Di mana pun itu, kantin selalu menjadi tempat favorit saat istirahat. Baik di perkantoran atau di sekolah, kantin selalu ramai. Begitu juga di sekolah Diva. Kantin penuh sesak dipenuhi oleh siswa dari 3 tingkatan. Padahal ada 3 kantin di sekolah mereka, 1 kantin di masing-masing lantai. Namun, entah kenapa kantin yang berada di lantai dasar yang paling ramai. 2 kantinnya juga ramai tapi tidak seramai kantin di lantai ini. Banyak siswa yang bahkan rela berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk.
Namun tidak bagi Juna. Sejak awal menjadi murid di sekolah ini Juna sudah langsung terkenal, membuatnya mudah mengakses semua tempat. Di kantin contohnya, Juna dan Helen beserta Arsyi sudah memiliki sebuah meja khusus. Meja itu dilengkapi dengan sebuah kursi panjang dan tiga buah kursi untuk duduk sendiri. Sebenarnya Juna tidak mengklaim meja dan kursi ini miliknya, anak-anak lain saja yang tidak mau menduduki meja ini. Mereka takut Juna akan marah. Beberapa bulan memasuki sekolah ini membuat sifat Juna terkenal ke seantero sekolah. Dia bukan hanya playboy tetapi juga jago berkelahi. Tidak ada yang tidak mengenal siapa Arjuna. Sebut saja namanya maka para siswa sudah pasti akan menunjukkan di mana dia.
"Juna, laper!" rengek Helen sambil mengusap perut ratanya.
Sejak beberapa menit yang lalu Arsyi mengantre di depan sana untuk mengantre memesan makanan, tapi belum kembali juga. Helen sudah beberapa kali merengek, telinga Juna rasanya berdenging mendengar rengekan yang mengalahkan rengekan bayi itu.
"Siapa suruh lu nggak sarapan tadi?" balas Juna cuek. "Tunggu bentar lagi juga Arsyi bakalan balik."
Helen cemberut. Pipinya yang berisi makin terlihat menggembung saat dia seperti itu.
"Makanya bangun jangan kesiangan, jadinya kelaperan, kan, lu!" sungut Juna tanpa menatap Helen. Tatapannya fokus pada meja yang berjarak dua meja dari mejanya. Diva terlihat bercanda bersama kedua sahabat ganjennya.
Helen makin cemberut. Tangannya terangkat memukul lengan Juna. "Juna aja yang antre biar Arsyi di sini!" pinta Helen sambil mendorong-dorong bahu Juna lemah. Dia sangat kelaparan, rasanya sudah tidak bertenaga lagi.
Baiklah, yang ini Helen hanya bercanda. Abaikan saja. Namun, dia tidak berbohong saat mengatakan dia kelaparan. Bangun kesiangan gara-gara tadi malam menonton Drakor secara maraton. Padahal Arsyi sudah memperingati agar tidak begadang. Sialnya wajah tampan oppa-oppa Korea membiusnya, membuatnya lupa waktu. Alhasil dia bangun pukul setengah tujuh pagi. Itu pun tidak akan bangun kalau tidak dibangunkan oleh teriakan merdu Bunda.
Juna menghiraukan permintaan Helen. Dorongan gadis itu pun tidak digubrisnya. Fokusnya tidak berubah, masih pada gadis berpipi chubby yang mendengarkan candaan teman-temannya. Kadang Diva juga ikut tertawa, kadang hanya sebagai pendengar. Bagaimanapun tingkahnya, Diva tetap menggemaskan di mata Juna. Eh, menggemaskan? Juna menggeleng, mengusir pikiran 'menggemaskan' itu dari kepalanya. Cepat-cepat Juna mengalihkan pandangan, tak ingin Diva mengetahui kalau dia sedang diperhatikan.
"Juna...."
Rengekan Helen membuat Juna memutar bola mata. Helen kalau tidak dituruti akan terus merengek seperti bayi. Sangat menyebalkan! Tak ingin mendengar lagi, Juna berdiri dan menghampiri Arsyi yang masih saja mengantre. Menepuk punggung sahabatnya itu pelan.
"Arsy!"
Arsyi menoleh, mengangguk sebagai respons.
"Helen minta gue yang antre lu yang sama dia...."
"Kenapa?" potong Arsyi dengan alis berkerut.
Juna mendengkus kesal. Sesungguhnya dia paling tidak suka perkataannya dipotong, dan Arsyi sangat suka melakukannya.
"Dia merengek kelaperan terus, kesel gue dengernya."
Arsyi menaikkan sebelah alisnya. Dia kurang mengerti apa maksud Juna. Helen merengek karena kelaparan? Apakah Helen lupa sarapan sampai-sampai seperti itu?
"Lu lama banget antrenya!" gerutu Juna. Seandainya mereka hanya berdua sudah dipukulnya kepala Arsyi. Sayangnya mereka berada di kantin, terlalu banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Dia jadi tidak enak. Lagipula dia harus menjaga image dirinya di depan gadis-gadis, tidak boleh terlihat terlalu berlebihan.
"Depan gue masih banyak."
Juna memutar bola mata mendengar perkataan Arsyi. Sejak dulu Arsyi memang tidak banyak bicara, ekspresinya juga datar seperti papan triplek. Juna heran saja kenapa Helen yang cerewet bisa betah bersamanya.
"Ya, lu nggak maju-maju!" belalak Juna.
"Kata siapa?" sangkal Arsyi. "Gue maju."
Juna mendengkus jengkel. "Lu duduk sono temenin permaisuri lu, biar gue yang antre."
"Beneran lu mau?" tanya Arsyi, menatap Arsyi dengan tatapan tidak yakin.
Juna mengangguk mantap. "Kalo lu yang antre di sini, bisa-bisa sampe habis jam istirahat kita belum bisa makan. Gue juga laper, Arsy!" Juna mendorong Arsyi keluar dari antrean. Berdiri menggantikan pemuda itu di tempat Arsyi tadi.
Arsyi hanya mengangkat bahu. Baginya tidak masalah siapa pun yang antre. Dia malah senang digantikan karena kakinya sudah lumayan pegal berdiri.
"Kamu lama banget, sih, Hon? Kan aku laper."
Arsyi mengembuskan napas pelan melalui mulut. Duduk di samping Helen dan mengacak pucuk kepala gadisnya.
"Antreannya panjang, Hon. Maaf ya," pinta Arsyi lirih. Dia tak suka membuat keributan, tidak seperti Juna yang sangat suka memancing. Mereka bersahabat sejak dua tahun yang lalu. Juna menolongnya saat dia dikeroyok di sekolah barunya. Meski mereka tidak satu sekolah tapi mereka tetap bersahabat sampai sekarang.
"Cuman bagi lu antreannya panjang!" Tiba-tiba Juna sudah berdiri di depan mereka dengan sebuah nampan besar di tangannya. Ada makanan pesanan mereka di nampan itu. "Gue udah dapat, nih!"
Juna meletakkan nampan di atas meja, mengambil pesanannya sebelum duduk dan menyantapnya. Helen memekik gembira, melakukan hal seperti Juna. Menyantap hidangannya tanpa peduli sekitar, menenangkan cacing-cacing yang sejak tadi berdemo di dalam perutnya. Hanya Arsyi yang melongo. Dia heran, bagaimana Juna bisa secepat ini? Sementara dirinya sudah lebih dari lima belas menit berdiri tetap belum berhasil memesan. Baiklah, Arsyi mengakui kalau Juna memang hebat dalam hal seperti ini. Mungkin karena tinggi tubuhnya sehingga bibik petugas kantin bisa membuatkan pesanan Juna dalam sekejap. Namun, rasanya tidak mungkin. Tinggi tubuhnya juga sama dengan Juna, dia tetap mengantre seperti yang lainnya. Apa Juna melakukan kekerasan? Membentak misalnya, atau mungkin mengancam.
"Woi!" Juna berseru di depan Arsyi. "Bengong aja lu! Nggak mau makan gue sikat juga nih!"
Arsyi memutar bola mata. "Tumben lu rakus!" sindirnya.
Juna hanya mengangkat bahu. "Bodo lah! Suka-suka gue!"
Sekali lagi Arsyi memutar bola mata sebelum mengambil piring terakhir di atas nampan yang berisi pesanannya. Arsyi menjauhkan nampan, memberikannya pada salah seorang petugas kantin yang lewat di depan meja mereka.
Sementara di meja yang berjarak dua buah meja dari tempat Juna dan sahabat-sahabatnya, Diva memperhatikan gerak-gerik Juna sejak tadi. Mata Diva juga mengikuti saat Juna mengantre tadi, dan Diva semakin kagum pada pemuda itu. Juna rela berdesakan hanya untuk Helen. Kadang Diva berpikir Juna itu aneh. Untuk Helen, Juna akan melakukan apa saja. Sementara untuk gadis-gadis yang dipacarinya tidak. Juna tidak akan mau menuruti keinginan gadis-gadis itu.
Diva sangat ingin tahu sebenarnya tipe gadis yang disukai Juna itu seperti apa. Selama ini yang dia lihat Juna selalu mengencani gadis-gadis yang bukan tipe 'alim'. Gadis-gadis yang dikencaninya selalu yang memiliki predikat populer dan merasa sebagai ratu di sekolah. Gadis dengan dandanan menor dan penampilan terbuka. Namun, Diva tidak ingin seperti mereka. Meski dia menyukai bahkan mungkin mencintai Juna, Diva tidak mau mempertontonkan aurat seperti mereka. Dia ingin Juna melihatnya sebagai gadis berprestasi di bidang akademis.
Diva mengembuskan napas pelan. Menyukai seorang Arjuna sepertinya memang harus tahan banting. Sering dia melihat Juna berduaan dengan gadisnya, berganti-ganti setiap bulannya. Sakit? Jangan ditanya. Dadanya rasanya seperti diremas. Diva tidak pernah tahu kalau cemburu bisa sesakit itu. Sungguh dia tidak ingin melihatnya, tetapi Juna berpacaran dengan salah seorang teman sekelasnya. Mau tidak mau dia harus menyaksikan pemandangan menyakitkan itu setiap kali Juna menghampiri Tere ke kelas mereka.
"Enak banget, sih, jadi Helen!"
Celetukan Echa membuat Diva kembali menoleh pada gadis yang disebut temannya. Tampak gadis bermata sipit itu sedang disuapi kekasihnya. Sekarang siapa pun siswa di sekolah ini tahu kalau Helen adalah kekasih Arsyi tapi selalu menempel pada Juna. Mereka berdua seperti sepasang anak kembar tak identik.
"Ho'oh! Gue juga mau deket sama dua cogan," tambah Nora. "Cuman Deket doang, ya, nggak lebih. Gue masih sayang sama hati gue. Ogah punya cowok kayak Arsyi yang muka tripleks apalagi kayak Juna." Nora bergidik. "Bisa-bisa mati muda kalo pacaran sama Juna. Makan hati tiap hari." Nora tertawa.
Lima bulan berseragam putih abu-abu reputasi Juna sudah dikenal seluruh siswa. Playboy. Paling lama dua bulan Juna berhubungan dengan seorang gadis, setelah itu dia akan mencari gadis lainnya. Sepertinya Juna tipe pemuda yang cepat bosan pada pasangannya. Kembali Diva mengembuskan napas pelan, kali ini melalui mulut. Masihkah sanggupkah dia mempertahankan perasaannya pada Juna? Sanggupkah dia bertahan melihat pemandangan mesra Juna dan gadis-gadisnya setiap hari? Entahlah, kalau dirasa-rasa sepertinya dia tak akan sanggup. Namun, hatinya tetap memilih pemuda itu sebagai pelabuhan.
Diva mengembuskan napas sekali lagi. Menundukkan kepala dan menggigit bibir saat melihat seorang gadis di atas tingkat mereka menghampiri Juna dan mencium pipinya. Diva menggigit bibir, nyeri di hatinya kembali lagi membuat dadanya terasa sangat sesak. Diva membuka mulut, menghirup napas sebanyak-banyaknya dengan kepala yang masih tertunduk. Dia harus menghalau air yang mencoba menggenangi matanya. Dia tidak boleh menangis, dia kuat.
Kamu kuat, Va. Harus!
Berulangkali Diva melafalkan kata-kata itu di dalam hati. Baru berhenti setelah Juna dan gadisnya meninggalkan kantin. Diva perlahan mengangkat kepala, menatap kepergian Juna dengan ekor matanya. Sepertinya Juna sudah putus dengan Tere. Tadi pagi sewaktu memasuki kelas dia melihat Tere menangis. Dia jadi takut, tapi untuk mundur dia tidak mau. Mundur tidak ada dalam kamus seorang Diva Sandora. Meskipun tidak selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, Diva tetap ingin berjuang.
***
Diva merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Tangannya memegang ponsel yang menyala, Diva sedang aktif di sebuah aplikasi berkirim pesan yang sekarang tengah marak di kalangan anak muda. Mengabaikan pesan-pesan yang masuk ke ponselnya, Diva membuka sebuah kontak yang diberinya nama ARJUNAku. Iya, itu memang nomor kontak Juna, dia memang menyimpannya. Setiap kali Juna berganti nomor dia selalu mendapatkan nomor ponsel pemuda itu dan menyimpannya, selalu dengan nama yang sama.
Diva membuka foto yang dipasang Juna sebagai foto profil, menatapnya lama. Ibu jari Diva mengusap foto itu, berhenti di bibirnya. Bertanya dalam hati bagaimana rasanya bibir Juna. Dia pernah melihat Juna dan Tere saling memakan bibir. Saat dia bertanya pada Arkan, katanya itu adalah ciuman. Diva bingung, setahunya ciuman itu di pipi bukan di bibir seperti orang yang sering diberikan Mama padanya.
"Dasar bocah! Gimana lu mau jadi cewek dewasa kalo ciuman aja nggak tau."
Kata-kata yang diucapkan Arkan beberapa waktu lalu kembali terngiang di telinganya, membuat wajah cantik Diva memerah. Arkan memang sepupu yang paling menyebalkan. Entah nasib sial apa dia bisa memiliki sepupu seperti seorang Arkan Wijaya. Arkan bukannya mendukung malah selalu mengatainya.
Apa benar dia masih seperti bocah? Nora dan Echa juga menyebutnya polos. Beberapa kali kedua sahabatnya itu mengajak menonton film yang akan membuat mereka cepat dewasa tapi dia selalu menolaknya. Dia takut dimarahi Arkan. Selain menyebalkan, Arkan juga sangat posesif padanya. Arkan melarangnya berteman dengan laki-laki, kalaupun berteman harus diseleksi. Tentu saja Arkan yang menyeleksi mereka. Makanya sampai sekarang dia tidak pernah mendapatkan pacar. Semua teman laki-lakinya takut pada Arkan. Tubuh Arkan yang tinggi besar, berpadu dengan wajahnya yang tegas membuat siapa pun yang melihat akan takut. Mereka yang belum mengenal Arkan pasti mengira kalau dia pemarah, padahal kebalikannya. Arkan pemuda yang kocak dan sangat usil.
Mengenai film yang ingin ditonton Nora dan Echa, Diva sudah pernah melihat sampul film itu. Seorang perempuan dengan pakaian yang sangat terbuka berpose dengan seorang pria yang memamerkan dadanya. Kepala si pria berada di d**a si perempuan. Nora dan Echa menertawakannya ketika dia bergidik. Diva tidak dapat membayangkan bagaimana seorang perempuan sangat berani berpose seperti itu. Memang bukan orang Indonesia, tapi tetap saja pose mereka terlalu berani baginya. Diva merasa Nora dan Echa sudah menodai kesucian matanya.
Omong-omong soal mata, Diva kembali memfokuskan tatapannya pada foto Juna. Pada mata cokelat terang milik Juna yang sangat indah di matanya. Melihat mata itu membuat Diva berpikir, apakah Juna blasteran? Sepertinya iya. Kulit putih dan tubuhnya yang tinggi membuktikan itu semua. Tinggi badan Juna begitu berbeda darinya. Dia pernah mengukurnya tanpa sengaja. Tingginya hanya sebatas d**a Juna saja. Entah tubuhnya yang kelewat pendek atau Juna yang terlalu tinggi. Namun, tinggi tubuhnya sepertinya normal-normal saja. Nora dan Echa setara dengannya, begitu juga Helen. Tinggi mereka sejajar. Berarti tubuh Juna yang kelebihan tinggi.
Bibir mungil Diva mengulas senyum. Mungkin dia.perli lebih banyak lagi s*su agar pertumbuhannya tidak terhambat.
"Kapan kamu peka, sih, Jun? Kapan kamu sadar kalo aku tuh sayang sama kamu."
Diva meletakkan ponsel di dadanya,.memeluknya seolah dia memeluk Juna. Tak lama dengkuran halus terdengar. Diva sudah mengelana ke alam mimpi.