5 tahun yang lalu...
"Menurut lo, kenapa persahabatan cewek sama cowok itu nggak bisa bertahan lama?"
Aku melirik pada Abdee sekilas, lalu kembali memandang ke depan. Saat ini kami tengah berada di rooftop sekolahan, menikmati angin sore yang berhembus sekaligus menatap orang-orang yang berlalu-lalang dibawah sana. Kebiasaan yang sering kami lakukan setelah pulang sekolah.
"Heh! Gue nanya ini, malah diem aja."
Aku mendengus geli, lalu kembali menatap Abdee yang juga berdiri menghadapku. Wajahnya terlihat kesal ketika aku mengabaikannya tadi.
"Emang kenapa lo nanya kayak gitu?"
Abdee mengerdikan bahu. Memilih untuk menyenderkan punggungnya di pembatas rooftop. "Nggak tahu. Gue tiba-tiba aja penasaran."
Aku ikut menyenderkan punggung di pembatas rooftop, seperti yang dilakukan Abdee. "Persahabatan cewek dan cowok nggak bisa bertahan, mungkin karena salah satunya menyimpan perasaan?"
"Perasaan kayak gimana?"
"Yaaaa....mungkin perasaan suka?"
"Emang bisa gitu? Suka sama sahabat sendiri."
Aku mengerdikan bahu, berusaha untuk terlihat tak terpengaruh. "Ya bisa dong!" ucapku lalu kembali menatap ke bawah rooftop. "Udah ah! Kenapa jadi ngomongin ini sih?"
Abdee tak lagi bertanya setelahnya. Cowok itu juga ikut menatap ke bawah rooftop, membuat keheningan sempat melanda.
Untungnya tak lama setelah itu Abdee kembali bersuara. "Oh iya gue lupa," Abdee berjalan ke arah tasnya yang ia letakkan di lantai. Ia terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya lalu kembali berdiri di sebelahku. "Nih!" ia memberikan sesuatu yang ia ambil dari tas tadi padaku.
"Apaan nih?"
"Naskah teater."
Seketika bahuku langsung merosot ketika tahu apa yang dibawa Abdee. Aku menatap melas padanya. "Kenapa harus sekarang sih?"
"Kalo bukan sekarang, kapan lagi?" Abdee meletakkan naskah teater ke tanganku. "Lo harus pahami naskah ini. Lima bulan dari sekarang kita bakal pentas. Dan lo masih sering terbata-bata!"
"Gimana mau hapal kalo sebanyak ini?"
Abdee menyentil keningku sedikit keras. "Naskah itu dipahami, bukan dihapal. Ngerti?" ia ganti mengusap bekas sentilan dikeningku.
"Nggak ngerti!" aku mengerucutkan bibirku. "Lo mah enak tinggal ngomong doang."
Abdee menghela nafas panjang. "Lo pikir enak apa jadi sutradara? Kalo boleh, gue malah lebih milih buat jadi aktor dari pada sutradara."
"Jadi sutradara 'kan tinggal liat akting aktornya aja. Apanya yang susah?"
"Kalo jadi sutradara semudah itu. Semua orang pasti mau jadi sutradara," Abdee mengajakku untuk duduk di lantai rooftop. "Tugas sutradara itu mencakup semuanya, Han. Kita harus melihat *blocking para aktor. Menyiapkan *lighting. Menentukan tata rias dan pakaian yang akan dikenakan aktor. Memperhatikan mimik wajah aktor dan juga vokal. Bahkan dekorasi panggung pun sutradara harus turun tangan, untuk melihat apakah dekorasi sudah cocok dengan naskah."
Aku hanya ternganga mendengar penjelasan Abdee. Wah! Aku pikir tugas sutradara itu mudah, tinggal duduk dan memperhatikan permainan aktor. Tak ku sangka jika jadi sutradara serumit itu.
"Sekarang lo mau pilih mana? Aktor atau sutradara?"
Aku menyengir. "Gue pilih aktor aja deh. Hehe,"
Abdee tersenyum. "Kalo lo mau jadi aktor, lo harus pahami naskah yang lo pegang. Lo nggak harus hapalin semuanya, cukup lo paham sama inti ceritanya aja."
Aku mengangguk. "Siap, bos! Gue bakal pahami naskah teater ini."
"Bagus," Abdee menepuk puncak kepalaku sekali. "Kalo gitu, kita pulang yuk. Udah mau gelap." ia berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. "Pulangnya gue anter, ya?"
"Kenapa pake nanya deh? Biasanya juga lo yang nganter."
"Ya kali aja lo lagi mau pulang sendiri gitu." Abdee mengambil tasnya, menyandangnya di bahu kiri. Lalu mengambilkan tas milikku dan memberikannya padaku.
Aku mengucapkan terima kasih, yang dibalas dengan senyuman olehnya. Setelah itu kami berjalan menuruni tangga, dengan Abdee yang berjalan di belakangku.
****
"Makasih udah nganterin gue," ucapku ketika turun dari motor Abdee. Cowok itu membantu melepaskan helm dari kepalaku dan meletakkan helm itu di jok motor.
"Lo kayak sama siapa aja, pake bilang makasih segala. Kita 'kan temen."
Aku berdecih ketika melihatnya tersenyum sambil menaik-turunkan alisnya. "Udah, pulang sana."
"Iye!"
"Jangan ngebut-ngebut!"
"Iya, sayang. Bawel banget sih lo."
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke lain arah. "A-apan sih lo! Sayang-sayangan gitu!"
Dapat aku dengar jika Abdee terbahak ketika melihatku mengomel. "Gitu aja marah. Gue 'kan cuma becanda,"
"Becanda nggak gitu juga kali!"
"Iya deh maaf. Nggak lagi," Abdee menghidupkan motornya. "Gue pulang ya. Salam buat orang tua lo."
"Iya," aku mulai melambaikan tanganku pada Abdee. Bahkan ketika cowok itu sudah tidak lagi terlihat, aku masih berdiri di depan rumah.
Aku menyentuh dadaku, tepat dimana jantungku kini berdetak tak karuan. Astaga! Aku tahu jika tadi Abdee hanya bercanda, tapi kenapa aku malah menganggapnya serius? Bahkan ada bagian dari diriku yang tak rela jika tadi Abdee hanya bercanda.
"Gue kenapa sih?" gumamku sebelum melangkah masuk rumah.
Berusaha untuk bersikap biasa saja meski yang terjadi justru sebaliknya.
****
Suasana senin pagi ini tampak begitu ramai, oleh para murid yang berlomba-lomba memeriksa kelengkapan artribut sebelum mengikuti upacara hari itu.
Sebagian ada yang lupa memakai dasi, ada yang lupa membawa topi dan ada juga yang bersikap santai-santai saja meski tidak membawa topi dan tidak memakai dasi.
Ck! Kadang aku merasa bingung dengan anak-anak yang bersikap santai meski sudah tahu melanggar petaturan. Sebenarnya untuk apa mereka datang ke sekolah jika hanya untuk dihukum.
"Kenapa lo?"
Aku segera sadar ketika mendengar suara dari sampingku. Ternyata Abdee. Cowok itu sudah berdiri di depan dengan tegap. Sementara atribut sekolahnya lengkap. "Nggak apa-apa,"
Abdee hanya mengangguk sekali. Kemudian aku melihat cowok itu mulai merapikan barisan kelasnya. Sebagai ketua kelas, Abdee termasuk orang yang tegas. Ia bahkan tidak takut jika harus bertengkar dengan salah satu siswa badung, seperti Adit contohnya.
Tak segan, Abdee akan menarik Adit untuk mengisi barisan paling depan. Alasan Abdee menyuruh Adit untuk baris paling depan adalah agar Adit tidak berbuat onar dibarisan belakang.
"Udah kali, Bos!" ucapku pada Abdee. "Barisan lo juga udah rapi kok."
Aku lihat Abdee menghela nafas lelahnya. "Percuma rapi kalo nggak bisa dibilangin," ucapnya dengan pandangan mengarah ke depan. "Lo mah enak, tinggal baris doang. Nggak perlu ngatur-ngatur barisan."
Aku terkekeh pelan mendengarnya. Entah kenapa aku sangat suka saat melihat wajah kesalnya itu. "Siapa suruh jadi ketua kelas. Repot 'kan."
"Jadi ketua kelas bukan keinginan gue. Tapi wali kelas yang milih gue,"
Aku menghela nafas panjang, berpura-pura prihatin dengan nasib Abdee. "Ya udah. Sabar aja, ya." ucapku sambil menepuk bahunya dua kali.
"Udah diem! Upacara udah mau mulai tuh."
Aku langsung melipat bibirku dan kembali menghadap kedepan, mengikuti upacara pagi ini.
****
Ketika upacara akhirnya selesai, aku langsung menghela nafas lega. Aku membungkukkan tubuhku dengan tangan bertopang di lutut. Jika saja tidak ada guru di depan sana, aku pasti sudah duduk dari tadi.
"Capek, ya?"
Aku menoleh pada Abdee—yang saat ini berdiri dengan senyum geli diwajahnya. Dapat sekali tertebak jika dia tengah menertawakanku saat ini.
"Menurut lo?!" ucapku sedikit kesal.
"Makanya, kalo pas olahraga itu jangan males buat lari."
Aku berdecih. "Apa hubungannya olahraga sama upacara?"
"Olahraga bikin tubuh lo terbiasa. Jadi lo nggak bakal cepet capek kalo berdiri buat upacara," ucap Abdee, bertepatan dengan bubarnya barisan.
"Terserah, gue nggak peduli." aku berjalan menuju kelas, diikuti Abdee di belakangku.
"Lo dibilangin ngeyel banget sih! Gue bilang kayak gitu, buat kebaikan diri lo juga." Abdee meletakkan kedua tangannya di bahuku, mendorong tubuhku yang lelah agar terus berjalan.
"Jangan dorong-dorong ah!" protesku. Aku berusaha menepis tangannya, tapi ia tetap mengulanginya lagi.
Kalau sudah seperti itu, tak ada cara lain yang bisa aku lakukan selain pasrah. Membiarkan Abdee mendorong-dorong tubuhku untuk terus berjalan.