinnya. "Baiklah, aku harus bekerja dulu." "Tunggu, kita meeting bersama staf lain." Leo keluar dari ruangannya lebih dulu, tapi baru beberapa langkah ia memutar tubuhnya. "Tolong, bawa berkas ke ruang meeting." Nidya mengepalkan tangannya menahan emosi. Ia lalu berjalan mengambil berkas kemudian membawanya ke ruang meeting. Beberapa staf sudah berkumpul di sana, lalu menyapa Leo dan Nidya saat ia masuk ke ruangan tersebut. Leo pun membuka meeting mereka, mengevaluasi kinerja setiap divisi selama dua minggu. "Baik, kita mulai meeting hari ini." Leo mulai menjelaskan apa saja yang harus dirubah di divisi marketing agar mendapatkan pendapatan yang tinggi. Namun, bukannya memperhatikan Leo yang sedang memberikan arah, para staf pria malah memperhatikan Nidya. Tidak ada pria yang menolak pesona Nidya, mereka terus berusaha untuk mendekati sekretaris atasannya itu. "Ehm ... apa kalian mendengarkan apa yang aku jelaskan barusan?" tanya Leo saat sadar jika stafnya malah memperhatikan wajah Nidya. "Mendengarkan, Pak," jawab mereka kompak. Leo melirik ke arah Nidya yang fokus dengan catatannya. Sementara, pria lainnya terlihat sibuk mencari perhatian wanita yang duduk di sampingnya. "Oke, mulai besok apa yang aku katakan harus kalian terapkan. Jika tidak aku akan memotong uang makan kalian." "Baik, Pak." Semua staf pria masih mencuri pandang ke arah Nidya. Saat ia menutup bukunya, mereka pun mengikuti apa yang dia lakukan. Bahkan mereka rela berdesakan hanya untuk mendekatinya. "Nidya," panggil Leo membuatnya menoleh. Para staf hanya menghela napasnya ketika Leo memanggil Nidya. Mereka merasa kecewa dan meninggalkan Nidya bersama Leo. "Ada apa?" Leo berjalan mendekati Nidya, ia melihat ke luar ruangan sudah tidak ada staf di sana. "Tidak ada apa-apa," jawabnya santai meninggalkan Nidya dengan penuh tanya. *** Jam menunjukkan pukul 4 sore, Nidya sudah siap dengan tasnya lalu meninggalkan mejanya. Ia masuk ke dalam lift, tanpa sadar seseorang tengah memantau pergerakannya selama di kantor. Nidya masuk ke dalam mobil, mengeluarkan benda pipih yang ada di tasnya yang sedari tadi terus bering. "Halo, Liona. Ada apa?" "Malam ini Alex mengajak kita berdua makan malam. Pastikan kamu ikut, karena aku sudah berjanji untuk mengajakmu." "Baiklah, jemput aku karena aku malas menyetir." "Siap, Bos! Sampai ketemu nanti malam." Nidya menyalahkan mobilnya menuju apartemennya. 15 menit berlalu mobil yang dikemudikan Nidya sampai di apartemen pemberian Mat. Ia kemudian masuk ke dalam apartemen, lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Namun, ponselnya berdering menunjukkan nomor asing di sana. Nidya mengabaikan panggilan tersebut dan memilih untuk tetap pada posisinya. Tak cukup sekali panggilan itu kembali berdering, kesal Nidya pun menggeser tombol hijau. "Halo ...." sapa Nidya dengan nada ketus. Tidak ada suara di seberang telepon, Nidya membiarkan nomor tersebut tetap terhubung sedangkan empunya tertidur pulas. "Nidya bangun, ini sudah jam 7 malam, kita bisa terlambat menemui Alex." Perlahan Nidya membuka matanya, ia merasa baru saja memejamkan mata. Namun, sahabatnya mengatakan jika sudah pukul 7 malam. "Aku baru saja tidur, mana mungkin sudah jam 7 malam," gerutu Nidya malah menyamankan posisi tidurnya. Liona lalu mengeluarkan ponselnya kemudian berucap, "Lihat, ini sudah jam 7 malam, cepat bersihkan tubuhmu karena kita ada makan malam bersama Alex. Dengan lemas, Nidya berjalan ke kamar mandi yang berada di ujung kamarnya. Liona bergegas memilihkan gaun untuk Nidya, netranya melebar kala melihat pakaian branded yang tersusun rapih di lemari Nidya. "Wah, pria itu benar-benar ingin menjadikanmu simpanan, Nidya," gumam Liona. Tak hanya mengambilkan gaun untuk atasannya itu, Liona juga mencoba beberapa pakaian yang menurutnya menarik. "Kamu sedang apa?" tanya Nidya. "Cepat sekali mandinya. Coba lihat cocok tidak?" tanya Liona memakai gaun miliknya yang berwarna peach. Nidya mencelos, ia memakai dalamannya kemudian mengambil gaun yang ia pilih sendiri. Mengabaikan gaun yang sudah di pilih Liona. "wah, kamu memiliki bentuk tubuh yang indah Nidya. Pakai baju apapun tetap terlihat cocok di tubuhmu," puji Liona. Nidya mengabaikan pujian sahabatnya itu dan memilih untuk mulai memoleskan makeup di wajah cantiknya. Setelah siap, keduanya lalu keluar dari apartemen, pergi menemui Alex. 20 menit berlalu, mobil yang membawa keduanya sampai di restoran yang mereka janjikan. Liona merapihkan makeup-nya sebelum keluar dari mobil, agar sang partner kerja sedikit saja meliriknya. "Cepatlah, dia sudah menunggu lama," oceh Nidya. Liona berdecak kesal melihat kelakuan sahabatnya itu, padahal dia sendiri yang membuat mereka terlambat. Ia lalu keluar dari mobil mengikuti langkah Nidya, masuk ke dalam restoran. "Malam, Alex. Maaf sudah membuatmu menunggu lama," ucap Nidya merasa tidak enak. Alex begitu terpesona melihat kecantikan Nidya, sejenak ia terdiam, menikmati keindahan tuhan yang berdiri didepannya. "Maaf, kami telat," sela Liona menyadarkan Alex dari lamunannya. "Ah, tidak apa-apa, silahkan duduk. Maaf aku belum memesan makanan karena menunggu kalian terlebih dahulu. Aku takut makanan yang aku pesan nanti tidak sesuai selera kalian." "Tidak masalah, kita suka semua makanan. Benarkan," ucap Liona menyenggol tangan Nidya. Alex tersenyum, lalu memanggil pramusaji. "Kalian pesanlah." Alex mempersilahkan Nidya dan Liona memesan menu makan sendiri. "Aku pesan sirloin steak," ujar Nidya. "Aku juga," sahut Liona. "Baiklah 3 steak, tiga minuman ini," tunjukkan "Dan jangan lupa wine yang sebelumnya aku pesan." Setelah mencatat pesanan mereka, pramusaji itu pun pergi dari sana. "Ehm ... senang bisa bertemu lagi denganmu." Alex membuka pembicaraan. "Maaf, saat di luar negri aku tidak menggunakan ponselku yang biasa aku gunakan di Indonesia. Oh iya, bagaimana bisnis kita?" "Semua berjalan dengan lancar, ini semua berkatmu dan juga Nona Liona." Seketika Liona meleleh mendengar penuturan Alex, sedangkan Nidya sama sekali tak terpengaruh. *** Makan malam mereka pun berjalan dengan lancar, percakapan mereka hanya menyangkut pekerjaan dan tidak ada pembicaraan yang menjurus ke lain hal. "Terima kasih, makan malamnya," sela Nidya saat akan berpamitan untuk pulang. "Sama-sama. Ehm, apa kita bisa bicara sebentar, Nidya. Hanya empat mata?" Nidya menoleh ke arah Liona yang berdiri disampingnya. Seolah mengerti Liona pun berpamitan kepada Alex dan juga Nidya. "Baiklah, aku pulang dulu. Tolong antar kan atasanku ini ke rumahnya dengan selamat." Alex mengangguk lalu melambaikan tangan ke arah Liona. Sepeninggal Liona, Alex mengajak Nidya masuk ke dalam mobilnya. Nidya tidak tahu Alex akan membawanya ke mana, ia hanya diam tak berniat bertanya atau memulai percakapan. Mobil mereka pun berhenti di sebuah cafe yang sudah tutup. "Untuk apa kita ke sini?" "Untuk makan," jawab Alex. "Makan, bulan kah cafenya tutup?" Alex keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu untuk Nidya. "Kita baru saja makan tadi. Apa kamu masih belum kenyang?" tanya Nidya. "Anggap saja aku masih lapar," jawabnya lalu membuka cafe tersebut. Nidya melihat ke sekeliling, kemudian mengikuti Alex di belakangnya. Ia menyalakan lampu, lalu menarik tangan Nidya agar ikut dengannya. "Duduklah," ucapnya, menarik kursi untuk Nidya. Sedangkan dirinya mulai memakai Appron dan bersiap memasak. "Apa kamu ingin membuatku gemuk?" Alex tertawa mendengar penuturan Nidya, belum juga ia masak Nidya sudah berkata seperti itu. "Iya, aku ingin membuatmu gemuk. Tubuhmu terlalu kurus, hanya tulang yang menonjol," goda Alex. Nidya berdecak, kemudian menggeser kursinya melihat pertunjukan Alex yang memamerkan kemampuan memasaknya. 15 menit berlalu, dua piring pasta akhirnya tersaji di meja. Alex lalu menuangkan wine ke gelas Nidya dan juga gelasnya. "Silahkan dinikmati," tuturnya. "Terima kasih. Ini cafe milikmu?" Alex mengangguk lalu menjawab, "Iya, dulu aku memulai karir di cafe ini sebelum memulai bisnis di Singapura. Sekarang temanku yang mengurus cafe ini." "Em ... ini sangat enak. Kamu pandai memasak," puji Nidya. "Benarkah, kamu suka dengan masakanku?" Nidya mengangguk, kemudian menyendok lagi pasta ke dalam mulutnya. "Kalau begitu, menikahlah denganku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD