3 - Pertemuan Kedua

1451 Words
Bab 3 - Pertemuan Kedua 7 tahun kemudian Di sebuah Kafe. “Selamat, karena kamu terpilih untuk menjadi pengasuh Tuan muda kami,” ujar seorang pria muda berusia kisaran tiga puluhan. Dia merupakan orang kepercayaan pemilik salah satu bisnis raksasa negeri ini. “Alhamdulilah, saya memang lagi butuh uang.” Kirana tersenyum senang,sudah sebulan ini dia menganggur, karena tempat kerjanya yang lama bangkrut, dan otomatis dia kena PHK. Untuk menyambung hidup, selama sebulan ini dia mengandalkan uang simpanan yang sudah menipis. “Kamu bisa datang hari ini juga bareng saya ke rumah Tuan Ragendra untuk bertemu dengannya, dan memperkenalkan diri,” ujar Pria bernama Deri itu. “Baik Pak Deri,” sahut Kirana dengan bahagia. “Tapi sebelumnya kamu harus menandatangani kontrak terlebih dahulu, ini silahkan dibaca dulu supaya tidak ada penyesalan sama sekali di masa depan.” Deri menyodorkan sebuah map berisi dokumen kontrak kerja. Kirana menerimanya, dia melihat banyak sekali tulisan yang jujur sangat malas dia baca.Tapi dia melihat poin yang disoroti. Poin yang menurutnya paling penting, yaitu tentang gaji yang akan didapat setiap bulannya, dan pekerjaan yang harus dia lakukan. “Waw gajinya gede banget untuk ukuran seorang pengasuh,” matanya berbinar membayangkan pundi-pundi rupiah masuk ke dalam rekeningnya. Menurutnya, pekerjaannya tidaklah sulit. Hanya memandikan, memakaikan pakaian, memberinya makan, dan mengurusi hal-hal remeh temeh yang biasa dikerjakan dalam mengurus anak kecil. “Saya bersedia, ini mah gampang. Saya sudah terbiasa mengasuh anak kecil,” dengan percaya diri Kirana berkata. “Baiklah kalau begitu, tapi ingat jangan membuat Tuan marah, ataupun kesal.Kamu harus membuatnya senang dan melayani semua kebutuhannya dengan baik. Tidak boleh menolak apapun maunya, Tuan sangatlah manja ingat itu,” lanjut Deri menjelaskan. “Siap, tenang saja Pak Deri,” lalu, Kirana menandatanganinya dengan semangat. Uang adalah motivasinya! “Apa anda sudah membacanya dengan teliti?” tanya Deri. “Saya percaya pada Anda kok.Pasti isinya sesuai standar ketenagakerjaan, contohnya saja gaji, disini dijelaskan dengan nominal sangat besar. Untuk pekerjaan juga sudah ditulis detail. Jadi saya rasa yang lainnya juga tidak akan ada yang merugikan saya,” ujar Kirana dengan yakin. “Oh, baiklah kalau begitu. Saya hanya tidak ingin ada ganjalan di masa depan,” ujar Deri. “Oh ya, boleh saya menanyakan sesuatu yang sedikit pribadi kepada bapak? Itu pun kalau bapak tak marah.” Kirana tersenyum malu-malu. Deri mengerutkan dahi. “Silahkan tanyakan saja,” ujarnya. “Sejak kita pertama bertemu, sepertinya saya belum pernah melihat anda tersenyum deh.Ayo dong senyum sedikiiiiit aja, heheh,” diakhiri cengiran, Kirana berkata. Hah, Deri hanya memasang raut datar dengan gelengan kepala. Wanita ini ada-ada saja, semoga Pak Gen cocok, itu yang ada dalam benaknya. “Tuh kan, muka bapak itu data-datar aja, heran deh,” cibirnya pelan, namun masih terdengar oleh Deri. “Sudahlah tidak usah dipikirkan, mau saya senyum atau tidak, muka masam kek, muka datar atau muka kecut pun bukan urusan kamu. Urusanmu adalah mengurus Tuan Gen,” timpal Deri dengan sinis. “Eh, iya pak. Tuan Gen siapa?” otak Kirana mendadak bleng. “Tuan Gen itu panggilan untuk Tuan Ragendra,” jawab Deri. “Oh, iya, iya.” Kirana manggut-manggut. Deri hanya menatapnya geli. Selesai menandatangani surat kontrak itu pun, akhirnya mereka pergi dengan naik mobil Dari. Menurut Deri,mereka akan menuju ke rumah milik majikannya, Ragendra. Di sepanjang jalan, Kirana seperti pernah mendengar nama itu. Tapi, dimana? Karena rasanya, dia tidak pernah punya teman yang namanya seperti itu. Namun, saat dia memejamkan mata dan tanpa sadar ketiduran beberapa detik, tiba-tiba dalam kepalanya berkelebat bayangan seorang pemuda berwajah super tampan. “Astagfirullah!” Kirana menggusar wajahnya kasar. “Kalau tidak salah, anak itu namanya juga Ragendra. Ah, tidak mungkin kan orang yang sama? Nama itu kan bisa saja sama, lagian Aku mau ngasuh anak kecil kan? Ah hahaha, kok bisa aku ingat dia. Buang! Buang muka ganteng itu buang! Dia sekarang ada dimana kamu juga nggak tau, huuh.” Kirana tertawa kecil menertawakan diri sendiri. Dari tempat duduknya, Deri melirik ke arah Kirana duduk. Dia tampak heran karena Kirana tertawa-tawa sendiri. Namun begitu, dia tak bertanya. Lagian bukan urusannya juga, terserahlah! Setelah lima belas menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah mewah dengan lapangan yang seluas lapangan sepak bola. Kirana terpukau saat memasuki halaman. “Rumah ini sering aku lewati saat akan berangkat kerja, nggak nyangka ternyata hari ini aku bisa memasukinya,” matanya berkilauan melihat keadaan sekitar yang begitu nyaman dan asri. Taman bunga yang terhampar di suatu spot, beberapa pohon rindang, ada pula bangku taman yang sejuk karena dinaungi pohon. Menurut Kirana, pemilik rumah ini pastinya suka dengan lingkungan kalau melihat keadaan rumah ini. “Ayo! Bengong terus!” Deri melangkah duluan meninggalkan Kirana. Kirana, mengerucutkan bibir sambil menggerutu.”Ya ampun Pak Deri kok judes amat sih.” Meski mendengarnya, tapi Deri tak peduli. Dia memang tipe orang yang tak peduli urusan orang. Langkah kaki Deri cepat dan lebar-lebar, membuat Kirana manyun karena dia harus setengah berlari agar bisa mengejarnya. “Ayo cepat!” Deri menghentikan langkah mendadak, membuat Kirana tak seimbang dan menabrak punggungnya. “Kamu ini sembrono!” Deri menoleh dengan raut jengkel. “Siapa dia? Pelayan baru? Sudah suruh pulang saja, belum apa-apa sudah kelihatan tidak bisa kerja!” terdengar suara seseorang dengan nada ketus dari suatu arah. “Tuan Gen.” Deri menoleh ke arah itu. Kirana menghembuskan napas sepelan mungkin. Itu pasti keluarga anak asuhnya, mungkin ayahnya. Sehingga bisa memutuskan memecatnya sebelum bekerja, ah sial sekali. “Eh, tunggu-tunggu! Tapi, Pak Deri memanggilnya dengan nama Tuan Gen! Apa jangan-jangan!” Kirana membalikkan tubuh menoleh ke arah yang sama seperti Deri. Duar… Hah kakinya seolah kaku melihat seorang pria yang duduk di atas kursi roda. Wajahnya sangat menawan dengan rambut hitam lebat sedikit gondrong, bulu mata hitam, panjang dan lentik untuk ukuran lelaki, dan mata tajam bagaikan elang. Gke glek susah payah dia menelan saliva. “Di, dia…”untuk sesaat pikirannya melayang ke masa lalu. Saat hujan deras seorang pemuda umur delapan belas tahun membuatnya kesal, namun membantu mengantarnya pulang. Kemudian, dia memaksa dan merayu pemuda itu untuk melakukan ehem ehem. Tangannya gemetar, semoga dia tidak mengenalinya. Karena waktu sudah tujuh tahun berlalu. Sementara itu, Ragendra tak kalah terkejutnya. Tapi, hanya sesaat saja. Dia memerhatikan intens Kirana dari atas sampai bawah dengan raut datar. “Jadi Dia dipecat?” tanya Deri, sambil melirik ke arah Kirana. “Ehm, tidak jadi! Ikut denganku!” ketus Ragendra sambil memutar kursi roda meninggalkan tempat itu. Kirana bisa bernapas lega. Bersyukur karena tak jadi dipecat, juga karena sepertinya Ragendra tidak mengenali dirinya. “Cepat! Tuan itu suka merajuk!” ucap Deri kepada Kirana. “Saya ikut?” Kirana menunjuk dirinya sendiri. “Tuan memang memanggilmu bukan Saya! Saya hanya mengantarmu sampai ke depan kamar saja,” jawab Deri. Lalu melangkahkan kaki meninggalkan Kirana. Kirana terkejut, dengan cepat dia mengikuti langkah Deri. Mereka menuju ke kamar Ragendra. Selama perjalanan menuju kamar Pria yang menjadi majikannya itu bergelut satu pertanyaan di otaknya, apakah yang akan diasuhnya adalah Ragendra yang itu? Atau dia salah dengar? Apakah pria itu pria yang sama dengan yang bersamanya tujuh tahun lalu?atau hanya kebetulan mirip saja? Ah semoga hanya mirip saja. Satu lagi dalam benaknya, kenapa dengan kakinya? Apa Yang terjadi? Pertanyaan dalam benaknya jadi banyak kan? Bukan cuma satu lagi, eh dasar. “Sudah sampai?” tanya Kirana karena melihat Deri berhenti di depan sebuah pintu warna coklat tua dari bahan jati terbaik, dengan sebuah ukiran yang indah. Sultan memang beda, pintunya saja sudah semewah ini. Jiwa miskin Kirana meronta-ronta. “Iya, kamu langsung masuk saja. Saya pergi dulu ada yang harus saya kerjakan lagi,” ujar Deri. “Pak,” tampak kecemasan dalam raut wajah Kirana. “Apa?”Deri menatapnya serius dan jengkel. “Yang mau saya asuh itu mana anaknya?” Kirana memberanikan diri. “Ya itu Tuan Ragendra, yang ada di kamar ini. Apa Kamu tidak baca surat kontrak dengan teliti? Di sana tertulis kalau yang akan kamu layani adalah Tuan Ragendra, umurnya saat ini 25 tahun.,” jawaban Deri membuat Kirana membulatkan mulut karena terkejut. Ash sial, dia jadi menyesal karena tak membaca point lainnya. Yang dia baca hanya tentang gaji dan kerjaan saja. Dalam hati, dia menjerit. Apalagi ada tugas memandikan dan memakaikan baju, apa tidak salah? “Tuan paling tak suka pelayan yang lelet! Cepat masuk!” lalu Deri pergi. Kirana mengembuskan napas kasar, sambil menatap pintu dengan hati deg degan. Kakinya seolah lemas tak bertulang, Dia hanya mematung dengan jemari tangan saling tertaut. Setelah hampir dua menit, barulah Dia mengetuk pintu. Tok tok tok “Masuk!” terdengar suara lantang dengan nada kesal dari dalam sana. Glek glek Kirana sampai meneguk saliva susah payah mendengar suara yang terdengar marah itu. “Bismilah,” ucapnya sambil membuka pintu. Ceklek
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD