Diva bangun sedikit lebih siang dari tiga hari yang lalu. Hari ini Diva bisa sedikit lebih santai, jam masuk kelas lebih lambat lima belas menit. Masa pengenalan sekolah kepada siswa-siswi baru sudah berakhir kemarin sehingga dia tidak perlu tergesa-gesa hari ini. Lima belas menit waktu yang diberikan cukup untuknya kembali berkelana ke alam mimpi. Itu kalau tidak suara merdu Mama memanggil namanya disertai dengan ketukan di pintu kamar.
Diva membuka mata dengan malas. Sungguh dia masih mengantuk, tetapi ketikan di pintu yang tidak berhenti memaksanya untuk segera bangun dan berteriak.
"Iya, Mama, Diva udah bangun!" Diva berseru kencang padahal masih di dalam selimut.
Dengan mata masih setengah terpejam, Diva bangun dari tempat tidur, menurunkan kaki dan melangkah tertatih menuju kamar mandi. Diva terpekik kaget ketika dinginnya air menyentuh tubuhnya polos. Membuka mata lebih lebar dan mengerang, dia salah menekan keran air. Seharusnya keran air hangat, dia malah menekan keran air dingin. Akibatnya dia menggigil, padahal air baru mengenai wajah. Buru-buru Diva menyelesaikan mandinya.
Pukul tujuh kurang lima belas menit, Diva sudah bergabung di meja makan. Menyantap roti dan segelas s**u yang disediakan Mama. Hari ini dia tidak mengepang rambutnya lagi. Rambut sepunggungnya jatuh digerai begitu saja, juga tidak ada ornamen lain di tubuhnya. Diva mengembuskan napas lega, menghabiskan s**u yang tersisa separuh sebagai penutup sarapannya pagi ini. Dia tidak ingin terlambat hari ini.
Diva menaiki mobil setelah pamit kepada kedua orang tuanya. Dia kembali diantar oleh pak Dudung. Sepertinya pak Dudung sudah beralih menjadi sopirnya sejak tiga hari yang lalu. Dua puluh menit kemudian Diva sudah tiba di sekolah. Segera saja dia turun dari mobil, berlari memasuki gerbang yang hampir ditutup oleh pak satpam penjaga sekolah, setelah pamit pada pak Dudung. Diva berdecak kesal, dia nyaris terlambat hari ini.
Jantung Diva hampir saja berhenti tiba-tiba, sebuah mobil lewat tepat di depannya. Mobil yang sangat Diva kenali, mobil Juna. Diva mengerjap sekali, bukan karena terkejut lagi tapi karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Juna juga hampir terlambat? Sepertinya mereka memang berjodoh. Diva tersenyum kemudian menggeleng pelan, mengembuskan napas kasar, pipinya terasa memanas. Diva menepuk pipinya sebelum berlari kecil memasuki lobi sekolah. Dia tidak mau kena hukuman hanya karena pikiran tentang Juna.
Entah apa yang terjadi padanya, tapi pipinya selalu memerah setiap kali memikirkan Juna. Walaupun dia hanya mendengar nama pemuda itu saja, pipinya tetap saja terasa panas. Sepertinya dia memang sudah jatuh cinta pada Juna. Iya, dia tidak menyangkalnya. Sejak pertama melihat Juna dia sudah merasa suka dan tertarik. Tiga hari masa pengenalan sekolah, mereka sering bertemu. Entah kebetulan atau tidak tapi Diva semakin mengaguminya. Pasti rasanya akan sangat nyaman dan terlindungi berada di samping tubuh tinggi itu.
Kadang dia merasa iri pada gadis berwajah oriental yang selalu bersama Juna. Gadis itu dapat dengan leluasa mengikuti Juna ke mana pun. Sungguh, dia juga ingin seperti gadis itu. Ingin berada di sisi Juna, memeluk lengannya, menatapnya dari dekat. Diva mengentakkan kaki kesal, menyesali dirinya yang tidak sekelas dengan Juna. Seandainya saja mereka sekelas, sekolah pasti akan lebih menyenangkan.
Omong-omong soal sekolah, Diva sangat menikmati hari-harinya sebagai siswa baru berseragam abu-abu. Sekarang dia sudah memiliki banyak teman dan dua orang sahabat, Nora dan Echa. Mereka bertiga selalu bersama pergi ke mana pun. Seperti saat ini, Nora dan Echa sudah menunggunya di depan kelas mereka. Echa berseru heboh begitu melihatnya.
"Diva! Untung lo nggak telat, Va." Echa menarik tangan Diva begitu gadis itu berada di depannya. "Gue kira tadi lo nggak masuk."
Diva tersenyum manis. "Tadi telat bangun," ucapnya lirih. Pipinya terasa kembali memanas saat dia mengatakan hal yang menurutnya sangat memalukan itu.
"Astaga!" Echa berdecak, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri pelan. Namun segera kepala itu berhenti bergerak ketika Juna dan si gadis oriental lewat di depan mereka. "Pagi, Juna!" sapa Echa ramah. Dia memasang senyum terbaiknya.
"Hampir telat juga kalian?" Nora yang bertanya.
Gadis di sebelah Juna mengangguk. Senyumnya secerah sinar matahari pagi ini. Sementara Diva justru menundukkan kepala, tak berani menatap Juna dalam jarak sedekat sekarang.
"Gara-garanya Juna nih, kan, kita mau telat jadinya!"
Diva menoleh gadis berwajah oriental yang selalu menempel pada Juna. Tatapannya jatuh pada name tag di seragam bagian kiri atas gadis itu. Helena Valerie Darmawan. Pantas Juna sering memanggilnya 'Len', ternyata nama gadis itu Helen. Diva menatap gadis itu dengan tatapan biasa saja. Meskipun tidak terlalu suka, tapi dia tidak menganggap Helen sebagai saingan. Apalagi setelah mendengar perkataan Juna, Diva semakin yakin kalau Helen bukanlah gadis yang pantas dianggap sebagai saingan.
"Astaga! Nggak usah playing victim deh lu! Yang telat bangun, kan, lu bukan gue!" Juna mengusap wajah Helen gemas.
Helen membelalak kesal, memukul lengan Juna kuat. "Jangan berisik, bisa nggak?" tanyanya. "Bikin malu!"
Juna menaikkan sebelah alis. "Bodo lah!" serunya kemudian melanjutkan langkah menuju kelasnya. Meninggalkan Helen bersama dengan Diva dan kedua sahabat gadis itu.
Berbicara soal Diva, tiga hari menjadi siswa di sekolah yang sama sudah cukup bagi Juna untuk mengetahui bagaimana gadis itu. Jujur, dia sedikit kecewa, Diva bukan gadis tipe seorang William Arjuna Dirgantara. Dia tidak terlalu suka gadis 'alim'. Lagipula, rasanya sayang kalau gadis semenggemaskan Diva harus ditinggalkan.
Helen cemberut. Mengentakkan kaki kesal sebelum menyusul Juna dengan setengah berlari.
"Junaaaa, tungguin!" seru Helen kencang.
Diva tertawa kecil di dalam hati. Tidak mungkin dia merasa tersaingi oleh Helen yang memiliki sikap mirip dengannya. Manja. Meski sikap Juna begitu berbeda saat bersama gadis itu, Diva tetap tidak cemburu. Tidak bisa. Namun ada satu yang membuat Diva sedikit kecewa, Juna tidak sedikit pun melirik padanya. Membuatnya berpikir, apakah ada yang salah dengannya hari ini? Apakah dia terlihat tidak seperti hari-hari sebelumnya? Diva menundukkan kepala, menggigit bibir menahan denyutan di dalam dadanya.
"Lo suka sama Juna, Ra? Nggak, kan?"
Pertanyaan Echa menyadarkan Diva. Cepat Diva mengangkat kepala, menatap Nora penuh ingin tahu. Diva berharap Nora menggelengkan kepala, dia berharap Nora menjawab tidak.
"Nggak lah!" jawab Nora cepat. "Belum siap sakit hati gue." Nora tertawa. "Dia ganteng, sih, pintar juga, sayangnya playboy."
"Eh, beneran?"
Diva menanti jawaban Nora dengan d**a berdebar. Benarkah Juna seperti yang ditanyakan Echa?
Nora mengangguk. "Gue satu sekolah sama dia waktu di SMP. Baru kelas tujuh aja ceweknya udah puluhan." Nora terkikik geli.
Bola mata Diva sukses melebar dengan sempurna. Seplayboy apa Juna sampai-sampai mempunyai pacar sebanyak itu?
"Astaga! Beneran, Ra?" tanya Echa. Tatapan tidak percayanya terarah pada Nora.
Sementara Nora tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Bel tanda masuk berbunyi.
***
Bunyi langkah kaki yang mengentak keras terdengar di belakang Juna, tapi dia tidak memedulikannya. Juna yakin kalau langkah kaki itu milik Helen. Tidak mungkin, kan, milik Diva? Meski dia berharap demikian, memang Diva yang mengejarnya.
Jujur, Juna sudah tertarik pada gadis itu sejak pertama mereka bertemu di tempat parkir sekolah empat hari yang lalu. Sosok Diva dengan tubuh mungil dan pipi chubby yang memerah terlihat sangat memesona dan menggemaskan di waktu bersamaan. Melihatnya, membuat waktu seolah berhenti. Ada rasa ingin memiliki, juga ingin menjaga. Padahal sebelumnya tidak pernah Juna mempunyai perasaan seperti itu, kecuali pada Helen yang sudah dianggap sebagai adik.
"Juna, jalannya jangan cepat-cepat! Aku capek!"
Juna meringis mendengarnya. Suara Helen, bukan suara gadis yang diinginkan mengejarnya. Juna melirik Helen sekilas, lantas menoleh pada tiga orang gadis yang masih berdiri di depan pintu kelasnya. Matanya bertemu dengan mata Diva, tapi dengan cepat gadis itu membuang muka dengan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Juna urung melempar senyum padanya. Kecewa? Sedikit, hanya sedikit. Atau ...?
Baiklah, dia berbohong. Sebenarnya dia kecewa, juga kesal. Tidak ada seorang pun gadis yang menolak bertatapan dengannya. Sangat menyebalkan.
"Lu aja jalannya kayak keong!" balas Juna. Sekali lagi menoleh ke arah Diva dan kedua sahabatnya sebelum memasuki kelas. Kali ini Diva tidak membuang muka, tatapan mereka benar-benar bertemu, dan Juna melihatnya, semburat merah di pipi mulus itu. Bolehkah dia mencubit pipi itu? Menggemaskan.
"Juna aja yang jalannya kelewat cepat!" Helen memukul lengan Juna gemas. Mendahului Juna memasuki kelas mereka begitu terdengar bel tanda masuk kelas berbunyi.
"Kaki lu yang pendek, Len!" Juna mengacak rambut Helen gemas. "Kenapa lu jadi nyalahin gue?" Juna duduk di kursinya yang tepat bersebelahan dengan kursi Helen. Selalu sebangku dengan Helen sejak di taman kanak-kanak tidak membuat Juna bosan. Dia sudah terbiasa dengan kehadiran Helen di hidupnya. Mereka sudah bersahabat sejak di dalam kandungan. Rasanya sangat sepi kalau tidak ada Helen, seolah ada yang kurang.
Helen mendengkus kesal. Juna selalu saja dapat menjawab semua perkataannya, mentang-mentang pintar. Sangat-sangat menyebalkan baginya yang mempunyai otak pas-pasan. Helen tidak menjawab lagi, dia hanya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah Juna tadi.
Sementara Juna juga tidak memedulikan Helen lagi. Pikirannya sudah mengembara ke kelas sebelah. Diva selalu mengusiknya. Meski dia mengatakan gadis itu bukanlah tipe-nya, tapi tetap saja dia tidak bisa berhenti memikirkan. Sampai-sampai dia berpikir kalau otaknya ada yang salah. Mungkin saja s**u yang tadi malam dan tadi pagi diminumnya sudah kadaluarsa. Juna bergidik membayangkan seandainya saja itu benar. Namun, kalau seandainya dia memakan atau meminum sesuatu yang kadaluarsa, yang seharusnya sakit adalah perut bukan otaknya. Astaga! Diva sudah membuatnya gila.
Juna menggeleng pelan, mengusir Diva dari kepalanya. Gadis itu membawa efek yang buruk bagi dirinya. Mungkin sudah saatnya dia mencari seseorang yang bisa menjauhkan dan mengusir bayangan Diva dari semua mimpinya. Dia menyukai Diva, tertarik padanya tapi ada sesuatu yang sulit dijelaskan yang membuatnya tidak ingin mendekati gadis itu. Sesuatu yang dia tidak tahu apa itu. Mungkin dia akan mencari tahu nanti karena saat ini dia ingin kembali mengibarkan bendera yang akan menjelaskan siapa itu Arjuna Dirgantara.
***
Baru empat hari berseragam putih abu-abu Juna sudah mendapatkan beberapa surat cinta di bawah mejanya. Astaga! Di zaman teknologi sudah berkembang dengan sangat pesat seperti sekarang, masih saja ada orang yang mau menulis surat. Juna menggelengkan kepala pelan, melemparkan surat-surat yang sama kesemua isinya, menyatakan perasaan dan memintanya untuk berpacaran. Juna menggeliat ngeri, gadis-gadis seperti itu sungguh bukan tipenya. Dia tidak menyukai gadis agresif yang menembaknya lebih dulu, dia lebih menyukai berjuang dengan gombalan dan rayuan untuk mendapatkan mereka. Bagi Juna tidak ada serunya, dia tidak suka dikejar.
Seolah surat tidak cukup, Juna juga mendapatkan banyak chat dari gadis-gadis yang mengatakan satu sekolah dengannya. Rasanya sedikit risih, meski dia suka menjadi pusat perhatian tapi sejak dulu dia tidak suka diganggu dengan pesan dari berbagai nomor tidak dikenal. Dia selalu mengabaikan, tidak pernah membalas dan langsung menghapus pesan itu. Tidak penting menurutnya. Itu sebabnya dia sering berganti nomor ponsel, setiap nomor ponselnya tersebar, dia akan langsung menggantinya dengan nomor yang baru. Hanya orang-orang terdekat saja yang akan diberitahu. Meski begitu beberapa hari kemudian tetap saja nomor ponselnya tersebar.
Juna mendelik saat mendengar tawa yang sangat mengganggu di telinganya. Tawa Helen yang mengejeknya. Selalu sekelas dan duduk sebangku dengan Helen membuatnya tahu kebiasaan gadis itu. Helen pasti akan menertawakannya setiap kali dia mendapatkan surat dan pesan tak dikenal.
"Seneng banget kayaknya lu...."
"Iya dong," potong Helen cepat. "Liat muka ganteng Juna menekuk tuh sesuatu banget tau nggak?" Helen kembali terkikik, menutup mulutnya dengan tangan kanan.
Juna memutar bola mata. "Salah gitu muka gue ganteng?" tanyanya lirih. Meski sedang kesal, Juna tetap memelankan suara. Dia tidak ingin mengganggu teman-temannya yang lain, mereka masih di dalam kelas, sedang pergantian mata pelajaran.
Helen menggeleng. "Nggak salah," jawabnya polos. "Yang salah Juna playboy, banyak ceweknya."
Juna menatap Helen datar. Gadis bertubuh mungil ini terlalu tahu tentang dirinya. Kebiasaannya bergonta-ganti pacar pun Helen tahu. Sering Helen memarahinya, kata Helen matanya sakit melihat Juna setiap dua bulan sekali berganti pasangan. Bukan hanya Helen yang seperti itu. Arsyi, sahabatnya yang juga kekasih Helen, juga sering memarahinya. Omelan Arsyi lebih parah dari Helen yang perempuan. Arsyi mengatakan, dia nanti akan mendapatkan balasan kalau terus seperti ini.
Namun Juna tidak peduli. Dia hanya belum mendapatkan gadis yang cocok saja menurutnya. Gadis yang bisa membuatnya nyaman dan bertekuk lutut. Kalau sudah menemukan, dia pasti akan berhenti dari petualangannya. Masalahnya, siapa gadis itu? Kata Daddy, dia masih terlalu muda untuk menjalin hubungan serius. Meski Daddy tidak melarang kalau dia memang ingin mengikat seorang gadis secara serius. Lalu, siapa gadis itu sampai sekarang dia masih belum menemukannya. Belum ada seorang pun gadis yang bisa membuatnya merasa nyaman. Selama ini dia merasa biasa-biasa saja.
Tiba-tiba bayangan Diva melintas. Juna memejamkan mata sekilas, memegang dadanya yang berdebar. Mungkinkah gadis yang dicarinya adalah Diva?