"Nidya," teriak Liona ketika melihat sahabatnya sedang berjalan sembari membawa koper dan berkas ditangannya. Ia bergegas mendekati Nidya dan membantu membawakan kopernya. "2 hari disana, apa yang kamu lakukan dengan Mat?"
Nidya berdecak mendengar penuturan Liona, ia menarik tangan sahabatnya itu lalu memberikan tumpukan berkas ke tangannya.
"Cepatlah, aku sudah rindu dengan hingar bingar ibu kota," seru Nidya yang bersemangat ketika kembali ke Jakarta. Sedangkan Liona kesusahan membawa semua barang yang Nidya bawa.
Nidya mengikat rambutnya ketika masuk ke dalam mobil. Ia mengganti bajunya tanpa mempedulikan beberapa orang yang lewat di depan mobil mereka.
"Apa kamu gila, bagaimana kalau mereka melihat tubuhmu!" hardik Liona.
“Biarkan saja, mereka tidak akan melihat tubuhku dari sana. Aku rindu ranjangku
Ayo, kota pergi,” ucap Nidya.
“Baiklah kita ke apartemenmu. Oh iya, bagaimana dengan berkasmu?”
Nidya mengedikkan kedua bahunya, ia menyandarkan tubuhnya tak mempedulikan berkas yang ia bawa. Nidya berencana akan pergi ke kantornya besok karena hari ini ia ingin menghabiskan waktunya bersama sahabat sekaligus tangan kanannya itu.
“Haruskan kita membawa beberapa pria untuk menemani kita minum di apartemen?” tanya Nidya.
“Untuk apa, apa kamu sedang ingin bercinta? Oh iya, Alex terus mencarimu. Aku beralasan jika saat ini kamu sedang pergi ke Amerika. Apa hubungan kalian sudah jauh?”
Nidya tertawa mendengar penuturan sahabatnya itu dan berkata, “Dia ingin menjadi kekasihku dan kamu tahu ... ternyata Axel dan Mat itu saudara tiri.”
“Serius?”
“Aku baru tahu karena dulu Mat tidak pernah membicarakan keluarganya. Bukankan ini terlalu menarik untuk kita. Aku pikir Laras itu ibu kandung Mat, ternyata dia hanya ibu tiri.”
“Apa kamu yakin akan meneruskan rencanamu?”
Nidya berpikir sejenak sebelum akhirnya ia membuka mulutnya. “Ini sudah aku rencanakan sejak dulu, Tuhan membantuku dengan menghadirkan orang-orang yang bisa membantu rencanaku.”
“Maksudmu?”
“Alex dan Sabrina, dua orang baik yang mungkin akan hancur bersama Mat. Jahat memang tapi aku ingin melihat Mat hancur seperti apa yang dilakukan kepadaku.”
Bayangan tentang masa lalu berputar di kepala Nidya. Ia masih ingat dengan masa terpuruknya dulu.
Setelah gagal menikah dengan Mat, Nidya mengurung dirinya di kamar, ia tidak mau makan atau pun minum. Toni dan Desi begitu khawatir dengan putrinya itu, mereka terus membujuk Nidya untuk makan meski hanya sesuap.
"Nidya makan dulu nak, sudah tiga hari kamu tidak makan. Mamah suapi ya," ucap Desi dengan lembut.
Desi duduk di tepi ranjang, ia kemudian memberikan segelas air minum untuk Nidya. Perlahan Nidya mengangkat gelasnya kemudian meminumnya hingga tandas. Terdengar isakan dari mulut Nidya, ia kembali menangis lalu melempar gelas yang ada di tangannya hingga pecahannya berserakan.
"Pah, tolong pah!" teriak Desi.
Nidya mendorong Desi, lalu mengambil pecahan gelas yang runcing. Tanpa pikir panjang, Nidya menyayat tangannya sendiri. Seketika darah mengalir di tangannya. Desi berteriak histeris melihat apa yang dilakukan putrinya, ia langsung mengambil pecahan gelas yang ada di tangan Nidya kemudian melemparnya.
“Nidya, berhenti Nak. Mamah mohon, sayangi dirimu sendiri."
Desi terus berteriak memanggil Toni, tangannya menarik selimut untuk menyumbat darah yang terus keluar dari tangan Nidya yang terkoyak. Perlahan tubuh Nidya lemas membuat Desi semakin gusar, ia memikirkan keselamatan serta nyawa putrinya.
"Papah, Pah!" teriaknya. Desi lalu mendekap tubuh Nidya dengan erat berharap putrinya akan baik-baik saja, sembari menunggu kedatangan suaminya.
“Apa yang terjadi, Mah?” tanya Toni.
“Nidya, Pah. Nidya mencoba bunuh diri,” jawab Desi sembari menangis.
Tanpa pikir panjang Toni bergegas mengangkat tubuh Nidya yang terkulai lemas, membawanya ke rumah sakit. Lima belas menit perjalanan mereka sampai ke rumah sakit, beberapa perawat dengan sigap segera membantu Toni untuk menyelamatkan Nidya.
***
Perlahan Nidya membuka matanya, ia menatap plafon yang terlihat berbeda tak seperti di kamarnya. Matanya terus memperhatikan sekeliling sebelum akhirnya ia sadar jika sedang berada di rumah sakit ketika melihat tangannya yang terpasang selang infusan. Dengan kasar ia menarik infusan tersebut hingga mengeluarkan darah.
"Nona Nidya," ucap perawat yang berjaga.
Perawat tersebut melihat tetesan darah yang keluar dari tangan Nidya. Ia pun mencoba menghalangi langkah Nidya dengan memegangi tubuhnya. Nidya terus meronta-ronta ketika akan diobati, bahkan dia terus berteriak yang mengharuskan dokter memberinya obat penenang. Perlahan tubuh Nidya melemah, efek obat yang di suntikan pun bekerja dengan cepat membuat tubuh Nidya melemah dan tak sadarkan diri.
"Nidya," teriak Desi histeris melihat putrinya tergeletak.
Para perawat pun membawa Nidya ke ruang perawatan setelah Toni melengkapi administrasi.
“Dengan wali Nidya?”
“Iya Sus,” ujar Toni.
“Mari ikut saya Pak, ada yang mau dibicarakan.” Toni mengikuti perawat tersebut dan meninggalkan Desi dan Nidya di ruangannya.
Perawat tersebut mengetuk pintu ruangan dokter. “Maaf Dok, orang tua Nona Nidya sudah datang.” perawat itu mempersilahkan Toni untuk masuk.
“Silahkan duduk, Pak,” ucap Dokter. "Maaf sebelumnya saya harus memberikan kabar tidak mengenakan untuk Bapak dan keluarga. Begini, sebaiknya Bapak membawa putri anda ke Psikiater. Entah apa yang sudah ia alami, tapi sepertinya ia mengalami trauma berat."
"Anak saya tidak gila Dokter. Untuk apa Psikiater," hardik Toni sembari mengepalkan tangannya.
"Tidak Pak, putri anda tidak gila. Dia hanya trauma, ada sesuatu hal yang membuatnya sakit hati, sedih dan kecewa akan sesuatu hal. Saya sarankan anda membawa putri anda ke Psikiater untuk membantu pemulihan traumanya."
Toni terdiam, ia mencoba mencerna ucapan serta saran yang di berikan oleh Dokter.
Setelah pembicaraan itu, Toni terlihat begitu sedih menatap putri bungsunya yang terbaring lemah di ranjang pasien. Ia merutuki kebodohannya yang percaya dengan ucapan Mat, pria yang sudah menghancurkan masa depan putrinya.
"Kamu sudah bangun, Nak," ucap Desi. Nidya mengedarkan pandangannya dan mendapati Toni sedang berdiri dan Desi yang duduk disampingnya.
"Kau membutuhkan sesuatu?" tanya Toni.
Nidya hanya menggelengkan kepalanya lalu berkata, "Mah maafkan Nidya karena sudah membuat Mamah dan Papah malu." Nidya kembali menangis. Desi yang panik kemudian menekan nurse call yang berada di samping ranjang.
"Tidak apa-apa Nak. Ini bukan salahmu. Semua ini terjadi karena memang sudah takdirnya,” terang Desi mencoba menguatkan Nidya.
"Ta-tapi ini semua salah Nidya. Nidya yang sudah menghancurkan semuanya."
Desi memeluk Nidya dengan erat karena Nidya terus meronta-ronta. "Apa yang kamu lakukan sayang?" Nidya menarik infusnya, mencoba melepaskan pelukan Desi. Ia kemudian berjalan ke balkon, tapi di tahan oleh Toni.
“Putriku Sayang, berhenti menyalahkan dirimu. Kamu anak yang baik, kamu anak kami yang paling berharga.” Nidya tak mendengarkan ucapan Toni dan terus meronta berniat terjun dari balkon. Desi Memegangi kaki Nidya berharap putrinya tidak melompat. Untung saja beberapa suster serta Dokter datang lalu menyuntikan obat penenang.
***
Disinilah Nidya sekarang, di sebuah ruangan terapi untuk menyembuhkan trauma yang dideritanya. Dokter mengatakan butuh proses panjang untuk menyembuhkan trauma yang di alami olehnya.
Namun, semua itu sudah di pertimbangkan dengan matang oleh Toni. Bahkan ia menyewa fasilitas dan psikiater yang terbaik untuk menangani putrinya.
"Hai, Nidya. Kamu sudah bangun. Bagaimana kalau kita berjemur?" sapa Sera.
Selama perawatan Nidya di awasi oleh Sera, seorang psikiater yang di khususkan untuk mendampingi Nidya selama masa penyembuhan. Perlahan Sera mencoba mendekatkan diri, membuat Nidya nyaman agar bercerita seperti temannya sendiri.
"Nyaman sekali di sini, tutur Sera. Ia melirik ke arah Nidya yang hanya diam membiarkan angin menerpa rambut panjangnya. “Bagaimana jika kamu memotong rambut mu? Kudengar memotong rambut bisa membuat kita melupakan masa lalu."
Nidya tak bergeming. Tak hilang akal, Sera terus mengoceh meski Nidya tak mempedulikannya. "Kamu tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi. Kamu hanya perlu jadikan masa lalumu sebuah motivasi agar kamu lebih baik lagi dari sebelumnya."
"Aku sudah membuat orang tuaku malu dan kecewa," ucap Nidya menundukkan kepalanya.
Sera memegang tangan Nidya. "Kamu adalah hal terindah untuk orang tuamu, mereka tidak pernah kecewa kepadamu. Percayalah kepadaku, kamu pasti bisa melewati semuanya."
"Hei, bangun!" Dalam sekejap suara Sera berubah menjadi suara Liona. Nidya membuka matanya melihat ke sekeliling. "Apa kamu mimpi buruk?"
"Iya, aku mimpi kembali ke masa 3 tahun yang lalu. Oh ya, dimana kita?"
"Apartemenmu. Tidurmu terlihat begitu pulas, apa di sana Mat tidak membiarkanmu beristirahat?"
Nidya hanya tersenyum lalu keluar dari dalam mobil.
***
Sementara itu di tempat lain, seorang wanita paruh baya tengah duduk sembari berbicara dengan seorang pria yang berdiri dihadapannya.
“Semuanya sudah di persiapkan dengan baik nyonya. Aku yakin kali ini Pak Alex bisa memimpin M&D Corp."
"Baiklah, aku percayakan semuanya kepadamu. Putraku juga berhak menikmati harta peninggalan ayah tirinya, bukan." Pria itu hanya menunduk tak berani menimpali ucapan Laras.
Iya, wanita paru baya itu adalah Laras yang tak lain ibu tiri Matheo.
"Maaf nyonya, Pak Alex sudah datang," ucap seorang maid.
Laras menggoyangkan, menyuruh pria suruhannya itu untuk pergi. Tak lama pria berwajah tampan itu berdiri menatap ke arah Laras.
“Akhirnya kamu datang juga, Nak.” Laras memeluk Alex dengan erat. “Kamu lihat kursi kosong itu, dia membutuhkan seorang pemimpin.”
Alex melepaskan pelukan Laras lalu berkata, "Itu kursi Mat, dia yang lebih berhak berada di sana."
“Kursi itu milikmu,” hardik Laras.
Alex memilih diam, kemudian berlalu meninggalkan Laras yang masih berdiri di sana. "Berhenti di situ Alex, kamu yang lebih berhak berada di sana!"
"Mah, aku sudah memiliki usaha dari hasil keringatku sendiri jadi berhentilah menyuruhku untuk berada di sana karena itu bukan kursiku!”
Alex lalu keluar dari ruangan kerja Daniel yang merupakan ayah tirinya.
"Alex, Mamah belum selesai bicara!"