Bittersweet 02

1008 Words
Setelah hari itu, perasaan Seoah tidak kunjung membaik. Ia menghindari semua orang dan lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaanya sebagai seorang penulis novel romansa. Saat itu pagi-pagi sekali Seoah sudah bersiap. Ia memang sengaja selalu pergi pagi-pagi sekali demi menghindari Seoyeoon juga Wonshik yang akan menjemput gadis itu bekerja setiap paginya. Meski sudah hampir satu bulan semenjak acara lamaran hari itu, perasaan Seoah masih belum bisa menerima semuanya dengan lapang. Tepat disaat Seoah membuka pintu kamar. Ia dikejutkan dengan Seoyeoon yang sudah berdiri di depan pintu. Gadis dengan pakaian tidur juga rambut yang agak acak-acakan itu menatap sang adik dengan tatapan menyelidik. Sementara Seoah sendiri sebisa mungkin menghindari untuk berkontak mata dengannya. "Kamu menghindari ku?" tanyanya tanpa basa-basi. "Tidak. Itu hanya perasaanmu." "Kamu pikir aku tidak tahu? Kita sudah bersama sejak kecil, tentu aku tahu bagaimana kebiasaanmu. Kamu akan menghindari sesuatu yang membuatmu kesal atau marah, dan sekarang kamu melakukannya padaku. Apa aku membuatmu marah?" "Itu hanya perasaanmu saja. Aku tidak menghindari siapapun, aku hanya sedang memiliki banyak pekerjaan." "Aku itu kakakmu, kamu tidak bisa membohongi ku Seoah." "Harus berapa kali ku katakan jika aku tidak menghindari siapapun!!" Seoah berteriak. Ia benar-benar merasa sudah muak dengan semuanya. Tentu saja ia tidak bermaksud untuk membentak Seoyeoon, hanya saja perasaannya yang sedang lelah membuat emosinya menjadi tidak stabil. Melihat Seoyeoon yang hanya diam, cepat-cepat Seoah berjalan meninggalkan sang kakak. Namun seolah sial, ia tanpa sengaja bertemu dengan Wonshik di halaman. Pria itu baru saja turun dari mobilnya dan akan menjemput Seoyeoon. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa detik. Namun dengan cepat si gadis memalingkan wajahnya dan masuk ke dalam mobil miliknya. "Seoah, tunggu." Dari dalam rumah Seoyeoon datang. Gadis itu mengetuk kaca mobil milik sang adik juga memanggil namanya beberapa kali. Tapi tanpa mempedulikan sang kakak, Seoah dengan cepat menancap gas mobilnya dan melaju meninggalkan dua orang lainnya. "Apa yang terjadi?" tanya Wonshik. "Aku tidak tahu. Beberapa hari ini Seoah menghindari ku, ia bersikap dingin dan aneh. Aku merasa khawatir dengannya." Wonshik dengan segera memeluk sang kekasih, mengelus lembut surai kecoklatan miliknya dan menatap kepergian Seoah dengan tatapan sedih. "Aku akan bicara dengannya nanti. Siapa tahu dia mau mendengarkan aku," kata Wonshik coba menenangkan. Ia tentu tahu apa alasan gadis itu menghindari Seoyeoon. Semua karena perasaaanya. *** Seoah menangis dalam mobilnya. Ia meraung sejadi-jadinya untuk melupakan perasaaanya yang tidak bisa ia ungkapkan selama ini. "Kenapa harus Unnie? Kenapa bukan aku? Aku yang lebih dulu bertemu denganmu, aku juga yang lebih dulu menyukaimu. Kenapa harus Seoyeoon unnie?" Lagi-lagi Seoah menangis keras. Ia membenci dirinya sendiri dan perasaanya. Tapi ia lebih membenci pada takdir yang tidak pernah berpihak padanya. Terdengar suara ketukan pada kaca jendela. Seoah menoleh dan mendapati seorang pria tengah mengetuk kaca jendela mobilnya. Mencoba mengabaikan, Seoah tidak mempedulikan pria itu. Namun semakin ia mencoba tidak peduli, ketukan itu justru semakin keras terdengar. Karena kesal, pada akhirnya Seoah membuka kaca mobil. "Apa maumu?!" sentaknya. Pria dengan kaos hitam yang berbalut kemeja flanel itu tersenyum tipis. Ia kemudian bersuara. "Nona, suara tangismu itu agaknya menganggu ikan-ikan yang akan memakan umpan ku," katanya. Seoah mendengkus. Ia memang sengaja memarkirkan mobil miliknya di tepi laut yang berjarak agak jauh dari rumah. "Maaf," sahut Seoah. Dan pada saat ia akan kembali menutup kaca mobil, si pria lebih dulu menahannya dengan tangan. "Kau mau terluka!" semprot Seoah yang sudah benar-benar merasa kesal. Mau bagaimanapun jika pria itu terluka maka ia yang akan repot nantinya. "Kau terlihat sedang sedih. Mau ikut denganku?" *** Anggap saja Seoah sedang gila saat ini. Ia dengan mudanya menyetujui tawaran pria itu dan mengikutinya ke sebuah tempat makan tradisonal tidak jauh dari sana. "Nah, ini dia teokpokki spesial untuk nona yang sedang bersedih," katanya sambil meletakan seporsi teokpokki juga beberapa gorengan lainnya. "Aku tidak lapar," ujar Seoah ketus. Tapi seolah berkhianat, perutnya tiba-tiba saja berbunyi keras seolah minta di isi. Dan hal itu membuatnya merasa ingin menghilang dari sana saat itu juga. "Tidak perlu malu, makan saja. Lagipula belum ada pengunjung lain sepagi ini," ucap pria yang saat ini memakai celemek abu-abu di pinggang itu. Pelan-pelan Seoah mencoba teokpokki tersebut. Rasanya lebih cenderung manis pedas dengan sedikit rasa gurih. Ia juga mencoba sup kuah odeng yang memang begitu cocok untuk cuaca yang cukup dingin seperti saat ini. "Bagaimana? Enak tidak?" tanya si pria antusias. Matanya berbinar layaknya anak anjing saat menanti cemilan. Membuat Seoah tersenyum tipis karenanya. "Eoh, kau tersenyum?" Dengan cepat Seoah kembali mengubah ekspresinya. Ia juga memalingkan wajahnya ke arah lain yang justru membuat pria itu tergelak. "Tidak apa, wajahmu justru terlihat semakin cantik saat tersenyum." "Kau itu pandai sekali memuji wanita, ya?" "Tidak juga. Aku hanya melakukannya untuk gadis cantik," sahutnya tersenyum. Memilih untuk acuh, Seoah kembali menyantap makanan di hadapannya. Tapi ia juga merasa agak risih saat tatapan mata pria itu tidak juga mau lepas darinya. "Berhenti menatapku!" "Baiklah-baiklah. Maafkan aku. Tapi aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku serius saat mengatakan wajahmu terlihat semakin cantik saat tersenyum. Aku bukannya menggombal atau bagaimana, hanya saja ku harap kamu bisa lebih banyak tersenyum daripada menangis seperti tadi." Seoah tertawa miris. Ia menghela napas dan mendongak. "Bagaimana aku bisa tersenyum saat orang-orang yang membuatku merasa sakit ada di sekeliling ku? Ah, sebenarnya bukan mereka. Akulah penyebab diriku sendiri merasa sakit hati," sahut Seoah lirih. Memang, ini semua bukan salah siapapun. Ini adalah salahnya, perasaanya. "Kamu bisa menjadikan ku pelarian mu. Datang padaku kapan pun kau membutuhkan pelarian, aku akan dengan senang hati menghiburmu," sahutnya. Seoah tertawa. Ia tidak percaya akan bertemu orang aneh semacam dirinya. "Aku serius. Kau bisa datang padaku dan membagi lukamu. Mungkin saat ini kau berpikir jika aku hanyalah orang asing, atau bahkan orang gila. Tapi aku serius dengan perkataan ku." Jika dilihat dari ekspresinya, ia memang serius mengatakan semuanya. Tapi bagaimanapun ia adalah orang asing. Dan tidak seharusnya Seoah mengikutinya sampai sejauh ini. Ah, memikirkannya membuat Seoah juga merasa jika ia tengah tidak waras sekarang. "Bagaimana aku bisa menjadikan mu pelarian jika aku saja tidak tahu siapa namamu?" Gila! Anggap saja begitu. Tapi tidak ada salahnya kan membuka diri pada orang baru? "Minkyu. Namaku Kim Minkyu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD